Jumat, 14 Oktober 2011

Harry Potter and The Deathly Hallows Bab 31 Part 1

BAB 31 Part 1
PERTEMPURAN DI HOGWARTS
(The Battle of Hogwarts)

Langit-langit sihiran di Aula Besar terlihat gelap dan bertabur bintang, dibawahnya empat meja asrama
berjajar dikelilingi siswa-siswi yang berkerumun tak beraturan, beberapa mengenakan jubah bepergian,
yang lain memakai baju rumah.  Disana-sini terlihat kilauan seputih mutiara hantu-hantu sekolah.  Setiap
mata, hidup dan mati, tertuju pada Prof.  McGonagall, yang berbicara dari podium di depan aula.
Disampingnya berdiri guru-guru yang tersisa, termasuk sang centaurus, Firenze, dan para anggota Orde
Phoenix yang datang untuk bertempur.
“Evakuasi akan dipandu oleh Mr. Filch dan Madam Pomfrey.  Prefek, jika kuberi komando, atur asrama
kalian dan pimpin dengan rapi seperti biasa menuju titik evakuasi.”
Banyak diantara siswa yang terlihat ketakutan.  Tiba-tiba, ketika Harry menyusuri dinding, mencari Ron
dan Hermione di meja Gryffindor, ErnieMcMillan berdiri diatas meja Hufflepuff dan berteriak;
“Bagaimana jika kami ingin tinggal dan bertarung?”
 Terdengar gemuruh tepuk tangan.
“Jika usiamu cukup, kau boleh tinggal,” ucap Prof.  McGonagall.
“Bagaimana dengan barang-barang kami?”  tanya seorang gadis di meja Ravenclaw.  “Kopor dan burung
hantu kami?”
“Kita tidak punya waktu untuk untuk mengumpulkan barang-barang,” kata Prof. McGonagall.
“Yang terpenting adalah mengeluarkan kalian dari sini dengan selamat.”
“Dimana Prof. Snape?”  teriak seorang gadis di meja Slytherin.
“Dia sedang -menggunakan bahasa umum- bersembunyi di kolong tempat tidur,” jawab Prof.
McGonagall yang disambut sorak-sorai dari anggota asrama Gryffindor, Hufflepuff dan Ravenclaw.
Harry bergerak di aula sepanjang meja Gryffidor, masih mencari Ron dan Hermione.  Ketika dia lewat,
wajah-wajah menoleh memandangnya, dan suara bisik-bisik memecah perhatiannya.
“Kami telah membuat perlindungan di sekitar kastil,”  Prof. McGonagall berkata, ”tapi sepertinya tidak
bisa bertahan lama kecuali kita memperkuatnya.  Oleh karena itu, aku meminta kalian, untuk bergerak
cepat dan tenang, dan lakukan seperti prefek kalian—“
Tetapi kata terakhirnya tenggelam ketika suara lain bergema di seluruh aula.  Suara yang tinggi, dingin
dan jelas.  Tak diketahui darimana asalnya.  Tampaknya keluar dari dinding itu sendiri.  Seperti monster
yang pernah dikuasainya, suara itu mungkin telah berada disana selama berabad-abad.
“Aku tahu kalian bersiap untuk bertempur.”  Terdengar jeritan diantara siswa-siswa, beberapa
diantaranya saling mencengkeram, mencari-cari sumber suara dalam kengerian.  “Usaha kalian sia-sia,
kalian tidak bisa melawanku.  Aku tidak ingin membunuh kalian.  Aku sangat menghormati guru-guru
Hogwarts.  Aku tidak ingin menumpahkan darah sihir.”
Aula sunyi senyap sekarang, kesunyian yang menantang gendang telinga, yang terlalu berat untuk
disangga oleh dinding.
“Berikan Harry Potter padaku,” kata suara Voldemort, “dan mereka tak akan disakiti.  Berikan Harry
Potter padaku, dan aku akan meninggalkan sekolah tanpa menyentuhnya. Berikan Harry Potter padaku
dan kalian akan diberi penghargaan.”
