Kamis, 20 Oktober 2011

Harry Potter And The Deathly Hallows Bab 34

BAB 34
KEMBALI KE HUTAN
(Forest Again)

Akhirnya, kebenaran terungkap. Terbaring di lantai dengan wajah menghadap karpet berdebu di ruang
kantor yang dulu ia kira adalah sebuah tempat untuk mempelajari rahasia dari kemenangan. Harry
akhirnya mengerti bahwa ia memang tidak ditakdirkan untuk bertahan hidup. Tugasnya selama ini adalah
menuju kepada kematian dengan perasaan tenang. Dan selama itu, dia harus memusnahkan sisa-sisa
pecahan jiwa Voldemort, sehingga jika saatnya tiba dia berhadapan dengan Voldemort, dia tidak
melakukan perlawanan, semua akan berakhir, dan sesuatu yang seharusnya terselesaikan di Godric’s
Hollow akan terselesaikan: tidak ada yang hidup, tidak ada yang bertahan.
Dia merasakan jantungnya berdegup kencang. Sungguh aneh rasanya bahwa di ujung hidupnya,
jantungnya berdegup lebih kencang, menjaganya tetap hidup. Tapi ini akan segera berakhir. Degup
jantungnya hanyalah tinggal sisa-sisa belaka. Berapa banyakkah sisa degup jantungnya untuk bangkit dan
berjalan melewati kastil terakhir kalinya, dan keluar menuju hutan?
Perasaan teror menghantuinya saat dia merebahkan dirinya di lantai, bersamaan dengan bayangan
penguburan dirinya. Apakah akan terasa sakit? Selama ini dia selalu merasa hampir menemui ajalnya
 namun berhasil lolos, dia tak pernah benar-benar memikirkan hal ini sebelumnya : keinginannya untuk
hidup melebihi ketakutannya akan kematian. Namun tak terpikirkan olehnya kali ini untuk meloloskan diri
ataupun menghindari Voldemort. Semua sudah berakhir, dia tahu itu, dan sekarang hal terakhir yang
harus dilakukannya adalah : mati.
Jika saja dia mati pada malam dia meninggalkan Privet Drive nomor empat terakhir kalinya, saat tongkat
bulu phoenix menyelamatkannya! Jika saja dia mati seperti Hedwig, begitu cepat sehingga dia tak akan
tahu apa yang terjadi! Atau jika saja dia dapat menjadi perisai bagi seseorang yang disayanginya saat
terjadi serangan … dia merasa iri pada kematian orang tuanya sekarang. Perasaan dingin dalam menuju
kematiannya sendiri ini memerlukan sebuah bentuk keberanian. Dia merasakan jari-jarinya bergetar pelan
dan dia berusaha menguasai dirinya, walaupun tak seorangpun yang menyaksikannya karena semua
lukisan di dinding sedang kosong.
Perlahan-lahan, dia bangkit duduk,  dan merasakan dirinya lebih hidup dari sebelumnya, lebih merasakan
tubuhnya yang hidup dari pada sebelumnya. Mengapa dia tak pernah bersyukur sebelumnya bahwa
hidupnya adalah sebuah keajaiban, pikiran dan syaraf dan jantung yang berdegup? Semua akan musnah
.. atau paling tidak ia tidak akan memilikinya lagi. Nafasnya menjadi pelan dan dalam, mulut dan
tenggorokannya terasa kering, begitu juga dengan matanya.
Ketidakterusterangan Dumbledore bukanlah apa-apa. Tentu saja ini merupakan bagian dari sebuah
rencana besar; Harry hanya tidak mampu menyadari sebelumnya, namun sekarang dia telah
menyadarinya. Selama ini dia selalu merasa bahwa Dumbledore menginginkannya tetap hidup. Sekarang
dia menyadari bahwa hidupnya ditentukan dari berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
menghancurkan semua Horcrux. Dumbledore telah menyerahkan tugas ini padanya, dan dilaksankannya
dengan patuh untuk memutus semua kehidupan Voldemort dan dirinya! Sangat rapi, begitu elegan, tidak
membuang-buang nyawa lagi, memberikan tugas yang berbahaya kepada anak yang telah ditakdirkan
untuk mati, dan kematiannya bukan merupakan sebuah malapetaka, tapi sebuah serangan melawan
Voldemort.
