Sabtu, 08 Oktober 2011

Harry Potter and The Deathly Hallows Bab 19 Part 1

BAB 19
RUSA BETINA PERAK
(The Silver Doe)


Salju turun saat Hermione mengambil alih tugas untuk berjaga-jaga tengah malam. Mimpi-mimpi Harry
sangat mengganggu & membuatnya bingung: Nagini menyelinap di antara mereka: awalnya melalui cincin
raksasa yang sudah retak, lalu melalui karangan bunga mawar untuk Natal. Ia terbangun berulang-ulang,
panik, dan sangat yakin bahwa seseorang berteriak memanggil namanya dari kejauhan, serta
membayangkan angin yang menderu di sekitar tenda sebagai langkah kaki, atau suara-suara.
Akhirnya ia terbangun dalam kegelapan dan bergabung dengan Hermione yang sedang meringkuk di
pintu tenda membaca
Sejarah Sihir
dengan  bantuan cahaya dari tongkatnya. Salju masih turun dengan
lebat, dan Hermione menyambut dengan senang hati usul Harry untuk berkemas dan pindah.
“Kita akan pindah ke tempat yang lebih terlindung,” Hermione setuju, menggigil saat ia mengenakan
sweater di atas piamanya. “Aku terus menerus berpikir bahwa aku bisa mendengar ada orang bergerak
di luar. Aku bahkan mengira telah melihat seseorang, sekali atau dua kali.”
Harry berhenti sejenak saat mengenakan baju tebalnya sambil melempar pandangan sekilas ke arah
Sneakoscope yang hening dan tak bergerak di atas meja.
“Aku yakin aku cuma membayangkannya,” sahut Hermione, terlihat gugup, “salju dalam kegelapan pasti
menipu mataku … tapi mungkin kita harus ber-Disapparate di dalam Jubah Gaib, untuk berjaga-jaga?”
Setengah jam kemudian, setelah tenda selesai dikemasi, Harry mengalungkan Horcruxnya, Hermione
mengepit tas manik-maniknya, mereka ber-Dissaparate. Perasaan sesak, seperti biasa, meliputi mereka;
kaki Harry berpisah dengan tanah yang bersalju, lalu terhempas keras di suatu tempat yang rasanya
 seperti tanah beku tertutup dedaunan.
“Dimana kita sekarang?” tanya Harry, sambil mengamati pepohonan di sekelilingnya, saat Hermione
membuka tas manik-maniknya dan mengeluarkan tiang tenda.
”Hutan Dean,” sahut Hermione, ”aku pernah berkemah di sini sekali dengan Mum dan Dad.”
Di sini salju juga menumpuk di mana-mana dengan dingin yang menusuk, tapi setidaknya mereka
terlindung dari angin. Mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka hari itu di dalam tenda,
bergelung agar hangat di sekeliling cahaya biru terang. Hermione sangat ahli membuatnya, api itu bisa
diambil dan dibawa ke mana-mana dalam stoples. Harry merasa seperti dia baru saja sembuh dari
penyakit berat dalam waktu yang singkat, kesan tersebut dikarenakan oleh rasa cemas Hermione.
Butiran-butiran salju sore itu mulai berjatuhan ke arah mereka, bahkan tempat berlindung mereka yang
baru saja dibersihkan kini sudah ditutupi oleh salju.
Setelah dua malam kurang tidur, indera Harry menjadi lebih peka dari biasanya. Pelarian mereka dari
Godric’s Hollow sangat kritis sehingga membuat Voldemort rasanya lebih dekat dengan mereka, lebih
mengancam. Saat kegelapan mulai menyelimuti lagi, Harry menolak tawaran Hermione untuk berganti
giliran jaga dan menyuruhnya untuk tidur.
Harry memindahkan sebuah bantal tua ke mulut tenda dan duduk, mengenakan semua sweater yang ia
punya, tapi masih saja menggigil kedinginan. Kegelapan semakin terasa seiring berjalannya waktu, hingga
akhirnya benar-benar tidak terlihat apa-apa. Ia sudah mau mengeluarkan Peta Perompak agar bisa
melihat titik berlabel Ginny, sebelum akhirnya ingat bahwa sekarang libur Natal, dan berpikir bahwa
Ginny pasti sudah pulang ke The Burrow.