“Kalian mempunyai waktu hingga tengah malam.”
Kesunyian kembali menelan mereka.  Setiap kepala menoleh, setiap mata tampaknya berusaha mencari
Harry, membuat Harry membeku dalam ribuan tatapan mata.  Lalu sesosok tubuh bangkit dari meja
Slytherin dan Harry mengenali Pansy Parkinson ketika ia mengangkat tangannya yang gemetar dan
menjerit, “Tapi ia disini!  Potter disini!  Tangkap dia!”
Sebelum Harry bisa berkata-kata, tampak terbentuk gerakan besar-besaran.  Anak –anak Gryffindor di
depannya berdiri dan menghadang, bukan menghadang Harry, tetapi anak-anak Slytherin.  Kemudian
anak-anak Hufflepuff berdiri, dan hampir bersamaan, anak-anak Ravenclaw, mereka semua
membelakangi Harry, semuanya malah menghadap Pansy, dan Harry, yang terpesona dan gembira,
melihat tongkat muncul dimana-mana, ditarik dari dalam jubah dan lengan baju.

 “Terima kasih, Nona Parkinson,” kata  Prof.  McGonagall dengan suara tercekat.
“Kau boleh meninggalkan aula duluan bersama Mr. Filch, jika anggota asramamu sanggup mengikuti.”
Harry mendengar derit suara bangku-bangku dan mendengar suara anak-anak Slyhterin di sisi lain aula
mulai berjalan keluar.
“Ravenclaw, selanjutnya!”  perintah Prof. McGonagall.
Perlahan keempat meja mulai kosong.  Meja Slytherin telah kosong, tetapi beberapa anak Ravenclaw
yang lebih tua tetap duduk sementara teman-temannya berderet keluar; bahkan lebih banyak lagi anak
Hufflepuff yang tetap tinggal, dan separuh Gryffindor tetap di tempatnya, mengharuskan Prof.
McGonagall turun dari podium guru untuk memandu siswa di bawah umur untuk mengikuti yang lain.
“Tidak boleh, Creevey, ayo!  Kau juga Peakes!”
Harry bergegas menuju keluarga Weasley, yang semuanya duduk di meja Gryffindor.
“Dimana Ron dan Hermione?”
“Kau belum menemukan—?“ Mr. Weasley terlihat cemas.
Tapi kalimatnya terhenti ketika Kingsley menaiki podium untuk berbicara kepada semua yang tetap
tinggal di aula.
“Kita hanya punya waktu setengah jam hingga tengah malam, jadi kita harus bergerak cepat.  Rencana
pertempuran telah disetujui antara guru-guru Hogwarts dengan Orde Phoenix.  Prof. Flitwick, Sprout dan
Mc. Gonagall akan memimpin kelompok-kelompok pejuang naik ke tiga menara tertinggi –Ravenclaw,
Astronomi dan Gryffindor— yang sudut pandangnya paling bagus, posisi yang sempurna untuk
melancarkan mantra.  Sementara Remus” –dia menunjuk Lupin— “Arthur” menunjuk Mr. Weasley yang
duduk di meja Gryffindor—“ dan aku, akan memimpin kelompok di bawah.  Kita perlu seseorang untuk
mengorganisir pertahanan di pintu-pintu masuk atau jalan tembus menuju sekolah—“
“Kedengarannya seperti pekerjaan untuk kita,” kata Fred, menunjuk dirinya dan George, dan Kingsley
mengangguk setuju.
“Baiklah, para pemimpin kesini dan kita akan memencar pasukan!”
“Potter,” ujar Prof. McGonagall, bergegas mendekatinya, ketika siswa-siswa memenuhi podium,
menempatkan diri, dan menerima perintah, “Bukankah kau seharusnya mencari sesuatu?”
“Apa? Oh” ucap Harry, “Oh, yeah!”
Dia hampir melupakan Horcrux, hampir lupa bahwa pertempuran akan digelar supaya dia bisa
mencarinya:  Ketiadaan Ron dan Hermione yang tidak jelas sementara telah membuang pikiran lain dari
kepalanya.