Dan Dumbledore selalu yakin bahwa Harry tidak akan melarikan diri, bahwa ia akan terus berjalan
menuju akhir, walaupun itu merupakan akhir bagi hidupnya. Dumbledore tahu,  sebagaimana Voldemort
juga, bahwa Harry tak akan membiarkan orang lain berkorban demi dirinya apalagi sekarang dia tahu
bahwa dia dapat menghentikan semua ini. Bayangan Fred, Lupin dan Tonks terbaring meninggal di Aula
Besar telah mendorongnya kembali kepada pikirannya sendiri, dan untuk sesaat nafasnya terasa berat:
Kematian telah dekat …
Tapi Dumbledore terlalu menilai lebih dirinya. Dia telah gagal: ular itu masih hidup. Satu Horcrux masih
tersisa yang membuat Voldemort masih terikat di dunia ini, bahkan jika Harry mati sekalipun. Benar,
bahwa itu merupakan pekerjaan yang mudah bagi siapa saja. Dia mengira-ngira siapa yang akan
melakukannya … Ron dan Hermione tentu akan paham apa yang harus dilakukan, … mungkin itu alasan
mengapa Dumbledore mempercayai kedua temannya itu … sehingga jika dia terpaksa menemui
takdirnya lebih dini, mereka berdua dapat meneruskan tugas ini…
Seperti hujan yang membasahi jendela yang membeku, pemikiran itu terus menghujani kenyataan yang
pasti, yaitu dia harus mati.
Aku harus mati
. Ini harus berakhir.
Ron dan Hermione terasa jauh sekali, seperti berada di negara yang jauh; dia merasa telah berpisah
dengan mereka sejak lama. Tidak akan ada ucapan selamat tinggal ataupun penjelasan, dia sudah
memutuskan hal itu. Ini adalah perjalanan yang tidak dapat mereka lakukan secara bersama-sama,
karena mereka pasti akan berusaha menghentikannya. Dia melihat ke jam emasnya yang dia peroleh saat
ulang tahunnya yang ketujuhbelas. Hampir setengah jam dari waktu yang diberikan Voldemort untuk
 menyerahkan diri.
Dia berdiri. Jantungnya berdegup kencang dalam iganya seperti burung kesetanan. Mungkin jantungnya
tahu bahwa waktunya tinggal sedikit, mungkin jantungnya memutuskan untuk memenuhi tugas terakhirnya
sebelum berhenti. Dia tidak menengok ke belakang saat dia menutup pintu ruang kantor.
Kastil sudah kosong. Dia merasa seperti hantu yang melayang sendiri, seolah-olah dia telah mati.
Lukisan di dinding masih belum terisi; seluruh ruangan terasa berhenti, seolah-olah seluruh kehidupannya
tersedot ke Aula Besar, dimana yang meninggal dan yang ditinggal menjadi satu.
Harry memakai Jubah Gaibnya dan turun, berjalan menuruni tangga pualam menuju Gerbang Masuk.
Mungkin secuil perasaannya berharap dia dirasakan kehadirannya, terlihat oleh seseorang, atau dicegah,
namun Jubah itu selalu bekerja dengan sempurna, dan dia mencapai pintu depan dengan mudah.
Kemudian Neville berjalan didekatnya. Dia bersama seseorang membawa sebuah tubuh. Harry
meliriknya, dan merasakan sentakan di perutnya: tubuh mati itu Colin Creevey, walaupun di bawah umur,
ia pasti telah menyelinap balik seperti halnya Malfoy, Crabbe dan Goyle. Dia sangat kecil dalam
kematiannya.
“Neville, kurasa aku bisa menggotongnya sendiri,” kata Oliver Wood, dan dia menggotong tubuh Colin
melingkar di pundaknya, lalu membawanya ke Aula Besar.
Neville bersandar pada pintu untuk beberapa saat dan mengelap dahinya memakai tangannya.
Dia terlihat lebih tua. Kemudian dia turun kembali menuju kegelapan untuk menyelamatkan lebih banyak
korban.
