Kamis, 20 Oktober 2011

Harry Potter And The Deathly Hallows Bab 35

BAB 35
KING’S CROSS



Dia terbaring dengan wajah menghadap ke bawah, sambil mendengarkan kepada kesunyian. Dia
 sendirian di tempat itu. Tak ada penonton. Tak ada orang lain di tempat itu. Dia sendiri tidak yakin
dimana dirinya.
Beberapa saat kemudian, atau mungkin saat itu juga, dia baru menyadari bahwa dirinya masih
utuh, karena dia merasakan dirinya terbaring di atas sebuah permukaan dan dapat merasakan
sentuhannya, dapat merasakan permukaan dimana dia terbaring.
Kemudian Harry mulai menyadari bahwa dirinya telanjang. Yakin karena dirinya sendiri di tempat
itu, ketelanjangannya ini tidak menjadikan pikirannya sekarang, walaupun sedikit aneh rasanya. Dia
bertanya-tanya apakah dia mampu merasakan sesuatu ataupun melihat sesuatu. Dia juga menyadari
bahwa di dapat melihat yang berarti masih memiliki mata.
Dia terbaring di dalam kabut yang terang, walaupun dia belum pernah melihat kabut seperti ini
sebelumnya. Pemandangan di sekelilingnya bukannya tertutupi kabut ini namun sepertinya kabut ini
adalah sekelilingnya yang belum terbentuk sempurna. Lantai dimana dia terbaring berwarna putih, tidak
terasa dingin maupun hangat, sesuatu yang datar dan kosong sebagaiamana mestinya.
Dia mengangkat tubuhnya dan duduk. Tubuhnya tanpa luka. Dia meraba wajahnya. Dia tidak
memakai kacamatanya lagi.
Tiba-tiba sebuah suara terdengar muncul dari kesunyian di sekelilingnya : suara ketukan kecil
seperti sebuah kepakan dan pukulan, sesuatu yang sedang meronta. Suara itu terdengar menyedihkan
namun juga tredengar kurang sopan. Dia merasa tidak nyaman dan malu seperti sedang menguping
sesuatu secara diam-diam.
Untuk pertama kalinya, dia berharap dirinya memakai baju.
Belum sempat dia berpikir mengenai pakaian yang layak untuknya, setumpuk jubah terlihat tak
jauh darinya. Dia mengambil jubah itu dan memakainya. Pakaian itu lembut, bersih dan terasa hangat.
Sangatlah luar biasa bagaimana pakaian itu muncul begitu saja sesaat setelah dia mengharapkannya ...
Harry berdiri dan melihat ke sekitarnya. Apakah dia berada di sebuah tempat mirip Kamar
Kebutuhan? Semakin lama dia melihat semakin banyak benda yang terlihat. Tempat itu beratap kaca
berbentuk kubah yang berkilauan diterpa sinar matahari. Mungkin tempat ini istana. Semua tampak
tenang dan tak bergerak, kecuali suara aneh yang berasal dari suatu tempat di kabut ini...
Harry perlahan memutar tubuhnya, dan sekitarnya tampaknya mulai membentuk benda dengan
sendirinya. Sebuah tempat yang terbuka luas, terang dan bersih, sebuah aula yang jauh lebih besar dari
pada Aula Besar Hogwarts, dengan beratap kubah kaca. Tempat itu kosong, Harry satu-satunya
manusia di sana, kecuali --
Harry melompat mundur. Dia telah melihat benda yang membuat suara aneh itu. Benda atau
makhluk itu adalah anak kecil telanjang, meringkuk di bawah, kulitnya terlihat kasar, terkuliti, dan anak
itu tergolek dan terlihat gemetar di bawah kursi, seolah-olah anak itu memang ditinggalkan disana, tak
diinginkan, disembunyikan, dan sedang berusaha untuk bernafas.
