Selasa, 04 Oktober 2011

Harry Potter And The Deathly Hallows Bab 9

BAB 9
TEMPAT PERSEMBUNYIAN
 (A Place To Hide)



Semuanya berjalan lambat dan membingungkan. Harry dan Hermione meloncat dari kursi dan
mengeluarkan tongkat mereka. Banyak orang yang baru menyadari suatu hal aneh telah terjadi. Mereka
masih tampak kebingungan saat kucing perak itu menghilang. Semua bungkam memandangi tempat
Patronus tadi muncul, lalu seseorang berteriak.
Harry dan Hermione berlari menerobos kerumunan orang yang panik. Para tamu berlari ke segala arah,
beberapa di antaranya ber-Disapparate, perlindungan the Burrow telah pecah.
”Ron!” teriak Hermione. “Ron, kau di mana?”
Saat mereka menerobos di tengah lantai dansa, Harry dapat melihat sosok bertudung dan bertopeng
muncul. Lalu ia melihat Lupin dan Tonks mengangkat tongkat mereka dan keduanya berteriak
”Protego!”, dan terdengar tangisan menggema.
”Ron! Ron!” panggil Hermione yang hampir menangis saat mereka berada di tengah-tengah para tamu
yang ketakutan. Harry meraih tangan Hermoine meyakinkan diri agar tidak terpisah. Lalu kilatan cahaya
melewati atas kepala mereka.
Akhirnya mereka menemukan Ron, yang langsung meraih tangan Hermione yang lain, lalu Harry merasa
tempat itu berputar. Semuanya berubah gelap. Dan yang bisa Harry rasakan hanya tangan Hermione
yang menggenggamnya erat. Harry merasa mereka menjauh dari the Burrow, dari
Death Eater
yang
berdatang, bahkan dari Voldemort.
“Kita ada di mana?” terdengar suara Ron.
Harry membuka matanya. Sesaat ia pikir mereka masih di pesta pernikahan, karena mereka masih
dikelilingi oleh banyak orang.
”Jalan Totenham Court,” kata Hermione terengah-engah. ”Jalan. Kita harus menemukan tempat untuk
berganti pakaian.”
Harry menurut. Mereka setengah berlari di sebuah jalan yang lebar dan gelap yang dipenuhi pejalan
kaki. Di kedua sisi jalan berjajar toko-toko yang sudah tutup, dan bintang-bintang berkedip di atas
mereka. Saat sebuah bus tingkat berhenti dan penumpang di dalamnya menatap mereka saat mereka
berlari melewatinya. Harry dan Ron masih mengenakan jubah pesta mereka.
”Hermione, kita tidak membawa pakaian ganti,” kata Ron saat seorang wanita tertawa keras melihatnya.
”Mengapa aku tidak membawa Jubah Gaib?” Harry mengutuki kebodohannya sendiri. ”Tahun lalu aku
membawanya ke mana-mana.”
“Tenang, aku membawa Jubahmu, dan aku membawa pakaian ganti untuk kita semua,” kata Hermione.
“Sekarang bersikaplah seperti biasa, masuk kemari.”
Hermione berbelok masuk ke dalam gang kecil yang gelap.
“Saat kau bilang kau membawa Jubah dan pakaian…” kata Harry sambil mengerutkan dahinya ke arah
 Hermione yang hanya membawa tas manik kecil, yang jelas tidak punya banyak ruang di dalamnya.
“Bagaimana mungkin…”
“Mantra Perluasan Tak Terdeteksi,” kata Hermione. “Sulit memang, tapi aku rasa aku sudah
melakukannya dengan baik. Aku sudah memasukkan semua yang kita butuhkan.”Hermione
mengayunkan tas kecilnya yang kemudian terdengar gema seperti kotak dengan banyak muatan yang
berguling di dalam. “Oh, sial, pasti buku-buku itu,” kata Hermione sambil mengintip ke dalam tas,
“padahal sudah kutata sesuai dengan abjad… ah sudahlah… Harry, pakai Jubah Gaibmu. Ron, cepat
ganti pakaianmu.”
“Kapan kau mengemasi semua ini?” tanya Harry saat Ron melepas jubahnya.