“Pergilah Potter, ayo!”
“Benar—yeah—“
 Dia merasakan berpasang-pasang mata memandang ketika ia berlari keluar lagi dari aula besar menuju
aula depan yang penuh sesak dengan siswa-siswa yang dievakuasi.  Ia membiarkan dirinya terbawa
rombongan mereka menuju tangga pualam, tapi sampai diatas ia bergegas menyusuri koridor yang sunyi.
Rasa takut dan panik membuatnya sulit berpikir.  Ia berusaha menenangkan diri, berkonsentrasi untuk
menemukan Horcrux, tapi pikirannya simpang  siur, kalut dan bingung seperti lebah yang terjebak
diantara kaca.  Tanpa Ron dan Hermione yang membantunya, tampaknya ia kesulitan menyusun
rencana.  Dia melambat di tengah koridor, duduk di alas sebuah patung retak dan mengambil Peta
Perompak dari kantong yang tergantung di lehernya.  Tidak terlihat nama Ron dan Hermione dimanapun,
walaupun padatnya titik yang sekarang menuju ke Kamar Kebutuhan, pikirnya, mungkin saja
menyembunyikan mereka.  Dia meletakkan peta, menutup wajah dengan tangannya, terpejam, dan
mencoba untuk konsentrasi.
Voldemort mengira aku pergi ke menara Ravenclaw.
Itu dia, petunjuk jelas dari mana harus memulai.  Voldemort telah menempatkan Alecto Carrow di ruang
rekreasi Ravenclaw, dan pasti hanya ada satu penjelasan; Voldemort kuatir Harry sudah tahu
Horcruxnya berhubungan dengan asrama itu.
Tapi tampaknya satu-satunya benda yang dihubungkan dengan asrama itu oleh semua orang hanyalah
diadem yang hilang…  dan bagaimana mungkin Horcruxnya adalah diadem itu?  Apa mungkin
Voldemort, anak Slytherin, bisa menemukan diadem yang tidak diketahui oleh bergenerasi anggota
Ravenclaw?  Siapa yang bisa memberitahunya dimana harus mencari, ketika tidak ada orang yang pernah
melihatnya yang masih hidup?
Yang masih hidup….
Mata Harry terbuka kembali di sela-sela jarinya.  Dia melompat bangun dari alas patung dan bergegas
berbalik arah kembali ke jalan yang telah ia lalui, mengejar harapan satu-satunya.  Suara ratusan orang
yang bergerak kearah Kamar Kebutuhan terdengar semakin jelas ketika ia kembali ke tangga pualam.
Para Prefek meneriakkan instruksi, berusaha menjaga para siswa tetap di jalur asramanya, semakin
banyak dorongan dan teriakan;  Harry melihat Zacharias Smith meluncur cepat menuju antrian depan;
disana-sini terdengar isak tangis siswa-siswa yang lebih muda, sementara yang lebih tua saling memanggil
teman dan saudara dengan putus asa.
Harry menangkap kilau sosok seputih mutiara melayang melewati pintu masuk aula dan berteriak sekeras
mungkin di tengah keramaian.
“Nick!  NICK!  Aku harus bicara denganmu!”
Dia menerobos kerumunan siswa, hingga  sampai di dasar tangga, dimana Nick si Kepala-Nyaris-Putus,
hantu Gryffidor, berdiri menunggunya.
“Harry!  Anakku!”
Nick berusaha meraih tangan Harry; membuat Harry merasa seperti masuk ke dalam air  es.
“Nick, kau harus membantuku.  Siapa hantu menara  Ravenclaw?”
Nick si Kepala-Nyaris-Putus kelihatan terkejut dan sedikit tersinggung.
 “Grey Lady, tentu saja; tapi jika layanan hantu yang kau perlukan—“
“Itu pasti dia—kau tahu dimana dia?”
“Coba kulihat…”
Kepala Nick bergoyang diatas rimpelnya ketika ia berputar kesana kemari, mengintip dari balik kepala
siswa-siswa yang berkerumun.
“Itu dia disana, Harry.  Wanita muda yang berambut panjang.”