Harry merasa takut akan anak itu. Walaupun anak itu kecil dan terlihat rapuh, Harry tak ingin
mendekatinya. Namun kemudian dia tetap mendekat perlahan, sambil bersiap-siap untuk melompat
menjauh setiap saat. Sesaat kemudian dia sudah berdiri di dekat makhluk itu, sangat dekat sehingga ia
mampu menjangkau untuk menyentuhnya, namun Harry tak berani untuk menyentuhnya. Dia merasa
dirinya pengecut. Harry merasa dia harus menenangkan anak itu, namun anak itu menolaknya.
 "Kau tak dapat menolongnya."
Harry memutar tubuhnya. Albus Dumbledore sedang berjalan menuju ke arahnya, terlihat segar
dan bugar, mengenakan jubah berwarna biru gelap.
"Harry." Dumbledore membentangkan tangannya, kedua tangannya terlihat baik-baik saja tanpa luka.
"Kau sungguh hebat anakku. Kau sangat berani, sungguh pemberani. Mari berjalan bersamaku."
Masih terlihat terkejut, Harry mengikuti Dumbledore yang berjalan menjauhi anak yang masih
tergeletak itu, menuju ke dua bangku yang sebelumnya tidak diperhatikan Harry, bangku-bangku itu
terletak di bawah atap tinggi yang berkilauan. Dumbledore duduk di salah satu bangku itu, dan Harry
duduk di bangku satunya sambil tetap menatap wajah mantan kepala sekolahnya itu. Rambut dan jenggot
Dumbledore yang berwarna perak, mata birunya yang tajam di balik kaca mata setengah lingkaran,
hidung yang bengkok: Semuanya sama seperti yang Harry ingat. Namun ...
"Tapi bukankah kau sudah mati," kata Harry.
"Oh, iya," kata Dumbledore pasti.
"Berarti ... aku juga sudah mati?"
"Ah," kata Dumbledore, sambil tersenyum lebar. "Pertanyaan yang tepat. Secara keseluruhan, aku tak
berpikir demikian anakku."
Mereka saling menatap, mata Dumbledore masih bersinar.
"Tidak?" tanya Harry.
"Tidak," kata Dumbledore.
"Tapi ..." Harry mengangkat tangannya secara reflek dan mengelus tempat dimana lukanya berada. Luka
itu tidak ada lagi. "Tapi aku seharusnya sudah mati -- Aku tidak mempertahankan diriku! Aku memang
membiarkannya membunuhku!"
"Dan itulah," kata Dumbledore, "yang akan membuat semua perbedaan."
Kegembiraan terpancar dari wajah Dumbleldore seperti cahaya; seperti api: Harry belum pernah
melihat Dumbledore seyakin ini, sungguh-sungguh terkesan puas.
"Tolong jelaskan padaku," kata Harry
"Tapi kau sudah tahu hal ini," kata Dumbledore. Dia memutar-mutar kedua jempolnya.
"Karena aku membiarkannya membunuhku ya," kata Harry.
"Ya," kata Dumbledore sambil mengangguk. "Teruskan!"
"Jadi pecahan jiwanya yang tadinya menempel padaku ..."
Dumbledore masih mengangguk dengan antusias, menyemangati Harry, sebuah senyum menghiasi
 wajahnya.
" ... apakah sudah tidak ada padaku lagi?'
"Oh ya!" kata Dumbledore. "Benar kau telah memusnahkannya. Jiwamu sekarang menyatu seluruhnya,
dan hanya jiwamu saja, Harry."
"Lalu ..."
Harry menunjuk kepada makhluk kecil yang gemetar di bawah kursi itu.
"Itu apa, Professor?"
"sesuatu diluar pemahaman kita," kata Dumbledore.
"Tapi jika Voldemort memakai kutukan pembunuh," Harry melanjutkan, "dan tidak ada seseorang pun
yang berkorban demi aku sekarang - bagaimana aku bisa masih hidup?"
"Kurasa kau pun tahu mengapa," kata Dumbledore. "Coba ingat kembali. Ingat apa yang telah
Voldemort lakukan, dalam keangkuhannya, dalam kerakusan dan kekejamannya."