Harry memandang sekilas ke arah pintu masuk Aula Besar. Orang-orang terlihat berlalu-lalang,
mencoba membantu lainnya, memberi minum, bersimpuh disamping tubuh yang mati, namun dia tak
melihat orang-orang yang disayanginya, tak terlihat Hermione, Ron, Ginny ataupun keluarga Weasley
lainnya, juga Luna. Dia akan memberikan semua waktunya yang tersisa demi melihat mereka meski
hanya sekali saja; namun, apakah dia akan memiliki kekuatan untuk berhenti melihat mereka? Lebih baik
seperti ini.
Dia bergerak menuruni tangga menuju kegelapan. Waktu hampir menunjukkan pukul empat pagi
dan tanah yang membisu mati seolah menahan nafasnya, menunggu Harry melakukan yang seharusnya.
Harry bergerak mendekati Neville, yang sedang membungkuk di atas sebuah tubuh.
“ Neville.”


“ Ya ampun Harry, kau hampir membuat jantungku copot!”
Harry membuka jubahnya: sebuah ide telah datang padanya tiba-tiba, muncul karena ingin memastikan
sesuatu.
“Kau mau kemana sendirian?” tanya Neville curiga.
“Tenang saja, ini bagian dari rencana kok,” kata Harry. “ Ada sesuatu yang harus kulakukan. Sekarang
dengarkan aku Neville –“
“Harry!” Neville tiba-tiba terlihat ketakutan. “Harry, kau tak berpikir untuk menyerahkan diri khan?”
 “Tentu saja Tidak,” Harry berbohong dengan mudahnya. “ bukan itu yang akan kulakukan. Tapi
mungkin aku akan menghilang untuk beberapa saat. Kau tahu khan ularnya Voldemort, Neville? Dia
memiliki seekor ular yang besar … namanya Nagini”
“Ya aku pernah mendengarnya… kenapa dengan ularnya?”
“Ular itu harus dibunuh. Ron dan Hermione tahu itu, tapi siapa tahu mereka – “
Perasaan perih yang timbul dari kemungkinan tersebut membuat Harry terhenti sejenak, sangat
susah untuk meneruskan kalimatnya. Namun dia mencoba menguasai dirinya kembali: karena ini adalah
hal yang sangat penting, dia harus seperti Dumbledore, tetap tenang, selalu membuat rencana cadangan,
agar dapat terus dijalankan oleh orang lain. Dumbledore walaupun telah mati namun dia telah mewariskan
pengetahuan mengenai Horcrux pada tiga orang lainnya; sekarang giliran Neville yang akan mengambil
alih tempat Harry; sehingga tetap ada tiga orang yang memegang rahasia ini.
“Siapa tahu mereka – sibuk – dan kau mempunyai kesempatan untuk –“
“Membunuh ular itu?”
“Membunuh ular itu,” ulang Harry.
“Baiklah, Harry. Kau baik-baik saja khan?”
“Aku baik-baik saja. Terima kasih Neville.”
Tapi kemudian Neville memegang siku Harry saat ia mulai bergerak.
“Kita akan terus melawan, Harry. Kau tahu itu khan?”
“Ya, aku – “
Perasaan sesak telah melenyapkan akhir dari kalimat itu, dia tak mampu meneruskannya. Neville
ternyata tidak menganggap hal tersebut aneh. Dia menepuk pundak Harry, kemudian melepaskannya,
dan berjalan menjauh untuk mencari mayat lainnya.
Harry memakai jubahnya lagi dan berjalan. Seseorang terlihat tak jauh darinya, orang itu berhenti
di dekat sesorang yang tergolek di tanah. Harry hanya berjarak beberapa meter dari orang tersebut
ketika dia menyadari bahwa orang itu adalah Ginny.
Harry berhenti. Ginny sedang membungkuk di atas seorang gadis yang memanggil ibunya dengan lemah.
“Semua akan baik-baik saja,” kata Ginny. “Tenang saja. Kami akan membawamu ke dalam.”
“Tapi aku ingin pulang,” kata gadis itu lirih. “Aku tak mau bertarung lagi!”