“Sudah kubilang di the Burrow, kan? Aku mengemasi barang-barang yang kita butuhkan. Kau tahu,
siapa tahu kita harus kabur tiba-tiba. Aku mengemasi ranselmu tadi pagi, Harry, setelah kau ganti baju…
dan aku masukkan ke sini semua… saat itu aku merasa…”
“Kau memang benar-benar luar biasa,” kata Ron yang menyerahkan gulungan jubahnya.
“Terima kasih,” kata Hermione yang berusaha memasukkan jubah Ron ke dalam tasnya. “Harry, cepat
pakai Jubahmu!”
Harry memakai Jubah Gaib di bahunya dan memakai tudung untuk menutupi kepalanya, dan ia
menghilang dari penglihatan. Harry baru saja menyadari apa yang baru saja terjadi.
“Yang lain — orang-orang di pesta pernikahan…”
“Kita tidak bisa mengkhawatirkan mereka sekarang,” bisik Hermione. “Mereka mencarimu, Harry, dan
akan lebih membahayakan mereka bila kau kembali ke sana.”
“Hermione benar,” kata Ron yang seperti tahu kalau Harry akan berkomentar walau Ron tidak bisa
melihatnya. “Hampir semua anggota Orde ada di sana. Mereka akan mengatasinya.”
Harry mengangguk, lalu teringat kalau mereka tidak bisa melihatnya dan berkata, “Benar.” Lalu Harry
teringat akan Ginny dan ia merasa perutnya dipenuhi cairan asam.
“Ayo, aku rasa kita harus pergi,” kata Hermione.
Mereka kembali ke jalan dan melihat segerombolan orang yang bernyanyi bersama saat menyebrang
jalanan.
“Hanya ingin tahu, mengapa Jalan Tottenham Court?” tanya Ron pada Hermione.
“Entahlah, muncul begitu saja di kepalaku. Tapi aku yakin kita akan lebih aman di dunia Muggle, mereka
tidak akan mengira kita akan kemari.”
“Benar,” kata Ron sambil melihat sekeliling, “tapi apa tidak terlalu – terbuka?”
“Memang mau di mana lagi?” kata Hermione yang terlihat ngeri saat gerombolan pria di sebrang jalan
bersiul padanya. “Kita tidak mungkin bisa memesan kamar di Leaky Cauldron, kan? Lalu Grimmauld
Place, Snape bisa saja masuk ke sana… kurasa kita bisa mencoba bersembunyi di rumah orang tuaku,
 walau mungkin saja mereka akan kembali… oh, aku harap mereka tidak akan bilang apa-apa.”
“Baik-baik saja, sayang?” teriak pria mabuk di seberang jalan. “Mau minum? Segelas besar ditch ginger
mungkin?”
“Ayo cari tempat duduk,” kata Hermione tak sabar saat Ron ingin membalas teriakan pria di seberang
jalan. “Lihat! Ayo ke sana!”
Sebuah cafe malam yang kecil dan lusuh. Sebuah lampu minyak redup ada di setiap meja plastik, tapi
tempat itu hampir kosong. Harry duduk di kursi di pojok dan Ron duduk di sampingnya, di depan
Hermione. Hermione tidak menyukai tempat ini, ia begitu sering menoleh untuk memastikan karena ia
duduk membelakangi pintu masuk. Harry tidak suka diam saja, berjalan telah memberinya ilusi bahwa
mereka memiliki tujuan. Di bawah Jubah, Harry dapat merasakan efek Ramuan Polijus perlahan
memudar, tangannya sudah kembali seperti semula. Harry mengeluarkan kacamatanya dan memakainya.
Setelah beberapa menit, Ron berkata,
“Kau tahu kita tidak jauh dari Leaky Cauldron, jalan Charing Cross hanya…”
“Kita tidak bisa Ron!” kata Hermione.


“Kita tidak perlu menginap di sana, hanya untuk cari tahu apa yang terjadi!”
“Kita tahu apa yang terjadi! Voldemort sudah menguasai Kementrian. Apa lagi yang perlu kita tahu?”
“Baik, baik, itu hanya sebuah usulan.”
