Kamis, 20 Oktober 2011

Harry Potter And The Deathly Hallows (Epilogue)

SEMBILAN BELAS TAHUN KEMUDIAN
(Nineteen Years Later)


Musim gugur seperti datang tiba-tiba tahun itu. Pagi hari di tanggal satu September terasa segar
seperti sebuah apel, dan saat keluarga kecil itu menyeberang jalan yang ramai menuju stasiun yang besar
 itu, asap knalpot dan hembusan nafas para pejalan kaki terlihat seperti kumpulan angsa di udara yang
dingin. Dua sangkar besar tertumpuk di atas bak dorong yang didorong oleh orang tua mereka; burung
hantu yang ada di dalamnya berbunyi marah, dan gadis berambut merah berjalan sedikit cemas di
belakang dua kakak laki-lakinya sambil berpegangan pada lengan ayahnya.
"Tidak lama lagi, dan kau pun akan ke sana juga," Harry berkata pada gadis kecil itu.
"Dua tahun lagi," rengek Lily. "Aku ingin pergi sekarang!"
Para calon penumpang kereta api menatap penasaran ke arah dua burung hantu itu saat keluarga
itu berjalan menuju tembok antara peron sembilan dan sepuluh, suara Albus terdengar oleh Harry
diantara suara ramai; kedua anaknya telah melanjutkan "
diskusi
" mereka yang dimulai dari mobil.
"Aku tidak akan masuk ke Sytherin!"
"James, ayolah jangan ganggu dia!" kata Ginny.
"Aku hanya berkata itu mungkin saja," kata James, sambil tersenyum ke arah adik kecilnya. "Khan
nggak ada salahnya. Dia mungkin saja masuk ke asrama Slytherin."
Tapi James memandang mata ibunya dan kemudian terdiam. Lima anggota keluarga Potter telah
sampai di batas peron. Dengan pandangan sedikit sombong melewati bahunya ke arah adik laki-lakinya,
James mengambil bak dorongnya dari ibunya dan berlari. Sesaat kemudian, ia menghilang.
"Kalian akan menulis surat padaku khan?" Albus berkata kepada kedua orang tuanya tiba-tiba, mecoba
mengunakan waktu sebaik-baiknya saat kakak laki-lakinya tidak ada.
"Tapi jangan tiap hari," kata Albus cepat, "James bilang kebanyakan murid hanya menerima surat dari
rumah sebulan sekali."
"Kami menulis surat untuk James tiga kali seminggu tahun lalu," kata Ginny.
"Dan kau tidak akan percaya begitu saja pada semua perkataannya mengenai Hogwarts khan?" Harry
menambahkan. "Kakakmu itu senang bercanda."


Sambil berjalan bersebelahan, mereka mendorong bak dorong kedua ke depan, menambah
kecepatan. Saat mereka mencapai batas peron, Albus sedikit menyipitkan matanya, tapi tidak terjadi
tabrakan. Malah, mereka tiba-tiba muncul di peron sembilan tiga perempat, yang dipenuhi asap uap putih
yang berasal dari Hogwatrs Express yang berwarna merah. Bayang-bayang orang terlihat berjalan
kesana-kemari menembus kabut itu, ke tempat dimana James sudah tidak terlihat.
"Dimana mereka?” tanya Albus cemas, sambil memandang ke orang-orang yang berlalu-lalang.
"Kita akan menemukan mereka," kata Ginny menenangkan.
Tapi kabut itu terlalu tebal, dan sangat sulit untuk mengenali wajah orang-orang. Terdengar suara
keras, Harry seperti mendengar suara Percy yang dikeraskan sedang memberikan arahan mengenai
peraturan sapu terbang, dan Harry sedikit lega karena tidak perlu berhenti dan menyapanya...