Bahkan gerakan sekecil apapun nampak menjadi lebih besar oleh luasnya hutan tersebut. Harry tahu
bahwa hutan ini pasti dipenuhi oleh makhluk hidup lainnya, dan Ia sangat berharap mereka tetap diam tak
bersuara, agar ia bisa membedakan langkah mereka yang merupakan makhluk hutan normal, dengan
gerakan-gerakan makhluk-makhluk lain yang mencurigakan dan terdengar berbahaya. Ia teringat suara
jubah mendesir di atas dedaunan gugur beberapa tahun yang lalu, dan sejenak ia mengira mendengarnya
lagi saat ini, sebelum batinnya mengguncang dirinya sendiri agar sadar. Mantra Perlindungan mereka telah
bekerja selama berminggu-minggu, bagaimana mungkin mereka dapat menembusnya sekarang? Tapi Ia
tetap tidak dapat melepaskan perasaan bahwa ada sesuatu yang berbeda malam ini.
Beberapa kali ia tersentak, lehernya sakit karena jatuh terlelap pada posisi yang salah. Malam sudah
mencapai titik tergelapnya hingga ia merasa berada di antara Disapparate dan Apparate. Ia sedang
mengangkat tangan kedepan wajahnya untuk memastikan apakah ia dapat menghitung jarinya sendiri,
saat sesuatu terjadi.
Seberkas cahaya keperakan terang muncul tepat di depannya, bergerak di antara pepohonan. Apapun
sumbernya, cahaya itu bergerak tanpa suara. Cahaya itu terlihat melayang dan mengarah tepat padanya.
Harry melompat berdiri, suaranya membeku di kerongkongan, dan mengangkat tongkat Hermione. Ia
menyipitkan matanya saat cahaya itu bertambah menyilaukan, pepohonan di depannya menjadi gelap
seperti siluet, dan cahaya itu masih saja terus mendekat.
Kemudian sumber cahaya itu keluar dari balik pohon oak. Seekor rusa betina putih keperakan,
terselimuti cahaya bulan, menyilaukan, memesona, melangkah hati-hati masih tak bersuara, dan tanpa
meninggalkan jejak di salju. Rusa betina itu melangkah ke arah Harry, kepalanya yang indah, dengan bulu
mata yang cantik, berdiri tegak.
 Harry memandang makhluk itu dengan kagum, bukan pada keanehannya, tapi karena Harry merasa
seolah sudah lama mengenalnya, perasaan yang tidak dapat dijelaskan. Ia merasa seperti sudah lama
menanti kedatangannya, tapi ia sudah melupakannya, sampai saat ini datang, saat yang sebenarnya sudah
mereka atur untuk bertemu. Niatnya semula untuk berteriak memanggil Hermione sudah terlupakan.
Harry tahu, ia akan mempertaruhkan nyawanya pada makhluk ini, bahwa makhluk ini datang hanya
padanya, pada Harry sendiri.
Mereka bertukar pandang cukup lama, kemudian rusa betina itu berbalik dan menjauh.
”Tidak,” sahut Harry, suaranya seperti tertahan, ”Kembali!”
Tapi rusa betina itu terus saja melangkah dengan mantap di antara pepohonan, segera saja cahayanya
menghilang tertutup bayangan dari pepohonan. Sejenak Harry ragu.berpikir sejenak: mungkin saja ini
jebakan, pemikat, perangkap. Tapi nalurinya, naluri yang meluap-luap, mengatakan bahwa ini bukan Sihir
Hitam. Harry pun segera mengejar.
Salju berderak di bawah kaki Harry, tapi rusa itu tidak menimbulkan bunyi saat melewati pepohonan, itu
karena ia tak lebih dari cahaya. Semakin jauh rusa itu menuntun Harry kedalam hutan semakin cepat pula
Harry berjalan, percaya kalau rusa itu berhenti, rusa itu akan mengijinkannya untuk mendekatinya. Lalu
rusa itu akan berbicara, mengatakan apa yang perlu Harry ketahui.
Akhirnya rusa itu berhenti. Ia menolehkan kepalanya yang cantik pada Harry sekali lagi, Harry berlari,
sebuah pertanyaan muncul dalam benaknya, tapi saat Harry membuka mulut untuk bertanya, rusa itu
lenyap.