Harry melihat kearah yang ditunjuk jari Nick yang transparan, dan menemukan hantu tinggi yang
menyadari bahwa Harry sedang memandangnya, ia mengangkat alis, dan melayang melalui dinding yang
padat.
“Hei—tunggu—kembali!”
Ia mau berhenti, melayang beberapa inci dari lantai.  Menurut Harry ia cantik, dengan rambut panjang
sepinggang dan jubah panjang menyentuh lantai, tapi ia juga terlihat angkuh dan berbangga diri.  Semakin
dekat, Harry segera mengenalinya sebagai hantu yang sering berpapasan dengannya di koridor, tapi ia
tak pernah bicara dengannya.
“Kau Grey Lady?”
Ia mengangguk tapi tak bicara.
“Hantu menara Ravenclaw?”
“Itu benar.”
Nadanya tak meyakinkan.
“Tolonglah, aku butuh bantuan.  Tolong katakan padaku semua yang kau ketahui tentang diadem yang
hilang.”
Senyum dingin terbentuk di bibirnya.
“Sayangnya,” ujarnya, berputar menjauh, “aku tidak bisa membantumu.”
“TUNGGU!”
Dia tidak bermaksud berteriak, tapi kepanikan dan kemarahan menguasainya.  Harry melirik jamnya
sekilas ketika Grey Lady melayang di depannya.  Seperempat jam lagi tengah malam.
“Ini penting,” ia berkata keras.  “Jika diadem itu di Hogwarts, kita harus segera menemukannya.”
“Kau bukan siswa pertama yang mendambakan diadem itu,” katanya menghina.  “Bergenerasi siswa
telah mendesakku—“
“Ini bukan tentang mendapatkan nama baik!”  Harry berteriak padanya, “ini tentang Voldemort
–mengalahkan Voldemort—atau kau tidak tertarik?”
 Bukannya merona, pipinya yang transparan berubah menjadi buram dan suaranya memanas ketika ia
menjawab, “Tentu saja aku—betapa beraninya kau mengatakan—“
“Kalau begitu, bantulah aku!”
Dia mulai tidak tenang.
“Itu—itu bukan pertanyaan yang—“ dia menjawab gagap, “diadem ibuku—“
“Ibumu?”
Dia kelihatan marah pada dirinya sendiri.
“Ketika aku masih hidup,” katanya kaku, “aku Helena Ravenclaw.”
“Kau putrinya?  Tapi, kau pasti mengetahui apa yang terjadi pada diadem itu.”
“Diadem itu melimpahkan kearifan,” katanya berusaha menguasai diri, “aku ragu benda itu bisa
memerbesar kesempatanmu mengalahkan penyihir yang menamai dirinya sendiri Lord—“
“Sudah kubilang aku tidak tertarik memakainya!”  kata Harry bersikeras; “Tak ada waktu untuk
menjelaskan—tapi kalau kau peduli dengan Hogwarts, kalau kau ingin melihat Voldemort berakhir, kau
harus memberitahuku semua yang kau tahu tentang diadem itu!”
Dia masih membisu, melayang di udara, memandang Harry dan rasa putus asa melanda Harry.  Tentu
saja, jika ia tahu sesuatu, ia tentu sudah mengatakannya pada Flitwick atau Dumbledore, yang pasti
sudah pernah menanyakan hal yang sama.  Dia menggelengkan kepala dan berpaling ketika berbicara
dengan suara pelan.
“Aku mencuri diadem itu dari ibuku.”

“Kau—kau apa?”
“Aku mencuri diadem itu,” ulang Helena Ravenclaw dalam bisikan.  “Aku mencoba membuat diriku lebih
pintar, lebih penting daripada ibuku.  Aku kabur dengan diadem itu.”
Harry tidak tahu bagaimana dia berhasil mendapatkan kepercayaannya dan tidak bertanya, ia hanya
mendengarkan, baik-baik, ketika Helena melanjutkan.