“Ya, aku tahu,” kata Ginny, suaranya terhenti, “semua akan baik-baik saja.”
Gelombang dingin menerpa kulit Harry. Dia ingin berteriak, dia ingin Ginny tahu bahwa dirinya di
sana, dia ingin Ginny tahu kemana dia akan pergi. Dia ingin dihentikan, ingin dibawa kembali, dibawa
kembali ke rumahnya…
 Tapi dia telah di rumah. Hogwarts adalah rumahnya yang pertama dan terbaik selama ini. Dia,
Voldemort, dan Snape, para anak yang telantar, telah menemukan rumah di sini…
Ginny sedang bersimpuh di samping gadis yang terluka itu, memegang tangannya. Dengan usaha
yang sangat besar, Harry memaksa dirinya untuk terus berjalan. Dia merasa Ginny sempat menengok ke
sekeliling saat dia melewatinya dan berpikir mungkinkah Ginny merasakan seseorang lewat didekatnya,
tapi Harry tidak mengeluarkan suara apapun, dan dia tidak menengok ke belakang.
Pondok Hagrid terlihat diantara kegelapan. Lampu-lampunya tak menyala, tidak ada suara Fang
di depan pintu, biasanya gonggongannya adalah sambutan selamat datang. Harry teringat
kunjungan-kunjungannya selama ini ke podok Hagrid, nyala ketel tembaga yang sedang dipanaskan, kue
yang membatu dan makanan yang menumpuk, wajah Hagrid yang lebar dan berjenggot, dan tentu saja
saat Ron muntah-muntah lendir, dan Hermione yang ikut membantu menyelamatkan Norbert …
Dia terus berjalan, dan sekarang dia telah mencapai batas hutan, lalu dia berhenti.
Sekumpulan Dementor melayang diantara diantara pepohonan; Harry dapat merasakan dingin
yang diakibatkan oleh mereka, dan dia tak yakin apakah dirinya mampu untuk melewati semua ini. Dia
sudah tak memiliki kekuatan lagi untuk menciptakan Patronus. Dia sudah tak dapat mengendalikan
getaran di tubuhnya. Ternyata menuju kematian juga membutuhkan perjuangan. Setiap napas yang
ditariknya, bau segar rerumputan, hembusan udara segar di wajahnya, semuanya terasa sangat istimewa:
selama ini semua orang sepertinya menyia-nyiakan waktu yang tersedia, dan sekarang dia sangat
menghargai tiap detik yang ada. Dia merasa tak mampu untuk meneruskan ini, namun hatinya
berketetapan bahwa dia harus terus. Permainan harus segera diakhiri, bola Snitch telah ditangkap,
saatnya turun menjejakan kaki ke bumi …
Tiba-tiba dia teringat bola Snitch-nya. Dia memasukan jarinya ke kantong yang dikalungkan di
lehernya dan mengeluarkan bila Snitch.
Aku terbuka saat tertutup.
Napasnya menjadi cepat dan berat, dia memandang bola itu. Dia sangat berharap waktu berjalan
selambat mungkin, naum sepertinya justru sebaliknya, dan sebuah pemahaman tiba-tiba datang padanya.
Inilah saat penutupan itu, saat-saat terakhir. Sekaranglah saatnya.
Dia menempelkan bola emas itu ke bibirnya dan berbisik, “Aku akan segera menjemput ajalku.”
Tiba-tiba bola itu terbuka. Dia menarik tongkat Draco dan berkata , “
Lumos.”
Sebuah batu hitam dengan retakan ditengahnya berada di tengah-tengah Snitch yang terbelah. Batu
Kebangkitan (Resurection Stone) telah ditangannya, dengan tanda garis vertikal melambangkan Tongkat
Elder. Tanda segitiga dan lingkaran yang melambangkan Jubah dan batu juga terlihat.
Dan sekali lagi Harry paham tanpa harus berpikir keras. Bahwa membangkitkan mereka yang
telah mati bukanlah tujuan utamanya, karena dia akan segera bergabung dengan mereka. Bukan dirinya
yang akan membawa mereka kembali, namun lebih kepada dirinya yang akan dibawa ke dunia mereka.