Lalu kembali bungkam. Pelayan yang sedang mengunyah permen karet mendekat dan Hermione
memesan dua cappucino. Karena Harry tidak terlihat, tentu aneh bila mereka memesan tiga. Dua orang
pekerja yang tinggi besar memasuki café dan duduk di sebelah mereka. Hermione mengecilkan suaranya
menjadi bisikan.
“Setelah kita menemukan tempat yang cukup sepi untuk ber-Dissaparate dan kita pergi ke pedesaan,
aku akan mengirim pesan untuk anggota Orde.”
“Kau bisa melakukan Patronus yang berbicara itu?” tanya Ron.
“Aku sudah berlatih, dan aku rasa aku bisa,” kata Hermione.
“Selama hal itu tidak mempersulit mereka saja. Bisa saja mereka sedang ditahan sekarang. Ya ampun,
menjijikkan,” tambah Ron setelah menerima dan mencicipi kopi dengan busa di atasnya. Pelayan itu
langsung memelototinya dan pergi untuk melayani tamu yang lain. Pekerja bertubuh besar dan berambut
pirang itu mengusir sang pelayan. Pelayan itu menatap merasa terhina.
“Ayo pergi, aku tidak ingin minum kotoran ini,” kata Ron. “Hermione, apa kau membawa uang Muggle
untuk membayar ini?”
“Ya, aku membawa semua tabunganku sebelum berangkat ke the Burrow. Aku rasa uangku ada di
dasar tas,” keluh Hermione sambil mengambil tas maniknya.
Kedua pekerja yang duduk di seberang mereka juga melakukan hal yang sama, dan Harry secara insting
 menarik tongkatnya. Seketika mereka bertiga telah memegang tongkat masing-masing. Ron baru
menyadari apa yang terjadi, langsung mendorong Hermione untuk bersembunyi di bawah bangku, tepat
saat seorang
Death Eater
melepaskan mantra yang meleset dan mengenai dinding. Harry yang masih
tidak kelihatan, berteriak, “Stupefy!”
Death Eater
berambut pirang terkena kilatan cahaya merah tepat di wajahnya, yang langsung terjatuh,
pingsan. Temannya, tidak tahu darimana mantra itu berasal, melepaskan serangan pada Ron. Tali hitam
meluncur dari ujung talinya dan mengikat tubuh Ron –- pelayan itu berteriak dan berlari keluar pintu –-
Harry melepaskan Mantra Pemingsan lagi pada
Death Eater
yang sudah mengikat Ron. Tapi mantra itu
meleset, memantul di kaca jendela, dan mengenai sang pelayan yang langsung pingsan.
“Expulso!” teriak
Death Eater
itu, lalu meja yang ada di depan Harry meledak. Ledakan itu membuat
Harry terpental ke dinding dan tongkatnya terlepas, dan Harry merasa Jubahnya merosot.
“Petrificus totalus!” teriak Hermione, dan
Death Eater
itu terbujur kaku dan jatuh ke atas meja, kursi,
danporselen di dekatnya. Hermione merangkak keluar dari bawah bangku sambil membersihkan
pecahan asbak yang menjatuhi rambutnya. Hermione gemetar hebat.
“D-Diffindo!” Hermione mengacungkan pada Ron yang langsung berteriak karena Hermione menyobek
bagian lutut celana jeansnya. “Oh, maaf, Ron, tanganku gemetar! Diffindo!”
Tali yang mengikat Ron terlepas. Ron berdiri dan menggerakkan tangannya untuk meredakan rasa
sakitnya. Harry memungut tongkatnya dan menyingkirkan puing-puing bekas pertarungan yang menutupi
tubuh besar
Death Eater
yang berambut pirang yang sekarang tergeletak di bawah bangku.
“Seharusnya aku mengenalinya, dia ada di sana saat Dumbledore meninggal,” kata Harry. Harry
berpindah ke
Death Eater
lainnya. Mata pria itu bergerak cepat memelototi Harry, Ron, dan Hermione.
”Dolohov,” kata Ron. “Aku mengenalinya dari poster buronan tua. Aku rasa yang besar itu Thorfirm
Rowle.”
“Aku tidak peduli siapa mereka!” kata Hermione sedikit histeris. “Bagaimana mereka menemukan kita?