Harry mencoba berpikir. Dia berpikir sambil melihat sekilas ke sekitarnya. Jika ini memang
sebuah istana, tentu ini istana yang aneh, dimana terdapat kursi-kursi yang berjajar dan berbaris, dan dia,
Dumbledore, maupun makhluk di bawah kursi itu adalah tiga makhluk yang ada di tempat ini. Tiba-tiba
jawabannya muncul tanpa ia harus berpikir keras.
"Dia mengambil darahku," kata Harry.
"Tepat sekali!" kata Dumbledore. "Dia mengambil darahmu dan membentuk tubuhnya lagi dengan itu!
Darahmu mangalir dalam tubuhnya, Harry, perlindungan Lily ada dalam tubuh kalian berdua! Dia telah
mengikat dirimu untuk terus hidup selagi dia juga masih hidup!"
"Aku hidup ... selagi dia hidup? Tapi kupikir ... Kupikir bukannya sebaliknya! Dan bukankah kami
berdua harus mati? Atau semua itu sama saja?"
Harry terganggu oleh suara rengekan dan pukulan dari makhluk yang kesakitan di belakang
mereka itu dan ia melirik ke arah makhluk itu lagi.
"Kau yakin kita tak dapat melakukan sesuatu untuknya?"
"Tidak ada pertolongan yang mampu kita berikan."
"Kalau begitu... tolong jelaskan lebih lanjut lagi," kata Harry, dan Dumbledore tersenyum.
"Kau adalah Horcrux yang ke tujuh, Harry, Horcrux yang tak pernah diniatkan untuk dibuat oleh
Voldemort. Dia sebelumnya telah membuat jiwanya menjadi tidak stabil sehingga jiwanya terpecah saat
dia melakukan kejahatan itu, membunuh kedua orangtuamu, dan berusaha membunuh seorang anak
kecil. Dia bahkan tak menyadari sesuatu yang lolos dari ruangan itu. Dia tak hanya meninggalkan
tubuhnya. Dia juga meninggalkan sebagian dari jiwanya yang kemudian menempel padamu, korban yang
berhasil bertahan hidup.
 Dan pengetahuannya tetap saja tidak lengkap, Harry! Ada banyak hal yang tidak pernah dihargai
oleh Voldemort, dan dia memang tidak mau peduli. Mengenai peri rumah dan cerita anak-anak,
mengenai cinta, kesetiaan, dan kebaikan, Voldemort tidak tahu dan tidak memahami apapun,
Tidak
mengerti sama sekali
. Bahwa semua itu memiliki kekuatan diluar kemampuannya, sebuah kekuatan
jauh melebih kekuatan sihir apapun, dan itu semua adalah hal-hal yang tidak pernah dia coba untuk
mengerti.
Dia mengambil darahmu, karena mengira itu akan memperkuat dirinya. Dia telah
memasukkan ke dalam tubuhnya, sebagian kecil dari perlindungan yang diberikan ibumu padamu saat
ibumu mati. Tubuhnya telah membuat pengorbanan ibumu tetap hidup, dan saat mantra tersebut tetap
hidup, kau pun akan tetap hidup dan demikian juga sisa pecahan jiwa Voldemort."
Dumbledore tersenyum kepada Harry yang menatapnya.
"Dan kau telah tahu hal ini? Kau tahu -- selama ini?'
"Aku telah menduganya. dan dugaanku biasanya bagus," kata Dumbledore senang, mereka kemudian
terdiam dalam waktu yang sepertinya lebih lama, makhluk di belakang mereka masih merengek dan
gemetar.
"Ada lagi," kata Harry. "Ada hal lain. Mengapa tongkatku menghancurkan tongkat yang dia pinjam?"
"Untuk hal itu, Aku tak dapat yakin sepenuhnya."
"Ayo cobalah menduga," kata Harry, dan Dumbledore tertawa.