Dia menutup matanya, dan membolak-balik batu di tangannya tiga kali.
Dia tahu apa yang akan terjadi, karena dia mendengar gerakan-gerakan ringan di sekitarnya. Dia
 membuka matanya dan memandang ke sekeliling.
Mereka bukanlah hantu namun bukan pula manusia yang nyata, dia dapat merasakannya.
Mereka lebih merupakan sesuatu yang mirip dengan Riddle yang keluar dari buku hariannya beberapa
tahun lalu. Bukanlah tubuh makhluk hidup yang nyata, namun bukan pula hantu, mereka berjalan ke
arahnya dan di tiap wajah mereka menunjukan senyum penuh cinta.
James sama tingginya dengan Harry. James mengenakan pakaian yang dia pakai saat meninggal,
rambutnya tidak rapi , dan kacamatanya sedikit merosot, seperti Mr. Weasley.
Sirius tinggi dan tampan, dan terlihat jauh lebih muda dari yang diingat Harry. Dia berjalan dengan
anggun, kedua tangannya dimasukkan ke kantong, dan sebuah senyum menghiasi wajahnya.
Lupin juga terlihat lebih muda, dan lebih terlihat rapi, rambutnya lebih tebal dan lebih hitam. Dia
terlihat bahagia berada kembali di tengah-tengah tempat yang familiar.
Senyum Lily adalah senyum yang paling lebar diantara mereka. Dia menyibakkan rambutnya ke
belakang saat berjalan ke Harry, dan mata hijaunya, seperti punya Harry, melihat ke arah Harry
seolah-olah dia tak akan melihatnya lagi.

“Kau sungguh berani.”
Harry tak dapat berkata apapun. Matanya memandang terus ibunya, dan rasanya dia mampu untuk
menatap ibunya selamanya seperti ini.
“Kau hampir sampai,” kata James. “Sudah sangat dekat, kami … sangat bangga padamu.”
“Apakah akan terasa sakit?”
Pertanyaan yang rasanya kekanak-kanakan ini meluncur begitu saja dari bibir Harry tanpa sempat
dicegah.
“Maksudmu meninggal? Tidak sama sekali,” kata Sirius. “Lebih cepat dan lebih mudah dari pada
tertidur.”
“Dan semua akan terjadi cepat. Semua akan berakhir,” kata Lupin.
“Aku tak ingin kau meninggal,” kata Harry. Kata-kata ini muncul begitu saja. “Kalian semua. Aku
menyesal –“
Harry lebih menuju kepada Lupin dari pada lainnya.
“ – kenapa terjadi saat kau memilki anak … Remus, aku sungguh menyesal –“
“Aku juga menyesal,” kata Lupin. “ Menyesal karena aku tak akan pernah mengenalnya… tapi dia akan
tahu mengapa aku harus pergi dan kuharap dia akan mengerti. Bahwa aku berusaha menjadikan dunia
dimana dia dapat hidup bahagia.”
Angin dingin menrepanya dari dalam Hutan. Harry tahu bahwa mereka tidak akan memaksanya
untuk terus, ini harus merupakan keputusannya sendiri.
 “Kalian akan tetap bersamaku khan?”
“Sampai saat-saat terakhir,” kata James.
“Mereka  itu tidak akan dapat melihat kalian khan?” tanya Harry.
“Kami adalah bagian dari dirimu, “ kata Sirius. “Tak terlihat bagi orang lain.”
Harry memandang ibunya, kemudian berkata
“Tetaplah disampingku.” Kata Harry lirih.
Kemudian dia mulai berjalan. Hawa dingin yang diakibatkan oleh Dementor ternyata tidak
berpengaruh lagi padanya; Harry berjalan ditemani teman-temannya yang berperan sebagai patronusnya,
bersama-sama mereka berjalan melewati pohon-pohon tua yang semakin rapat, batang-batang
pepohonan saling bersilangan, dan akar-akar yang berpilin di bawah kakinya. Harry mencengkeram erat
Jubah Gaibnya, berjalan semakin dalam ke hutan, tanpa tahu dimana Voldemort berada, namun dirinya
yakin akan menemukannya. Disampingnya berjalan, James, Sirius, Lupin dan Lily, keberadaan mereka
membengkitkan keberaniannya, sehingga kakinya dapat terus melangkah maju.