Apa yang harus kita lakukan?”
Entah bagaimana kepanikan Hermione bisa membuat Harry bisa berpikir jernih.
“Kunci pintunya,” kata Harry pada Hermione, “dan Ron, padamkan lampu.”
Harry memandangi Dolohov yang lumpuh, berpikir cepat saat pintu terkunci dan Ron menggunakan
Deluminator untuk menenggelamkan café itu dalam kegelapan. Harry bisa mendengar dari jauh pria yang
menggoda Hermione tadi, sekarang berteriak pada gadis lain.
“Apa yang harus kita lakukan pada mereka?” bisik Ron pada Harry dalam gelap. “Bunuh saja mereka?
Mereka pasti akan membunuh kita.”
Hermione ketakutan dan mundur beberapa langkah. Harry menggelengkan kepalanya.
“Kita akan menghapus ingatan mereka,” kata Harry. “itu lebih baik dan mereka tidak akan mengejar kita
lagi. Bila kita membunuh mereka, malah membuktikan bahwa kita pernah ada di sini.”
“Kau bosnya,” kata Ron lega. “Tapi aku tidak pernah menggunakan Mantra Memori.”
 “Aku juga tidak,” kata Hermione, “tapi aku tahu teorinya.”
Hermione menarik nafas dalam untuk menenangkan diri lalu mengarahkan tongkatnya ke dahi Dolohov
dan berkata, “Obliviate!”
Mata Dolohov menjadi tidak fokus dan menerawang.
“Brilian!” kata Harry yang menepukkan tangannya ke bahu Hermione. “Urus yang lain sementara aku
dan Ron membereskan semuanya.”
“Membereskan?” kata Ron, memandang café yang sudah setengah hancur itu. “Mengapa?”
“Bukankah kau akan penasaran kalau tiba-tiba terbangun dan melihat sekitarmu seperti baru saja
dibom?”
“Oh, benar…”
Ron berusaha keras sebelum akhirnya berhasil mengeluarkan tongkat dari saku celananya.
“Tidak heran mengapa aku tidak bisa mengeluarkannya, Hermione, kau membawa jeans lamaku. Ketat
sekali.”
“Oh, maaf,” desis Hermione saat ia menarik sang pelayan menjauh dari jendela, lalu Harry mendengar
Hermione menggumam sendiri tentang di mana Ron bisa menancapkan tongkatnya.
Saat café sudah dibenahi ke kondisi semula dan mengangkat dua
Death Eater
itu ke tempat duduk
mereka, saling berhadapan.
“Bagaimana mereka menemukan kita?” tanya Hermione yang masih memandangi kedua pria yang tidak
sadar itu. “Bagaimana mereka tahu di mana kita?”
Hermone menoleh ke arah Harry.
“Kau –- kau sudah tidak meninggalkan jejak
Trace
, kan, Harry?”
“Tidak mungkin,” kata Ron. “Jejak
Trace
itu akan hilang begitu seseorang berusi tujuh belas tahun, itu
hukum sihir, kau tidak bisa melakukannya pada penyihir dewasa.”
“Itu yang kau tahu,” kata Hermione. “Bagaimana jika
Death Eater
menemukan cara untuk
melakukannya pada penyihir yang sudah berusia tujuh belas tahun!”
“Tapi Harry tidak berada dekat dengan
Death Eater
mana pun dalam waktu dua puluh empat jam.
Siapa yang akan memantrai Harry?”
Hermione tidak membalas. Harry merasa bersalah. Benarkah ia yang menyebabkan
Death Eater
menemukan mereka?
“Jika aku tidak menggunakan sihir dan kalian tidak bisa menggunakan sihir di dekatku, sepertinya kita
harus…” kata Harry.
 “Kita tidak akan berpisah!” kata Hermione tegas.
“Kita butuh tempat yang aman untuk bersembunyi,” kata Ron. “Kita butuh waktu untuk berpikir.”
“Grimmauld Place,” kata Harry.
Ron dan Hermione tercengang.
“Jangan bodoh, Harry, Snape bisa masuk ke sana!”