Walau kegelapan telah menelan rusa betina itu, bayang-bayang cahayanya masih jelas tercetak di selaput
mata Harry, pandangannya kabur, namun menjadi terang saat ia merendahkan kelopak matanya,
penglihatannya menjadi sedikit kacau. Saat ini ketakutan muncul, kehadiran rusa betina tadi menjanjikan
keselamatan.
Lumos!
” ia berbisik, dan ujung tongkatnya menyala.
Jejak bayang rusa betina itu manjadi samar-samar dan menghilang sejalan dengan tiap kedipan matanya,
saat Harry berdiri di sana, mencoba mendengarkan suara hutan, gemeretak ranting di kejauhan, desir
salju yang terdengar lembut. Apakah ia akan diserang? Apakah rusa betina itu membawanya menuju
perangkap? Ataukah hanya bayangannya saja, bahwa di luar jangkauan cahaya tongkat ada seseorang
yang sedang mengawasinya?
Harry mengangkat tongkat lebih tinggi. Tak seorangpun menyerangnya, tak ada percikan cahaya hijau
dari balik pepohonan. Kalau begitu, mengapa rusa betina itu menuntunnya ke tempat ini?
Sesuatu terlihat berkilauan di bawah cahaya tongkat. Harry berputar, yang dia lihat adalah sebuah kolam
kecil, beku, permukaannya retak dan gelap berkilat saat Harry mengangkat tongkat lebih tinggi untuk
memeriksanya.
Ia maju mendekat, lebih waspada, dan melihat ke bawah. Es memantulkan bayangan yang tak sempurna
dari Harry dan kilauan cahaya tongkatnya, tapi jauh di kedalaman lapisan kerang yang tebal berwarna
kelabu ada sesuatu yang lain. Berkilat, seperti salib perak yang besar.
Jantungnya berdetak kencang. Harry berlutut di sisi kolam, mengarahkan tongkatnya untuk menerangi
 kolam itu. Kilau merah tua ... sebuah pedang dengan batu rubi di pangkalnya ... pedang Gryffindor
tergeletak di dasar kolam hutan itu.
Nyaris tak bernapas, Harry mengamatinya. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin pedang itu
bisa tergeletak di kolam hutan, sedekat ini ke tempat mereka berkemah? Apakah ada sihir tertentu yang
menarik Hermione ke tempat ini, apakah rusa betina, yang ia anggap sebagai Patronus, adalah semacam
penjaga kolam ini? Atau apakah pedang itu diletakkan di kolam setelah mereka tiba, tepatnya karena
mereka berada di sini? Apapun alasannya, di manakah orang yang berniat memberikannya pada Harry?
Harry mengarahkan lagi tongkatnya ke pepohonan dan semak-semak, mencari sosok manusia, kilatan
mata, namun ia tak dapat menemukan seorangpun. Semuanya terlihat sama, sedikit rasa takut bercampur
dengan rasa girangnya saat ia kembali menaruh perhatiannya pada pedang yang tergeletak di dasar kolam
beku.
Harry mengacungkan tongkat pada benda keperakan itu dan bergumam, ”
Accio pedang
.”
Pedang itu tak bergeming. Seperti yang sudah diduganya. Kalau memang semudah itu, pedang itu pasti
sudah tergeletak di tanah menunggu untuk dipungut, bukan di kedalaman kolam yang beku. Harry
berjalan mengelilingi es, berpikir keras mengenai saat terakhir pedang itu menyerahkan diri pada Harry.
Harry saat itu berada dalam bahaya mengerikan, dan memerlukan pertolongan.
”Tolong,” gumam Harry, tapi pedang itu tetap berada di dasar kolam, tak tergoyahkan, tak bergerak.
Apa maksudnya, Harry bertanya pada dirinya sendiri (sambil berjalan lagi) , yang dikatakan
Dumbledore padanya saat  terakhir kalinya ia memperoleh pedang itu?
Hanya seorang Gryffindor
sejati yang dapat menarik pedang itu keluar dari Topi
. Dan apa kualitas yang menggambarkan
seorang Gryffindor sejati? Sebuah suara kecil di kepala Harry menjawabnya:
keberanian, keteguhan
hati, & sikap ksatria adalah hal yang membedakan seorang Gryffindor dari yang lain

Harry berhenti berjalan, menghembuskan nafas panjang, uap napasnya buyar dengan cepat di udara
beku. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Jujur saja, pikiran ini yang muncul pertama kali saat melihat
pedang itu di bawah es.