Tubuh dan pikirannya serasa tidak terhubung lagi, langkah kakinya berjalan dengan sendirinya,
seolah-olah dirinya hanyalah penumpang, bukan penguasa dari tubuh yang sebentar lagi akan dia
tinggalkannya. Mereka yang berjalan disampingnya serasa lebih hidup dibandingkan mereka yang berada
kastil : Ron, Hermione, Ginny dan lainnya sepertinya telah menjadi hantu saat dirinya berjalan dan
meluncur kepada kematiannya, menuju Voldemort…
Tiba-tiba terdengar suara gaduh seseorang. Harry menghentukan langkahnya, mencoba mencari
asal suara dan mempertajam pendengarannya, Ibu dan Ayahnya, Lupin dan Sirius juga berhenti.
“Ada seseorang di sana,” terdengar suara bisiskan yang kasar. “Orang itu pasti memiliki Jubah Gaib,
Jangan-jangan -?”
Dua oarng muncul dari belakang sebuah pohon di dekat Harry: tongkat mereka menyala, Harry
melihat Yeaxly dan Dolohov sedang memeriksa di kegelapan, mengarah langsung ke arah Harry, Ibunya,
Ayahnya, Sirius, dan Lupin berdiri. Tampaknya mereka tak dapat melihat apapun.
“Aku yakin mendengar sesuatu,” kata Yeaxly. “Apa mungkin binatang?”
“Si bodoh Hagrid itu pasti menyimpan semua barangnya di sini,” kata Dolohov.
Yaxley melihat ke jam tangannya.
"Waktu untuk Potter sudah hampir habis. Sepertinya dia tak akan datang."
"Sebaiknya kita kembali," kata Yaxley. "Ayo kita lihat rencana selanjutnya."
Dia dan Dolohov berbalik dan berjalan menuju ke dalam hutan. Harry mengikuti mereka karena
tahu bahwa mereka akan membawanya ke tujuannya. Dia melihat sekilas ke sampingnya , ibunya
tersenyum padanya, dan ayahnya mengangguk menyemangati.
Mereka telah berjalan beberapa saat ketika Harry melihat cahaya, Yaxley dan Dolohov berjalan
 menuju sebuah tempat lebar yang dulunya adalah tempat tinggal monster Aragog. Sisa-sisa dari
jaring-jaring sarangnya masih terlihat, namun laba-laba turunannya telah diperintahkan pergi oleh para
Death Eater.
Api unggun menyala di tengah-tengah mereka, cahaya dari api menyinari wajah-wajah Death
Eater yang terdiam. Beberapa dari mereka masih memakai topengnya dan berkerudung; yang lainnya
terlihat tak memakai topeng. Dua raksasa duduk agak jauh dari kelompok tersebut, wajah mereka
ganas, dan keras seperti batu. Harry melihat Fenrir, meringkuk, sambil menggigiti kukunya yang panjang;
si rambut pirang Rowle sedang mengurus bibirnya yang berdarah. Harry melihat Lucius Malfoy terlihat
ketakutan dan lemah, dan mata Narcissa terlihat cekung dan menerawang.
Setiap mata tertuju pada Voldemort, yang berdiri dengan wajah menunduk, tangannya yang putih
terlipat didepannya sambil memegang Tongkat Elder. Dia selayaknya sedang berdoa, atau menghitung di
pikirannya, dan Harry berdiri di kejauhan, seperti anak-anak yang sedang main petak umpet. Di
belakang kepala Voldemort, melayang dan melingkar-lingkar, ular besar Nagini, dalam perlindungan
sangkar ajaibnya.


Ketika Dolohov dan Yaxley bergabung dalam lingkaran itu, Voldemort mengangkat kepalanya.
"Tidak ada tanda-tanda darinya, Tuanku," kata Dolohov.
Ekspresi wajah Voldemort tidak berubah. Mata merahnya menyala diterpa cahaya api. Perlahan dia
menarik Tongkat Elder diantara jarinya.