“Ibuku, mereka bilang, tak pernah mengakui bahwa diademnya hilang, melainkan berpura-pura masih
memilikinya.  Beliau menyembunyikan kenyataan tentang hilangnya diadem itu, juga pengkhianatanku
yang menyakitkan, bahkan dari para pendiri Hogwarts yang lain.”
“Kemudian ibuku sakit—sakit parah.  Walaupun aku berkhianat, beliau mati-matian berusaha
menemuiku sekali lagi.  Beliau mengirim orang yang sangat mencintaiku, walaupun aku menolak
rayuannya, untuk menemukanku.  Beliau tahu bahwa laki-laki itu tidak akan berhenti hingga berhasil.”
Harry menunggu.  Wanita itu menghela nafas dan menoleh kebelakang.
“Dia melacakku hingga ke hutan tempatku bersembunyi.  Ketika aku menolak untuk pulang bersamanya,
 ia menjadi kejam.  Baron memang selalu gampang naik darah.  Berang karena penolakanku, cemburu
pada kebebasanku, ia lalu menusukku.”
“Baron?  Maksudmu—“
“Baron Berdarah,ya,” ujar Grey Lady, dan dia menyibakkan jubahnya untuk memperlihatkan satu luka
gelap di dada putihnya.  “Ketika dia  menyadari apa yang telah dilakukannya, dia sangat menyesal.  Dia
mengambil senjata yang telah membunuhku, dan menggunakannya untuk bunuh diri.  Selama
berabad-abad kemudian ia mengenakan rantainya sebagai bukti penyesalannya…. jika dia bisa,” ia
menambahkan dengan sengit.
“Dan—dan diademnya?”
“Masih berada di tempat aku menyembunyikannya ketika kudengar Baron memasuki hutan
mendekatiku.  Tersimpan di dalam lubang pohon.”
“Lubang pohon?” ulang Harry.  “Pohon apa?  Dimana tempatnya?”
“Hutan di Albania.  Tempat sunyi yang menurutku cukup jauh dari jangkauan ibuku.”
“Albania,” ulang Harry.  Secara menakjubkan, kebingungan berubah menjadi pengertian, dan sekarang ia
memahami kenapa wanita itu berterus terang padanya tentang hal yang tak mau ia jelaskan pada
Dumbledore dan Flitwick.  “Kau pernah menceritakan hal ini pada seseorang, ya kan?  Siswa lain?”
Ia memejamkan mata dan mengangguk.
“Aku… tak tahu… ia menyanjungku.  Tampaknya ia… memahami… bersimpati.”
Ya, pikir Harry.  Tom Riddle pasti memahami keinginan Helena Ravenclaw untuk memiliki benda luar
biasa yang sebenarnya bukan haknya.
“Well, kau bukan orang pertama yang terpedaya oleh Riddle,” Harry bergumam.  “Dia bisa sangat
menarik jika dia mau.”
Jadi Voldemort telah berhasil memancing informasi tentang lokasi diadem yang hilang dari Grey Lady.  Ia
telah berkelana ke hutan yang jauh dan mengambil diadem kembali dari tempat persembunyiannya,
mungkin segera setelah ia meninggalkan Hogwarts, bahkan sebelum ia mulai bekerja di Borgin and
Burkes.
Dan bukankah hutan terpencil Albania itu tampaknya merupakan tempat berlindung yang bagus ketika,
lama sesudahnya, Voldemort memerlukan tempat untuk menyembunyikan diri, tidak terganggu,  selama
10 tahun?
Tapi diadem itu, setelah menjadi Horcruxnya yang berharga, tidak ditinggalkan di pohon rendah itu…
Tidak, diadem  itu telah dikembalikan secara diam-diam, ke rumah yang sebenarnya, dan Voldemort
pasti telah meletakkannya disana—
“—malam dia melamar pekerjaan!” kata Harry, menghentikan penalarannya.
“Maaf?”
 “Dia menyembunyikan diadem di kastil, di malam ia melamar pekerjaan sebagai guru kepada
Dumbledore!”  ujar Harry.  Berteriak membuatnya lebih memahami semuanya.  “Dia pasti telah
menyembunyikan diadem itu dalam perjalanannya menuju, atau setelah dari, kantor Dumbledore!