“Ayah Ron bilang mereka sudah menyiapkan kutukan untuk Snape–-bila itu tidak dapat menahannya,”
lanjut Harry, saat melihat Hermione yang ingin menentang, “memang kenapa? Sungguh, tak ada yang
lebih kuinginkan daripada bertemu Snape!”
“Tapi…”
“Hermione, apa ada tempat lain? Itu satu-satunya kesempatan kita. Snape hanya seorang
Death Eater
.
Kalau aku masih meninggalkan jejak
Trace
, mereka semua akan datang ke mana pun kita pergi.”
Hermione tidak dapat membalas, walau sepertinya ia sangat ingin membalas. Saat Hermione membuka
kunci pintu, Ron menekan Deluminator untuk mengembalikan cahaya café. Lalu, dalam hitungan ketiga,
mereka mengangkat mantra dan sebelum
Death Eater
dan sang pelayan merasakan sesuatu yang tidak
lebih dari rasa kantuk yang luar biasa, mereka bertiga menghilang dalam kegelapan sekali lagi.
Beberapa detik kemudian, Harry bernafas lega saat membuka matanya. Mereka berdiri di depan
bangunan kecil dan lusuh yang sudah mereka kenal. Mereka bisa melihat bangunan nomor dua belas itu,
karena mereka telah diberitahu oleh Dumbledore, sang Pemegang Rahasia. Mereka langsung berlari
sambil memeriksa apakah mereka diikuti atau dimata-matai. Mereka bergegas menaiki tangga batu, dan
Harry mengetukkan tongkatnya ke pintu.
Terdengar suara denting logam dan rantai, lalu pintu berderak terbuka dan mereka bergegas masuk.
Saat Harry menutup pintu, lampu gas bermodel lama langsung menyala, memberi cahaya di sepanjang
lorong panjang. Tetap sama seperti yang Harry ingat, penuh jaring laba-laba dan terdapat pajangan
kepala peri rumah yang berjajar di dinding. Tirai gelap panjang menutup potret ibu Sirius. Satu hal yang
tidak pada tempatnya hanya tempat payung berbentuk kaki Troll yang sekarang tergeletak, sepertinya
Tonks menyandungnya terakhir kali.
“Aku rasa ada orang yang pernah datang kemari,” bisik Hermione.
“Tidak mungkin kalau anggota Orde sudah meninggalkannya,” gumam Ron membalas.
“Jadi di mana kutukan yang disiapkan untuk Snape?” Tanya Harry.
“Mungkin aktif kalau dia yang datang,” tebak Ron.
Mereka masih berdiri di atas keset tepat di depan pintu, tidak berani masuk lebih dalam.
“Kita tidak bisa diam saja di sini,” kata Harry yang melangkah maju.
“Severus Snape?”
 Suara Mad-Eye Moody berbisik dalam kegelapan, membuat mereka bertiga melompat kaget. “Kami
bukan Snape!” teriak Harry sebelum udara dingin menyapunya dan membuat lidahnya bergulung
membuatnya tidak bisa bicara. Sebelum Harry bisa merasakan lidahnya lagi, lidah itu kembali seperti
semula.
Ron dan Hermione juga sepertinya merasakan hal yang tidak menyenangkan yang sama. Ron seperti
ingin muntah. Hermione tergagap,
“Itu p-pasti K-Kutukan Pengikat L-Lidah yang Mad-Eye siapkan untuk Snape!”
Harry memberanikakn diri untuk melangkah lagi. Sesuatu bergerak dalam bayangan di ujung lorong, dan
sebelum mereka bisa berkata sesuatu, sebuah sosok muncul dari bawah karpet, tinggi, keabuan, dan
menakutkan. Hermione berteriak, begitu pula nyonya Black, tirainya terbuka. Sosok keabuan itu
melayang ke arah mereka, dengan rambut dan janggut sepanjang pinggang yang melambai, wajahnya
tirus seakan tak berdaging, dengan rongga matanya yang kosong. Sosok mengerikan tapi sudah
dikenalnya itu mengangkat tangan, menunjuk Harry.
“Tidak!” teriak Harry, walaupun sosok itu mengangkat tongkatnya, tidak ada mantra terlepas darinya.