"Kurasa itu mereka Al," kata Ginny tiba-tiba.
 Sekelompok empat orang muncul dari kabut, berdiri di bagian kereta belakang. Wajah mereka
hanya terlihat jelas saat Harry, Ginny, Lily, dan Albus telah berdiri di depan mereka.
"Hai," kata Albus dengan suara penuh kelegaan.
Rose, yang telah memakai jubah Hogwartsnya yang baru, langsung menuju ke arahnya.
"Kau parkir mobil baik-baik saja khan?" Ron bertanya pada Harry. "Aku juga berhasil. Hermione tidak
percaya aku dapat lulus tes mengemudi Muggle, iya khan kau berpikir seperti itu? Dia mengira aku telah
memakai mantra Confound ke pengujinya."
"Tentu saja aku tidak berpikir demikian." kata Hermione. "Aku seratus persen yakin padamu."
"Padahal aku memang memantrai penguji itu," bisik Ron pada Harry, bersama-sama mereka
memasukkan bagasi dan burung hantu Albus ke atas kereta. "Aku hanya selalu lupa untuk melihat ke
kaca spion ,dan ayolah, aku dapat menggunakan Mantra Supersensory untuk hal itu."
Di peron, Lily dan Hugo, adik laki-laki Rose, sedang bercakap-cakap membayangkan asrama
apa yang akan mereka masuki jika nanti mereka sekolah di Hogwarts.
"Jika kau tidak masuk Gryffindor, kami akan mecoretmu dari ahli waris," kata Ron, "tapi tentu saja aku
tidak memaksa."
"Ron!"
Lily, dan Hugo tertawa, tapi Albus dan Rose terlihat serius.
"Dia tidak bersungguh-sungguh," kata Hermione dan Ginny, tapi Ron sudah tidak memberikan
perhatiannya. Dia sedang melihat Harry yang mengangguk ke arah lima puluh yard di sana. Kabut sedikit
menipis untuk sesaat, dan tiga orang berdiri mulai terlihat.
"Lihat itu."


Draco malfoy sedang berdiri disana bersama istri dan anak laki-lakinya, memakai jubah hitam yang
dikancingkan sampai lehernya. Rambutnya disisir ke belakang, sehingga keningnya terlihat jelas. Anak
laki-lakinya sangat mirip dengan Draco seperti Albus yang sangat mirip dengan Harry. Draco melihat
Harry, Ron, Hermione, dan Ginny sedang memandangnya, dia mengangguk, dan berjalan lagi.
"Jadi itu Scorpius kecil," kata Ron dalam nafasnya. "Kalahkan dia disetiap tes Rosie. Untung saja kau
mewarisi kepintaran ibumu."
"Ya ampun Ron," kata Hermione, sedikit jengkel bercampur heran. "Jangan membuat mereka saling
bermusuhan, bahkan sekolah saja belum dimulai!"
"Ya kau benar, maaf," kata Ron, tapi tak dapat menahan diri jadi dia menambahkan, "Tapi jangan terlalu
dekat dengannya, Rosie. Kakek Weasley tidak akan memaafkanmu jika kau menikahi seorang darah
murni."
"Hei!"
James sudah muncul kembali; dia telah meninggalkan bagasi dan burung hantunya, dan sepertinya
 membawa berita.
"Teddy ada belakang sana," katanya sambil mengejar nafas, dan menunjuk ke belakangnya ke arah
kabut uap. "Aku baru saja melihatnya! Dan kalian tahu apa yang dikerjakannya? Dia sedang mencium
Victorie!"
James memandang ke mereka, dan terlihat kecewa dengan tidak adanya reaksi dari para orang
tua.
"Teddy kita! Teddy Lupin! Mencium Victorie kita! Sepupu kita! dan aku bertanya padanya apa yang
sedang dia lakukan--"
"Kau mengganggu mereka?"kata Ginny. "Kau benar-benar seperti Ron --"
"-- dan katanya dia datang untuk mengantar Victorie berangkat! Dan kemudian dia menyuruhku pergi.
Dia mencium Victorie!" James menambahkan lagi seakan-akan dia khawatir kalau dia tidak jelas
memberitahukannya.
"Oh, akan sangat bagus jika mereka menikah!" bisik Lily. "Teddy akan benar-benar menjadi bagian dari
keluarga kita!"
"Dia telah datang untuk makam malam empat kali seminggu," kata Harry. "Kenapa tidak kita ajak saja
dia tinggal bersama kita dan menyelesaikan semuanya?"
"Ya!" kata James antusias. "Aku tidak keberatan jika satu kamar dengan Al -- Teddy dapat memakai
kamarku!"
"Tidak," kata Harry tegas, "kau dan Al hanya akan satu kamar jika aku ingin rumah kita hancur."
Harry melihat ke jam tuanya yang dulu milik Fabian Prewett.
"Sudah hampir jam sebelas, kau sebaiknya segera naik ke kereta."
"Jangan lupa salam sayang untuk Neville dari kami!" Ginny berkata pada James saat ia memeluknya.
"Mum! Aku tidak bisa memberi seorang profesor salam sayang!"
"Tapi kau khan kenal Neville--"
James memutar matanya.
"Diluar sekolah iya, tapi kalau di sekolah dia Professor Longbottom, iya khan? Aku tak bisa seenaknya
menemuinya di kelas Herbiology dan memberinya salam sayang ..."
Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya karena keluguan ibunya, James berjalan sambil
menendang Albus.
"Ketemu kau disana Al. Dan hati-hati terhadap Thestral ya."
"Tapi bukannya mereka tak terlihat? Kau bilang mereka tak terlihat!"
 James hanya tertawa, sambil mengijinkan ibunya menciumnya, dan memberi ayahnya pelukan,
kemudian masuk ke kereta yang mulai dipenuhi. Mereka melihat James melambaikan tangannya,
kemudian berlari ke lorong mencari teman-temannya.
"Kau tidak perlu kawatir terhadap Thestral," Harry berkata kepada Albus. "Mereka makhluk yang
lembut, tak ada yang perlu ditakutkan dari mereka. Dan kau tidak akan naik kereta yang ditarik thestral
ketika di sana, kau akan naik perahu."
Ginny mencium Albus.
"Sampai ketemu saat natal."
"Bye, Al," kata Harry sambil memeluk anaknya. " Jangan lupa Hagrid mengundangmu minum teh besok
Jumat. Jangan mengganggu Peeves. Jangan berduel sampai kau mempelajarinya. Dan jangan biarkan
James membodohimu."
"Bagaimana jika aku masuk Slytherin?"
Bisikan itu hanya ditujukan ke ayahnya saja, dan Harry tahu bahwa saat mendekati
keberangkatannya itu telah mendorong Albus untuk menunjukkan kekawatirannya yang terbesar.