Lumayan juga usahanya melamar pekerjaan—jadi dia juga punya kesempatan mengecek pedang
Gryffindor—terima kasih banyak!”
Harry meninggalkannya melayang di udara, tampak benar-benar bingung.  Sambil berbelok di ujung
kembali ke aula depan, ia mengecek jam.  Lima menit sebelum tengah malam, dan walaupun ia tahu
apa
Horcrux terakhir, ia masih belum menemukan dimana tempatnya…
Bergenerasi siswa gagal menemukan diadem itu; menandakan tempatnya bukan di menara
Ravenclaw—tapi bila bukan disana, dimana? Tempat bersembunyi apa yang Tom Riddle temukan di
dalam kastil Hogwarts, yang; dia yakin akan menyimpan rahasia selamanya?
Bingung dengan spekulasi tanpa harapan, Harry berbelok di pojok, tapi baru berjalan beberapa langkah
di koridor baru, tiba-tiba jendela di sebelah kirinya pecah memekakkan telinga, hancur
berkeping-keping.  Ketika ia melompat kesamping, sesosok tubuh ukuran raksasa melayang masuk
jendela dan menabrak dinding di seberangnya.
Sesuatu yang besar dan berbulu berdiri, merengek, melepaskan diri dari sang pendatang dan
melemparkan dirinya kepada Harry.
“Hagrid!”  Harry berteriak, melepaskan diri dari perhatian yang berlebihan dari Fang si anjing pemburu
babi hutan, ketika seseorang seukuran beruang berusaha berdiri dengan susah payah.  “Apa yang--?”
“Harry, kau d’sini!
Kau d’sini!
Hagrid membungkuk, menghadiahi Harry dengan pelukan sekilas yang meremukkan tulang iga, lalu
berlari menuju jendela yang pecah.
“Anak pintar, Grawpy!”  dia berteriak di jendela yang berlubang.  “Kutemui kau sebentar lagi, itu baru
anak baik!”
Di belakang Hagrid, melalui kegelapan malam, Harry melihat kilatan cahaya di kejauhan dan mendengar
jerit ratapan yang aneh.  Dia melihat jamnya:  Ini tengah malam, pertempuran dimulai.
“Ya ampun, Harry,” kata Hagrid dengan nafas terengah-engah, ”ini dia, kan?  Waktunya bertarung?”
“Hagrid, kau dari mana?”
“Dengar Kau-Tahu-Siapa dari gua kami,” kata Hagrid tegar, “suara terbawa, kan?  ‘Kalian punya waktu
sampai tengah malam ‘tuk serahkan Potter.’  Tau kau pasti disini, tau ini pasti terjadi.
Menunduk,
Fang.
Jadi kami kesini ‘tuk bergabung, aku dan Grawpy dan Fang.  Mendobrak jalan lewat perbatasan dekat
hutan, Grawpy bawa kami, Fang dan aku.  Bilang dia ‘tuk turunkan aku di kastil, jadi dia lemparkanku
lewat jendela, semoga dia diberkati.  Tidak terlalu tepat sih, tapi – dimana Ron dan Hermione?”
“Itu,” ujar Harry, “pertanyaan yang bagus.  Ayo.”
Mereka bergegas menyusuri koridor, Fang menjulurkan lidah mengiringi mereka.  Harry bisa mendengar
gerakan dimana-mana melalui koridor:  langkah kaki berlarian, teriakan; melalui jendela ia bisa melihat
kilatan cahaya di tanah yang gelap.
 “Kemana kita?”  Hagrid terengah-engah, berdebam di belakang Harry, menciptakan gempa di
permukaan lantai.