“Tidak! Bukan kami! Kami tidak membunuhmu…”
Bersamaan dengan kata ‘membunuhmu’ sosok itu meletup menghilang, meninggalkan kumpulan awan
debu. Harry terbatuk dan matanya berair. Hermione berjongkok dengan tangannya memegangi kepala.
Ron yang bergetar hebat menepuk bahu Hermione dan berkata, “TT-tidak apa-apa… s-sudah pergi.”
Debu masih beterbangan membentuk kabut tipis, dan nyonya Black masih berteriak.
“Darah lumpur, sampah, kotoran memalukan yang menodai rumah ayahku…”
“DIAM!” teriak Harry yang mengacungkan tongkatnya, dan dengan ledakan dan percikan merah, tirai
itu menutup dan membuatnya terdiam.
“Itu… itu…” rengek Hermione saat Ron membantunya berdiri.
“Ya,” kata Harry, “tapi itu bukan dia, kan? Hanya sosok untuk menakut-nakuti Snape.”
Harry penasaran apakah semua itu bisa berhasil, atau Snape akan menyingkirkan sosok menakutkan
tadi, sama seperti saat ia membunuh Dumbledore? Rasa takut masih tertinggal saat mereka terus
berjalan, bersiap-siap bila ada sesuatu lain yang akan terjadi, tapi hanya ada tikus yang berjalan merapat
di dinding.
“Sebelum lebih jauh, lebih baik kita memeriksanya dulu,” bisik Hermione yang mengangkat tongkatnya
dan berkata, “Homenum revelio!”
Tidak terjadi apa-apa.
“Kau baru saja mengalami shock berat,” kata Ron berbaik hati. “Memang harusnya apa yang terjadi?”
“Itulah yang seharusnya terjadi!” kata Hermione sedikit tersinggung. “Tadi itu mantra untuk menunjukkan
keberadaan manusia, dan tidak ada seorang pun di sini selain kita!”
“Dan si Dusty tua,” kata Ron sambil memandangi bagian karpet di mana sosok tadi muncul.
 “Ayo naik,” kata Hermione yang memandangi tempat yang sama penuh ketakutan. Hermione
mendahului untuk menaiki tangga yang berderak menuju ruang tamu di lantai satu.
Hermione mengayunkan tongkatnya untuk menyalakan lampu yang kemudian menerangi ruangan.
Hermione duduk di sofa dengan tangan memeluk tubuhnya erat. Ron berjalan menuju jendela dan
membuka tirai beludru sedikit.
“Tidak ada orang di luar,” Ron melaporkan. “Dan kalau Harry masih meninggalkan Jejak
Trace
, mereka
pasti sudah mengejar kita kemari. Aku tahu kalau mereka tidak masuk ke dalam rumah, tapi – ada apa,
Harry?”
Harry meringis kesakitan. Bekas lukanya terasa terbakar lagi. Dan dalam pikirannya ia bisa melihat
pantulan cahaya di atas air dan merasakan amarah yang bukan miliknya memenuhi tubuhnya, begitu
garang dan cepat seperti tersengat listrik.
“Apa yang kau lihat?” tanya Ron sambil mendekati Harry. “Apa kau melihatnya di rumahku?”
“Tidak, aku hanya merasa marah – dia benar-benar marah.”
“Tapi bisa saja dia di the Burrow,” kata Ron. “Apa lagi? Apa kau tidak melihat yang lain? Apa dia
sedang menyiksa seseorang?”
“Tidak, aku hanya merasa marah – aku tidak tahu…”
Harry merasa kebingungan dan Hermione pun tidak membantu saat ia bertanya dengan suara ketakutan,
“Bekas lukamu lagi? Ada apa? Kukira koneksi itu sudah tertutup.”
“Tadinya,” gumam Harry, bekas lukanya masih terasa sakit dan membuatnya tidak bisa berkonsentrasi.