"Yang harus kau pahami Harry, adalah bahwa kau dan Voldemort telah melalui sebuah peristiwa yang
belum pernah dilalui oleh orang lain dan belum dipahami sepenuhnya. Itu menurutku, jadi peristiwa
tersebut belum pernah terjadi sebelumnya, dan para pembuat tongkat pun tak pernah memperkirakan ini
maupun menjelaskan ini pada Voldemort sebelumnya.
Tanpa dimengerti oleh Voldemort, dia telah menggandakan ikatan diantara kalian berdua saat dia
kembali ke wujud manusianya. Sebagian dari jiwanya masih menempel padamu, dan ia berpikir bahwa
dengan mengambil sebagian dari pengorbanan ibumu maka itu akan memperkuat dirinya. Jika saja dia
mengerti kekuatan dari pengorbanan itu, tentu dia tak akan berani menyentuh darahmu. Namun jika dia
dapat memahami ini tentu dia bukanlah Lord Voldemort, dan dia tentu tak akan menjadi pembunuh sama
sekali.
Tanpa mengetahui bahwa hubungan kalian telah menjadi dua kali lebih kuat, bahwa takdir kalian
telah menyatu lebih dari pada dua penyihir yang pernah bersatu sebelumnya, Voldemort tetap
menyerangmu dengan tongkat yang intinya merupakan kembaran inti tongkatmu. Dan sesuatu yang aneh
terjadi, sebagaimana yang telah kita ketahui. Inti tongkat itu bereaksi tanpa dapat diprediksi karena
Voldemort tak tahu bahwa inti tongkatmu adalah kembaran inti tongkatnya.
Dia sebenarnya jauh lebih takut dari pada dirimu pada malam itu, Harry. Kau telah menerima,
bahkan menyambut, kemungkinan dari kematianmu, sesuatu yang Lord Voldemort tidak pernah dapat
lakukan. keberanianmu menang, tongkatmu mengalahkan tongkatnya. dan sesuatu terjadi diantara
tongkatmu, sesuatu yang juga berpengaruh pada hubungan antara para pemiliknya.
Aku yakin bahwa tongkatmu menyerap sebagian kekuatan dan kemampuan dari tongkat
Voldemort malam itu, yang kalau boleh dibilang mengandung kekuatan Voldemort sendiri. Sehingga
 tongkatmu mengenalinya saat ia mengejarmu, tongkatmu mengenali orang yang merupakan saudara
sekaligus musuh abadinya, dan tongkatmu memuntahkan kekuatan sihirnya sendiri melawan Voldemort,
sihir yang jauh lebih kuat dari semua yang dapat dilakukan oleh tongkat Lucius. Tongkatmu sekarang
mengandung keberanian sekaligus kemampuan Voldemort yang mematikan: Tentu saja tongkat Lucius
tak dapat bertahan melawannya khan?"
"Tapi jika tongkatku begitu ampuh, bagaimana mungkin Hermione dapat mematahkannya?" tanya Harry.
"Anakku, kedasyatan tongkatmu hanya berpengaruh pada Voldemort, yang telah bermain-main dengan
hukum sihir yang terdalam. Hanya padanyalah tongkatmu mengeluarkan kekuatan luar biasa. Selain
kepadanya, tongkatmu hanyalah sama seperti tongkat lainnya ... tentu saja tongkat yang bagus, aku yakin
itu," kata Dumbledore mengakhiri dengan sopan.
Harry duduk sambil berpikir dalam waktu yang lama, namun terasa beberapa detik. Dia merasa
tidak dapat yakin mengenai segala sesuatunya di sini, termasuk waktu.
"Dia membunuhku dengan tongkatmu."
"Dia gagal membunuhmu dengan tongkatku," Dumbledore membetulkan Harry. "Kurasa kita dapat
menyetujui bahwa dirimu tidak mati -- namun demikian," dia menambahkan seakan-akan takut kalau
dirinya tidak sopan, "tentu saja aku tidak mengecilkan penderitaanmu, yang tentu saja aku yakin sangat
besar."