Ia mengamati berkeliling lagi, tapi ia yakin sekarang bahwa tidak akan ada yang menyerangnya. Mereka
punya kesempatan menyerang saat ia berjalan sendiri di hutan, mereka punya banyak kesempatan saat ia
memeriksa kolam. Satu-satunya alasan untuk menunda hanyalah karena kesempatannya sama sekali
tidak tepat.
Dengan tangan gemetar Harry melepas bajunya yang berlapis-lapis. Saat ini adalah saat untuk
menunjukkan sifat ‘kekesatriaan’, dan dengan menyesal ia pikirkan, walaupun tidak terlalu yakin, bahwa
’kekesatriaan’ disini adalah termasuk tidak memanggil Hermione untuk menggantikannya.
Seekor burung hantu entah di mana ber-uhu pelan saat Harry melepas pakaiannya, membuatnya kembali
memikirkan Hedwig dengan hati pedih. Dia gemetar kedinginan sekarang, giginya gemeletuk, dan dia
terus melepaskan pakaiannya hingga tinggal pakaian dalamnya, kaki telanjang di tengah salju. Ia
meletakkan kantong berisi tongkatnya yang patah, surat ibunya, pecahan cermin Sirius, dan Snitch tua di
atas pakaiannya, lalu mengarahkan tongkat Hermione pada es.
Diffindo
.”
Es itu berderak dengan suara seperti peluru memecah keheningan; permukaan kolam retak dan potongan
es gelap mengguncang air hingga beriak. Dugaan Harry, kolam itu tidak dalam, tapi untuk memperoleh
pedang itu, ia harus menyelam.
 Memikirkannya lama-lama tidak akan membuat hal tersebut makin mudah atau membuat air menjadi
hangat. Harry melangkah ke tepi kolam,  meletakkan tongkat Hermione di atas tanah, masih menyala.
Lalu tanpa mencoba membayangkan rasa dingin seperti apa yang akan Ia hadapi nanti atau seperti apa
dia akan gemetar, dia melompat.
Tiap lobang pori-pori tubuhnya menjerit protes; udara di paru-parunya padat membeku saat ia terbenam
sampai bahu di dalam air beku. Sulit sekali bernapas; gemetar begitu hebatnya hingga air menepuk-nepuk
tepi kolam, ia merasa seperti ada mata pisau di kakinya yang kebas. Ia hanya ingin menyelam sekali.
Harry menunda saat menyelam dari detik ke detik, terengah-engah dan gemetar, hingga ia mengatakan
pada diri sendiri bahwa ini harus dilakukan, mengumpulkan keberanian, dan menyelam.
Rasa dingin itu seperti siksaan; menyerang Harry seperti api. Otaknya serasa membeku saat ia
menembus air yang gelap hingga ke dasar, meraba-raba dan menjangkau pedang. Jemarinya
menggenggam pedang; ia menariknya.
Kemudian sesuatu mencekik lehernya. Semula ia mengira itu ganggang, walau ia tak merasa ada yang
menyapunya saat ia menyelam. Ia mengangkat tangannya yang kosong untuk membebaskan diri. Itu
bukan ganggang, rantai Horcrux telah mengetat dan perlahan menjerat saluran tenggorokannya.
Harry menendang kesana-kemari dengan liar, mencoba untuk kembali ke permukaan, tapi justru
mendorong dirinya ke bagian berbatu karang di kolam itu. Menggelepar, kekurangan udara, ia berjuang
melawan rantai yang mencekik, jemarinya yang membeku tidak berhasil melonggarkannya, dan sekarang
melekat rapat di wajahnya, pedang Gryffindor sedikit cahaya meletup dalam benaknya, Ia akan tenggelam, tak akan ada lagi yang tersisa, tak ada yang
bisa ia lakukan, dan lengan yang melingkar di dadanya pastilah Kematian .
Tersedak dan muntah-muntah, basah kuyup dan rasa dingin yang belum pernah ia rasakan sebelumnya,
ia telah keluar dari air, menelungkup di salju. Dekat dengannya, seseorang terengah-engah, batuk dan
berjalan terhuyung-huyung. Hermione datang lagi, seperti saat ia datang waktu ular menyerang … tapi
suaranya tidak terdengar seperti Hermione. Suara Hermione tidak berat seperti yang Harry dengar
sekarang, juga ditilik dari bobot langkahnya .