“Aku–-aku rasa koneksi itu terbuka lagi saat dia kehilangan kendali, makanya…”
“Kalau begitu tutup pikiranmu!” kata Hermione nyaring. “Harry, Dumbledore tidak ingin kau
menggunakan koneksi itu, dia ingin kau menutupnya, itu sebabnya kau belajar Occlumency! Atau
Voldemort akan menanamkan penglihatan yang salah, ingat…”
“Ya, aku ingat, terima kasih,” kata Harry dengan gigi terkatup. Harry tidak butuh Hermione untuk
mengingatkannya bahwa Voldemort pernah menggunakan koneksi mereka untuk menjebaknya, yang
kemudian berakhir dengan kematian Sirius. Harry berharap ia tidak pernah mengatakan apa yang ia lihat
dan katakan. Karena membuat Voldemort lebih menakutkan, dan sepertinya Voldemort sedang melihat
mereka dari jendela. Bekas lukanya makin terasa sakit dan Harry mencoba untuk melawannya.
Harry memunggungi Ron dan Hermione, berpura-pura memperhatikan permadani pohon keluarga Black
yang terpampang di dinding. Lalu Hermione terpekik. Harry langsung mengeluarkan tongkatnya dan saat
ia menoleh, ia melihat Patronus keperakan menembus jendela dan mendarat di lantai di depan mereka,
dan memadat menjadi musang yang berbicara dengan suara ayah Ron.
“Keluarga selamat, jangan membalas, kami dimata-matai.”
Patronus itu menghilang. Ron mengeluarkan suara antara rengekan dan perasaan lega, dan menjatuhkan
diri ke sofa. Hermione mendekat dan memegangi tangannya.
 “Mereka baik-baik saja!” bisik Hermione. Ron tertawa kecil dan memeluknya.
“Harry,” kata Ron dari balik bahu Hermione, “aku…”
“Tidak apa-apa,” kata Harry, rasa sakit masih menerpa kepalanya. “Itu keluargamu, tentu saja kau
khawatir. Aku pun akan merasakan hal yang sama.” Harry teringat akan Ginny. “Aku memang
merasakan hal yang sama.”
Rasa sakit di bekas lukanya memuncak dan terasa terbakar sepert saat di kebun di The Burrow.
Samar-samar Harry mendengar Hermione berkata, “Aku tidak ingin sendirian. Bisakah kita tidur di
kantung tidur yang aku bawa dan tidur di sini?”
Harry mendengar Ron menyetujui. Harry sudah tidak bisa lagi menahan rasa sakitnya. Ia ingin menyerah.
“Aku mau ke kamar mandi,” gumamnya sambil meninggalkan ruangan secepat mungkin tanpa harus
berlari.
Harry hampir berhasil, menggerendel pintu dengan tangannya yang gemetar hebat. Ia memegangi
kepalanya yang kesakitan dan jatuh ke lantai. Lalu, dalam ledakan kesakitan, ia merasakan amarah yang
bukan miliknya. Ia melihat ruangan yang panjang dan hanya diterangi oleh perapian.
Death Eater
berambut pirang itu terbaring di lantai, berteriak, dan menggeliat. Dan ada sosok yang berdiri di
depannya, mengangkat tongkat, sementara Harry berkata dalam suara tinggi, dingin, dan tak berbelas
kasihan.
“Lagi, Rowle, atau harus kami sudahi dan memberikanmu pada Nagini? Lord Voldemort tidak akan
mengampunimu kali ini… Kau memanggilku hanya untuk mengatakan bahwa Harry Potter telah
meloloskan diri lagi? Draco, berikan Rowle rasa kesakitan… lakukan, atau kau akan merasakan
kemarahanku!”
Sepotong kayu dimasukkan ke dalam perapian, dan api memerah. Cahayanya jatuh pada wajah pucat
yang ketakutan – seakan baru keluar dari kedalaman air, Harry menarik nafas dalam dan membuka
matanya.
Harry bergelung di lantai marmer hitam yang dingin. Hidungnya hampir menyentuh ekor ular perak yang
menyangga bak mandi besar. Ia duduk. Wajah Malfoy yang cekung dan ketakutan terpatri di dalam
matanya. Harry merasa muak atas apa yang baru ia lihat, apa yang Voldemort perintahkan pada Draco.
Terdengar ketukan keras di pintu dan Harry melompat saat mendengar suara Hermione.
“Harry, kau mau memakai sikat gigimu?”
“Ya, terima kasih,” kata Harry menjaga agar suaranya terdengar seperti biasa. Lalu ia berdiri dan
membukakan pintu untuk Hermione.




To be Continue......................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search my Blog