Harry berjongkok sehingga wajah Albus sedikit di atasnya. Diantara ketiga anaknya Albus
mewarisi mata Lily.
"Albus Severus," kata Harry pelan, sehingga tidak ada orang lain selain Ginny yang mendengarnya, dan
Ginny tetap berpura-pura melambaikan tangannya kepada Rose yang sudah berada di kereta, "kau diberi
nama sama dengan dua kepala sekolah Hogwarts. Salah satunya berasal dari Slytherin dan dia mungkin
orang paling berani yang pernah ku kenal."
"Tapi bagaimana kalau--"
"--maka Asrama Slytherin akan mendapat seorang murid yang hebat, iya khan? Di asrama mana kau
berada bukan menjadi masalah bagi kami, Al. Tapi jika itu berarti bagimu, kau dapat memilih Gryffindor
dari pada Slytherin. Topi Seleksi akan mempertimbangkan pilihanmu."
"Benarkah?"
"Itu berhasil bagiku dulu," kata Harry.
Dia belum pernah menceritakan pada anak-anaknya mengenai hal ini sebelumnya, dan dia melihat
kekaguman di wajah Albus saat dia mengatakan hal ini. Pintu-pintu mulai terdengar menutup di sepanjang
kereta merah itu, dan barisan orang tua mulai terlihat untuk memberikan ciuman terakhirnya, Albus
melompat ke atas kereta dan Ginny menutup pintu di belakangnya. Para murid terlihat melihat keluar
jendela di dekat mereka. Orang-orang yang di kereta maupun di luar kereta terlihat memandang ke arah
Harry.
"Mengapa mereka memandang kita?" tanya Albus saat dia dan Rose menengok ke arah murid-murid
lainnya.
"Jangan khawatir," kata Ron. "Mereka melihat aku, Aku sangat terkenal."
 Albus, Rose, Hugo, dan Lily tertawa. Kereta api mulai berjalan, dan Harry berjalan disamping
kereta, melihat wajah anaknya, yang penuh keceriaan. Harry terus tersenyum dan melambaikan
tangannya, membutuhkan keberanian untuk melihat anaknya menjauh darinya...
Jejak uap mulai menghilang di udara musim gugur. Kereta api itu membelok di pojokan. Tangan
Harry masih melambai.
"Dia akan baik-baik saja," kata Ginny.
Saat Harry melihat ke Ginny, dia menurunkan tangannya perlahan dan menyentuh bekas luka bergambar
petir di keningnya.
"Aku tahu dia akan baik-baik saja."
Bekas luka itu tidak pernah terasa sakit lagi sembilan belas tahun ini. semua baik-baik saja.

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search my Blog