Harry tidak punya kekuatan untuk mengangkat kepalanya dan melihat siapa penolongnya. Yang bisa
dilakukannya hanya mengangkat tangannya yang gemetar ke kerongkongannya, merasakan tempat
dimana liontin itu terasa mengikat erat dagingnya. Liontin itu tidak ada, seseorang sudah memotongnya.
Sebuah suara terdengar terputus-putus dari atas kepalanya.
”Apa—kau—
gila
?”
Terkejut mendengar suara itu agaknya memberi Harry kekuatan untuk bangkit. Gemetar hebat, ia
sempoyongan berdiri. Berdiri di hadapannya Ron, berpakaian lengkap tapi basah kuyup, rambutnya
di satu tangan dan Horcrux berjuntai dari rantainya di
tangan yang satu.
“Kenapa sih,” Ron masih terengah, memegang Horcrux yang berayun di rantainya yang sudah pendek,
“kau tadi tidak melepas ini dulu sebelum menyelam?”
Harry tidak menjawab. Rusa betina perak itu sama sekali tidak ada artinya dibandingkan dengan
kemunculan Ron, ia tidak bisa percaya ini. Gemetar karena kedinginan, ia mengambil tumpukan baju
yang masih tergeletak di tepi air dan mulai memakainya. Saat ia mengenakan sweater demi sweater dari
 kepalanya, Ia memandang Ron, setengah mengharapkan ia lenyap tiap kali Ron tak terpandang olehnya,
tapi Ron benar-benar ada, ia baru saja menyelam ke dalam kolam, dia baru saja menyelamatkan hidup
Harry.
“K-kau?” akhirnya Harry menyahut, giginya gemeletuk, suaranya lebih lemah dibandingkan biasanya.
“Well, yeah,” sahut Ron, nampak canggung.
“K-kau yang merapal rusa betina itu?”
“Apa? Tidak, tentu saja bukan. Kukira itu kau!”
”Patronusku rusa jantan.”
”Oh ya. Sudah kukira berbeda. Tidak ada tanduknya.”
Harry menyimpan kantong Hagrid seperti semula melingkari lehernya, memakai sweater terakhir,
membungkuk untuk memungut tongkat Hermione, dan memandang Ron lagi.
”Bagaimana kau bisa ke sini?”
Jelas-jelas Ron berharap masalah ini akan ditanyakan lain waktu, atau tidak sama sekali.
”Well, aku—kau tahu—aku kembali. Kalau—” Ron membersihkan tenggorokannya,
”Kau tahu. Kalau kau masih menginginkanku.”
Sunyi sejenak. Masalah tentang perginya Ron seperti menimbulkan kekakuan di antara mereka. Tapi dia
di sini. Dia sudah kembali. Dan dia sudah menyelamatkan hidup Harry.
Ron memandang tangannya. Sejenak dia terkejut melihat apa yang sedang dia pegang.
”Oh, yeah; aku mengeluarkannya,” sahutnya, percakapan yang tidak perlu sebenarnya, mengangkat
pedang itu agar bisa diamati Harry. ”Ini yang menyebabkan kau melompat ke dalam kolam, kan?”
”Yeah,” sahut Harry. ”Tapi aku tidak paham. Bagaimana bisa kau sampai ke sini? Bagaimana kau bisa
menemukan kami?”
”Ceritanya panjang,” sahut Ron, ”Aku sudah mencarimu hingga berjam-jam, ini hutan yang besar kan?
Dan baru saja aku mengira aku harus menginap di bawah pohon dan menunggu pagi, sampai aku lihat
ada seekor rusa lewat, dan kau mengikutinya.”
”Kau tidak melihat orang lain?”
“Tidak,” sahut Ron, “Aku—“
Tapi dia ragu, memandang dua pohon yang tumbuh berdekatan, beberapa yard jauhnya.