"Tapi aku merasa baik-baik saja saat ini," kata Harry, sambil melihat ke bawah ke arah tangannya yang
bersih dan tanpa cacat. "Dimana kita sebenarnya?"
"Aku baru saja akan bertanya padamu," kata Dumbledore sambil melihat ke sekeliling. "Menurutumu
dimana kita?"
Sampai saat Dumbledore bertanya, Harry tak tahu dimana mereka sebelumnya. Namun
sekarang, sepertinya dia tahu jawabannya.
"Sepertinya," katanya perlahan, "ini adalah Stasiun Kereta Api King's Cross. Hanya saja jauh lebih
bersih dan kosong, dan tak ada kereta api di sini setahuku."
"Stasiun King's Cross!" kata Dumbledore. "Wow, benarkah?"
"Kalau begitu menurutmu dimana kita sekarang?" tanya Harry sedikit terlihat mempertahankan diri.
"Oh, anakku, aku tentu saja tak tahu. Tempat ini, seperti yang mereka bilang, adalah pilihanmu."
Harry tak mengerti maksudnya; Dumbledore hanya membuatnya tambah bingung dan gusar. Harry
memandang padanya dengan marah, kemudian ia ingat sesuatu yang ingin ditanyakannya jauh lebih
penting dari pada pertanyaan mengenai tempat ini.
"Relikui Kematian," katanya, dan dia senang melihat senyum di bibir Dumbledore langsung menghilang
ketika dia menyebut kata-kata itu.
"Ah, ya," katanya. Dia bahkan terlihat sedikit lebih cemas.
"Jadi?"
 Untuk pertama kalinya sejak Harry bertemu Dumbledore, dia tidak lagi terlihat sebagai orang
tua. Sekilas dia terlihat sebagai seorang anak yang ketahuan telah melakukan sesuatu yang salah.
"Dapatkah kau memaafkanku?" katanya. "Dapatkah kau memaafkanku karena tidak mempercayaimu?
Dan tidak memberitahumu? Harry, Aku hanya takut kau membuat kesalahan yang sama denganku. Aku
memohon pegampunanmu Harry. Sekarang aku menyadari bahwa kau jauh lebih baik dari pada aku."
"Apa yang kau bicarakan?" tanya Harry, yang kebingungan dengan nada suara Dumbledore, dan air
mata yang mengalir dari mata orang tua itu.
"Hallows, Relikui ," kata Dumbledore lirih. "Adalah mimpi bagi orang yang putus asa!"
"Tapi mereka nyata khan!"
"Nyata dan berbahaya, benda itu mempunyai daya tarik bagi mereka yang bodoh," kata Dumbledore.
"Dan aku dulu sangatlah bodoh. Tapi kau sudah tahu tentunya? Aku tidak memilki rahasia padamu lagi
khan."
"Tapi aku tahu apa?"
"Penakluk Kematian, Harry, penakluk kematian! Apakah aku lebih baik dari Voldemort?"
"Tentu saja," kata Harry. "Tentu saja kau lebih baik - mengapa kau bertanya seperti itu? Kau tak pernah
membunuh siapapun jika itu mampu dihindari!"
"Ya memang benar," kata Dumbledore, seakan-akan dia mencari pembenaran. "Tapi aku juga
tenggelam ke dalam pencarian cara mengalahkan kematian, Harry."
"Namun tidak dengan cara yang seperti Voldemort lakukan," kata Harry. Setelah semua kemarahannya
pada Dumbledore, betapa aneh rasanya mereka duduk di sini, di bawah atap kubah, dan membela
Dumbledore. "Hallows, bukan Horcrux."
"Hallows," kata Dumbledore, "bukan Horcrux. Benar sekali."
Mereka terdiam. Makhluk di belakang mereka masih merengek, tapi Harry tak lagi
memperdulikannya.
"Grindelwald dulu juga mencarinya khan?" tanya Harry.
Dumbledore menutup matanya untuk sesaat dan mengangguk.