“Aku belum tahu pasti,” ucap Harry, menoleh kesana-kemari, “tapi Ron dan Hermione pasti di suatu
tempat di sekitar sini…”
Korban pertama pertempuran sudah berserakan tepat di lorong depan mereka:  dua gargoyle batu yang
biasanya menjaga pintu masuk ruangan staf telah hancur lebur karena mantra yang masuk melalui jendela
pecah di sisi yang lain.  Sisa-sisanya bergoyang lemah di lantai, dan ketika Harry melompati salah satu
kepala yang sudah tak berbentuk, gargoyle itu merintih lemah, “Oh, jangan pedulikan aku… aku akan
tetap disini dan hancur…”
Wajah batunya yang jelek tiba-tiba mengingatkan Harry pada patung dada pualam Rowena Ravenclaw
di rumah Xenophilius, mengenakan hiasan kepala gila itu –dan kemudian pada patung di menara
Ravenclaw, dengan diadem batu diatas rambut putih keritingnya….
Dan ketika ia sampai di ujung lorong, ingatan akan patung batu ketiga tiba-tiba muncul di pikirannya;
penyihir tua jelek, yang kepalanya Harry pasangi wig dan topi tua.  Rasa terkejut meliputi Harry, seperti
terkena panasnya Wiski Api, sampai membuatnya hampir tersandung.
Dia tahu, akhirnya, dimana Horcrux telah menunggunya…..
Tom Riddle, yang tidak mempercayai siapapun dan bergerak sendirian, mungkin cukup sombong untuk
mengira bahwa ia, dan hanya ia, telah menjelajahi misteri terdalam Kastil Hogwarts.  Tentu saja,
Dumbledore dan Flitwick, tipe murid demikian, tidak pernah menginjakkan kaki di tempat semacam itu,
tapi dia, Harry, telah berkeliaran sepanjang hidupnya di sekolah dan menguasai jalur-jalur rahasia.  Paling
tidak, ini wilayah rahasia yang sama-sama diketahuinya dan Voldemort, yang Dumbledore tak pernah
menemukan--.
Ia disadarkan oleh Prof.  Sprout yang bergerak cepat diikuti Neville dan setengah lusin yang lain,
semuanya mengenakan pelindung telinga dan membawa sesuatu seperti tumbuhan besar dalam pot.
“Mandrake!” Neville berteriak kepada Harry seraya berlari, “untuk dilemparkan kepada mereka lewat
dinding—mereka tak akan suka ini!”

Harry sekarang mengerti harus pergi kemana.  Ia mempercepat langkah, dengan Hagrid dan Fang berlari
kencang mengiringinya.  Mereka melewati lukisan demi lukisan, dan sosok-sosok dalam lukisan ikut
berlari bersama mereka, penyihir pria dan wanita dalam balutan kerah berenda dan celana panjang, baju
besi dan jubah, saling menjejalkan diri ke dalam kanvas rekannya, meneriakkan berita dari bagian lain
kastil.  Ketika mereka sampai di ujung koridor, seluruh kastil bergetar, dan Harry tahu, ketika sebuah vas
raksasa terbang dengan kekuatan yang bisa meledakkan, bahwa itu disihir dengan parah, tak mungkin
dari para guru atau anggota Orde.
“Tak apa, Fang—tak apa!” teriak Hagrid, tapi anjing pemburu babi hutan besar itu telah kabur secepat
potongan kayu Cina melayang seperti granat, dan Hagrid mengikuti anjing yang ketakutan itu dengan
langkah besarnya meninggalkan Harry sendirian.
Ia maju perlahan melalui jalan yang bergetar, dengan tongkat siap, dan sepanjang satu koridor lukisan
ksatria kecil, Sir Cadrigan, berlari dari lukisan ke lukisan di sebelahnya, baju besinya berkelontangan,
meneriakkan semangat, kuda poni gemuknya berjalan mengikutinya dengan santai.
 “Pembual dan bajingan, anjing dan bangsat, usir mereka, Harry Potter, hadapi mereka!”
Harry berbelok di pojok dan bertemu Fred bersama sejumlah siswa, termasuk Lee Jordan dan Hannah
Abbot, berdiri disamping alas kosong yang lain, yang mana patungnya telah menutup jalan rahasia.
Tongkat mereka turun dan mereka sedang mendengarkan lubang yang tertutup.