“—Aku mengira aku melihat sesuatu yang bergerak disana, tetapi aku sedang berlari ke kolam pada
saat itu karena kau sudah masuk ke kolam,dan untuk beberapa saat kau tak keluar-keluar, jadi aku tidak
jadi, hey—“
 Harry sudah bergegas ke tempat yang dimaksud Ron. Dua pohon oak itu tumbuh berdekatan; ada celah
beberapa inci setinggi mata, ideal untuk mengamati dan tidak terlihat. Tanah di sekitar akar bebas dari
salju dan Harry tidak melihat ada jejak kaki. Ia kembali ke tempat di mana Ron menunggu, masih
memegang pedang dan Horcrux.
“Ada sesuatu?” tanya Ron.
“Tidak,” ujar Harry.
“Jadi bagaimana pedang itu bisa ada di dalam kolam?”
“Siapapun yang merapal Patronus pastilah telah menaruhnya di sana.”
Mereka memandangi pedang perak berhias itu, gagangnya yang bertatahkan rubi berkilat di bawah
cahaya tongkat Hermione.
”Kau pikir ini asli?” tanya Ron.
”Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya kan?” sahut Harry.
Horcrux itu masih berayun di tangan Ron. Liontin itu berkedut sedikit. Harry tahu bahwa sesuatu di
dalamnya mulai gelisah lagi. Benda itu merasakan kehadiran pedang Gryffindor dan sudah mencoba
membunuh Harry agar Harry tidak bisa memiliki pedang itu lagi. Sekarang bukan waktunya untuk diskusi
panjang lebar; sekarang adalah waktu yang tepat untuk menghancurkan liontin itu untuk selamanya. Harry
melihat berkeliling, memegang tongkat Hermione tinggi-tinggi, dan melihat suatu tempat: sebuah batu rata
terletak di bawah bayangan pohon sycamore.
”Di sini,” sahutnya dan berjalan mendahului, membersihkan salju dari permukaan batu itu dan memegang
Horcruxnya. Saat Ron menawarkan pedang, Harry malah menggelengkan kepala.
”Kau yang melakukannya.”
”Aku?” Ron nampak terkejut, ”Kenapa?”
”Karena kau yang mengeluarkan pedang itu dari kolam. Kukira itu artinya kau yang berhak.”
Harry tidak sedang mencoba bermurah hati. Sama yakinnya saat dia tahu bahwa rusa betina itu tidak
berbahaya, begitu pula dia yakin bahwa Ron-lah seorang yang akan mengayunkan pedang tersebut.
Paling tidak Dumbledore telah mengajarkan Harry tentang jenis sihir tertentu, mengenai kekuatan yang
tak terhingga untuk kondisi tertentu.
”Aku akan membukanya,” sahut Harry, ”dan kau akan menyabetnya saat itu juga, OK? Karena apapun
yang ada di dalamnya pasti akan melawan. Bagian dari diri Riddle di dalam diary sudah pernah mencoba
membunuhku.”
”Bagaimana kau membukanya?” tanya Ron, nampak ketakutan.
”Aku akan memintanya untuk membuka, menggunakan Parseltongue.” sahut Harry. Jawabannya seperti
sudah ada di bibir, seolah-olah dia memang sudah mengetahuinya, mungkin pertemuannya dengan Nagini
telah membuatnya menyadari hal tersebut. Ia memandang huruf S yang meliuk-liuk seperti ular
 bertatahkan batu hijau gemerlap; mudah sekali membayangkannya sebagai ular kecil melingkar di batu
yang dingin.
”Jangan!” sahut Ron, ”Jangan buka! Aku serius!”
”Kenapa tidak!” tanya Harry. ”Mari kita singkirkan benda terkutuk ini, sudah berbulan-bulan—”
”Aku tak bisa, Harry, aku serius—kau saja—”
”Tapi kenapa?”
”Karena benda itu buruk akibatnya untukku!” sahut Ron, mundur dari liontin di atas batu. ”Aku tak
dapat menguasainya! Aku bukannya sedang mengarang-ngarang alasan, Harry, tapi benda itu
mempengaruhiku lebih buruk daripada ia mempengaruhimu atau Hermione, benda itu membuatku
berpikir macam-macam, hal yang benar-benar sedang kupikirkan, tapi benda itu membuatku menjadi
berpikiran buruk, aku tak dapat menerangkannya, jika aku melepaskannya aku akan dapat berpikir
jernih lagi, aku—aku tak bisa, Harry!”

 To be continue.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search my Blog