"Hallows telah menyatukan kami lebih dari pada apapun," kata Dumbledore pelan. "Dua remaja pandai
dan arogan yang memiliki obsesi yang sama. Dia ingin pergi ke Godric's Hollow, yang kuyakini
sebagaiamana kau duga, karena disana terdapat makam Ignotus Peverell. Dia ingin menjelajahi tempat
dimana saudara ketiga itu meninggal."
"Jadi benar ya?" tanya Harry. "Semua ini? Tiga bersaudara Peverell --"
"-- adalah tiga bersaudara dalam cerita itu," kata Dumbledore sambil mengangguk. "Menurutku begitu.
Namun apakah mereka bertemu Sang Kematian di tengah perjalanan mereka ... menurutku lebih karena
 kakak beradik Peverell itu adalah penyihir yang sangat berbakat dan berbahaya, dan mereka berhasil
membuat benda-benda yang luar biasa. Cerita mengenai mereka yang menguasai Hallows milik Sang
Kematian menurutku hanyalah semacam legenda yang mulai merebak saat benda-benda tersebut dibuat.
Jubah itu, sebagaimana kau ketahui juga, diturunkan sejak dulu kala dari ayah ke anak
laki-lakinya, ibu ke anak perempuannya, sampai pada keturunan terakhir Ignotus yang masih hidup, yang
lahir, sebagaimana Ignotus, di Godric's Hollow."
Dumbledore tersenyum kepada Harry.
"Maksudmu aku?"
"Ya kaulah orangnya. Kau tentu telah menduganya, mengapa Jubah itu berada padaku di malam orang
tuamu meninggal. James telah menunjukkannya padaku hanya beberapa hari sebelumnya. Itu tentu saja
menjelaskan smuanya, bagaimana dia tak terdeteksi saat melakukan pelanggaran di sekolah! Aku tak
percaya terhadap apa yang kulihat. Aku meminta pada ayahmu untuk meminjamkannya, untuk
mempelajarinya. Aku sebenarnya telah lama melupakan mimpi untuk menyatukan ketiga Hallows itu,
namun aku tak mampu menolak godaan itu, godaan untuk melihat lebih dekat ... Jubah itu tak seperti
jubah gaib lainnya, sudah sangat tua, namun tetap sempurna di setiap detilnya ... kemudian ayahmu
meninggal, dan akhirnya dua Hallows ada ditanganku?"
Nadanya terdengar getir.
"Jubah Gaib itu tetap tak dapat melindungi orangtuaku," kata Harry cepat. "Voldemort sudah tahu
dimana ibu dan ayahku berada. Jubah Gaib tak dapat membuat mereka kebal terhadap kutukan."
"Benar," kata Dumbledore. "Memang benar."
Harry menunggu, namun Dumbledore tidak berkata apapun, maka dia melanjutkan.
"Jadi kau sebelumnya telah melupakan hasratmmu untuk mencari Hallows saat kau melihat Jubah gaib
itu?"
"Iya," Kata Dumbledore pelan. Dia memaksakan diri untuk melihat ke mata Harry. "Kau tahu yang
terjadi khan. Kau tak dapat membenci diriku lebih dari pada aku membenci diriku sendiri."
"Tapi aku tidak membencimu - "
"Sudah sepantasnya kau membenciku," kata Dumbledore. Dia menarik nafas dalam-dalam. "Kau sudah
tahu rahasia mengenai kesehatan adik perempuanku, apa yang telah dilakukan para Muggle itu, sehingga
adikku menjadi seperti itu. Kau sudah tahu bagaimana ayahku yang malang telah membalas dendam, dan
menerima ganjarannya, meninggal di Azkaban. Kau sudah tahu bagaimana ibuku mencurahkan semuanya
untuk merawat Ariana.
Dulu aku merasa terbebani dengan semua itu, Harry."
Dumbledore mengutarakannya dengan suara dingin. Dia memandang melewati kepala Harry,
melihat ke kejauhan.