“Malam yang indah untuk melakukan ini!” Fred berteriak, ketika kastil bergoyang lagi, dan Harry melesat
dengan perasaan takut dan bahagia yang bercampur aduk.  Sepanjang koridor selanjutnya ia berlari
cepat, burung-burung hantu dimana-mana, Mrs.  Norris berdesis dan berusaha mengusir mereka dengan
cakarnya, pasti untuk mengembalikan mereka ke tempatnya…
“Potter!”
Aberforth Dumbledore berdiri menutupi koridor selanjutnya, tongkatnya tergenggam siap.
“Ratusan anak melewat pub-ku , Potter!”
“Aku tahu, kami mengevakuasi,” kata Harry, “Voldemort—“
“—menyerang karena belum mendapatkanmu, yeah—“ ujar Aberforth, “Aku tidak tuli, seluruh
Hogsmeade mendengarnya.  Dan tak pernah terpikir oleh kalian untuk menahan sedikit anak Slytherin
sebagai sandera?  Anak-anak
Death Eater
yang kalian selamatkan.  Bukankah lebih cerdik bila mereka
tetap disini?”
“Itu tak akan menghalangi Voldemort,” ucap Harry, “dan kakak anda tidak akan pernah melakukannya.”
Aberforth menggerutu dan pergi kearah berlawanan.
Kakak anda  tidak akan pernah melakukannya….
Ya, itu memang benar, pikir Harry ketika ia mulai
berlari lagi:  Dumbledore, yang  begitu lama  mempertahankan Snape, tidak akan pernah menyandera
siswa…
Dan ketika ia sampai di pojok terakhir, dengan campuran teriakan antara lega dan marah ia melihat
mereka:  Ron dan Hermione; keduanya dengan lengan penuh benda kuning yang besar, melengkung dan
kotor, Ron dengan sapu terbang di bawah lengannya.
“Dari mana saja kalian?” Harry berteriak.
“Kamar Rahasia,” jawab Ron.
“Kamar—
apa
?” ujar Harry, tertegun.
“Itu ide Ron, semuanya ide Ron,” kata Hermione terengah-engah. “Bukankah itu brilian?  Disanalah
kami, setelah kita pergi, dan aku bilang Ron, walaupun kita menemukan yang satu lagi, bagaimana kita
akan menghancurkannya?  Kita masih belum bisa menghancurkan piala!  Dan lalu dia ingat!  Basilisk!”
“Apa yang--?”
“Sesuatu untuk menghancurkan Horcrux,” kata Ron tenang.
 Mata Harry terpaku pada benda di lengan Ron dan Hermione:  gigi taring besar melengkung:  terpotong,
sekarang dia mengenali, berasal dari tengkorak basilisk mati.
“Bagaimana kalian bisa masuk kedalam?” tanya Harry, mengalihkan pandangan dari gigi taring ke Ron.
“Kau harus berbicara Parseltongue!”
“Dia bisa,” bisik Hermione.  “Tunjukkan Ron!” Ron membuat suara berdesis yang aneh.
“Itu yang kau lakukan ketika membuka liontin,” Ron menjelaskan pada Harry dengan agak menyesal.
“Tapi aku harus mencoba beberapa kali sampai menemukan yang benar,” katanya merendah, “akhirnya
kami sampai di dalam.”
“Dia
luar biasa
!” kata Hermione.
“Luar biasa!”

“Jadi…”  Harry berusaha melanjutkan.  “Jadi…?”
“Jadi satu Horcrux sudah beres,” ujar Ron, dan dari dalam jaketnya ia menarik sisa-sisa piala Hufflepuff
yang terkoyak.  “Hermione menusuknya.  Untunglah dia berhasil.  Dia sama sekali tidak menikmatinya.”
“Jenius!”  Harry berteriak.
“Itu bukan apa-apa,” ucap Ron, walaupun dia kelihatan puas dengan dirinya.  “Jadi, bagaimana
denganmu?”
Bersamaan dengan itu, ledakan terdengar diatas:  mereka bertiga melihat keatas ketika debu berjatuhan
dari langit-langit dan mendengar teriakan di kejauhan.



To be continue..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search my Blog