"Tuanku --" kata Bellatrix yang duduk dekat dengan Voldemort, wajahnya kusut dan sedikit berdarah
namun selebihnya dia terlihat baik-baik saja.
Voldemort mengangkat tangannya sebagai tanda bagi Bellatrix untuk diam. Bellatrix langsung
terdiam namun matanya menatap Voldemort dengan penuh pemujaan.
"Kupikir dia akan datang," kata Voldemort dengan suara tinggi dan jelas, matanya memandang melewati
nyala api. "Aku padahal sudah yakin dia akan datang."
Tak ada yang bersuara. Mereka terlihat takut seperti halnya Harry, yang jantungnya semakin
berdegup kencang seolah-olah meronta ingin melarikan diri dari tubuhnya. Tangannya berkeringat saat
dia menarik Jubah gaibnya dan memasukkannya ke balik bajunya bersama dengan tongkatnya. Dia
memang berencana untuk tidak melawan.
"Aku ternyata ... telah salah menduga," kata Voldemort.
"Kau tidak salah."
Harry mengatakannya sekeras mungkin, dengan segala kekuatannya karena dia tak ingin
terdengar takut. Batu Kebangkitan terjatuh dari tangannya, dan dia sekilas melihat orangtuanya, Sirius,
dan Lupin menghilang saat dia berjalan menuju perapian. Untuk sesaat dia merasa ditempat itu hanya ada
dirinya dan Voldemort.
Perasaan itu kemudian menghilang. Suara teriakan dan tertawa para Death Eater terdengar
membahana. Voldemort tetap terdiam di tempatnya, namun matanya terus menatap Harry yang berjalan
mendekatinya, dengan hanya dipisah api unggun.
 Tiba-tiba terdengar suara berteriak : "HARRY! JANGAN!"
Harry menengok dan melihat Hagrid terikat di sebuah pohon. Badannya yang besar membuat batang
pohon itu bergetar saat ia berusaha sekuat tenaga melepaskan diri.
"JANGAN! JANGAN! HARRY, APA YANG KAU LAKU--"
"DIAM!" teriak Rowle, dan dengan sedikit sentakan pada tongkatnya, Hagrid langsung terdiam.
Bellatrix, yang langsung berdiri, sedang memandang dengan penuh nafsu kepada Voldemort dan
Harry, nafasnya terlihat memburu. Satu-satunya yang terlihat bergerak adalah nyala api dan ular yang
melingkar-lingkar di dalam sangkar cahayanya di belakang kepala Voldemort.
Harry dapat merasakan tongkatnya di dadanya, namun di tidak berniat menariknya. Dia tahu
bahwa ular dilindungi dengan baik, sehingga jika dia berusaha mengarahkan tongkatnya ke Nagini maka
puluhan kutukan akan langsung menghantamnya. Voldemort dan Harry saling berpandangan, kemudian
Voldemort menggerakkan kepalanya sedikit ke samping, sambil mengamati bocah yang berdiri di
depannya, sebuah senyum tipis nampak di bibirnya.
"Harry Potter," katanya pelan. Suaranya terdengar seolah bagian dari suara kobaran api. "Anak Yang
Bertahan Hidup."
Tak satupun Death Eater yang bergerak. Mereka menunggu: semua yang ada di sana menunggu,
Hagrid masih meronta-ronta, dan Bellatrix masih dengan nafas memburu, Harry sendiri sedang
memikirkan wajah Ginny yang menawan, dan perasaannya ketika bibir Ginny menyentuh bibirnya --
Voldemort mengangkat tongkatnya. Kepalanya masih dimiringkan ke samping, seperti seorang
anak yang penasaran, memikirkan apa yang terjadi jika dia melanjutkan ini. Harry kembali memandang
mata merah itu, dan berharap kematiannya terjadi sekarang dan cepat selagi dia masih mampu berdiri,
sebelum dia kehilangan kontrol, sebelum ketakutannya menghianati dirinya ---
Harry melihat mulut Voldemort bergerak dan melihat secercah cahaya hijau, kemudian semuanya
hilang.

To be continue....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search my Blog