"Aku dulu sangat berbakat, sangat pintar. Aku ingin melarikan diri dari semua itu. Aku ingin bersinar.
Aku ingin kejayaan. Namun jangan salah paham," katanya, dan kepedihan terlihat lagi di wajahnya
 sehingga dia terlihat tua kembali. "Aku mencitai mereka, aku mencintai orangtuaku dan adik-adikku, tapi
aku sangatlah egois, Harry, jauh lebih egois dari pada dirimu, yang menurutku orang yang paling tidak
egois yang pernah ada.
Jadi, ketika ibuku meninggal, dan aku diwarisi tanggung jawab akan seorang adik perempuan yang sakit
dan seorang adik laki-laki yang sulit dikendalilan, aku kembali ke rumahku dengan perasaan jengkel dan
marah. Aku merasa terpenjara dan sia-sia! Dan kemudian, dia datang ..."
Dumbledore menatap mata Harry lagi.
"Grindelwad. Kau tak dapat membayangkan betapa ide-idenya mempesonaku., Harry, membuatku
bersemangat. Ide membuat Muggle patuh. Ide mengenai kita sebagai penyihir akan berjaya. Grindelwad
dan aku, dua pemuda sebagai pemimpin revolusi.
Tentu saja aku merasakan sedikit keberatan. Namun aku selalu mencoba menghilangkan akal
sehatku dengan alasan-alasan kosong. Ini semua dilakukan untuk kebaikan yang lebih besar, dan jika ada
korban, semua itu sepadan dengan keuntungan yang akan diperoleh oleh para penyihir. Aku sendiri
bertanya pada diriku, apakah waktu itu aku sebenarnya tahu isi hati Grindelwad? Kurasa aku tahu, tapi
aku pura-pura tidak tahu. Jika rencana kami berhasil, semua mimpiku akan menjadi kenyataan.
Dan inti dari rencana kami adalah Relikui Kematian, The Deathly Hallows! Benda itu sangat
mempesonanya, akupun ikut terpesona! Tongkat yang tak terkalahkan, senjata yang akan memberi kami
kekuatan! Batu Kebangkitan - walupun aku pura-pura tidak tahu dan menutup mata, tapi kurasa dia
akan menggunkannya untuk membentuk pasukan Inferi! Namun bagiku ini berarti kembalinya kedua
orang tuaku, sehingga aku dapat terbebaskan dari tanggung jawabku akan adik-adikku.
Dan mengenai Jubah itu ... rasanya kami jarang membahasnya, Harry. Kami berdua merasa
dapat membuat diri kami tak terlihat tanpa bantuan Jubah apapun, fungsi sebenarnya dari jubah itu adalah
untuk melindungi pemiliknya maupun orang lain jika diinginkan. Kupikir jika kami berhasil
menemukannya, mungkin akan berguna untuk menyembunyikan Ariana, namun sebenarnya kami
berpendapat bahwa Jubah itu hanya untuk melengkapi Hallow lainnya, karena legenda mengatakan
bahwa siapapun yang mampu menyatukan ketiganya maka dia akan menjadi penakluk kematian, yang
menurut kami itu artinya menjadi tak terkalahkan.
Penakluk kematian yang tak terkalahkan, Grindelwald dan Dumbledore! Dua bulan penuh mimpi
yang liar dan penuh kegilaan, sampai aku menelantarkan dua anggota keluargaku yang tersisa, dimana
mereka sebenarnya adalah tanggung jawabku.
Dan kemudian ... kau tahu yang terjadi. Kenyataan kembali padaku melalui adik laki-lakiku yang
kasar, tak berpendidikan, namun jauh lebih terhormat dari pada aku. Waktu itu aku tak mau
mendengarkan kenyataan yang terus diteriakkan olehnya. Aku tak mau mendengar bahwa aku tak akan
dapat terus mencari Hallow dengan adanya adik yang sakit dan rapuh di pundakku.
Perdebatan kami menjadi sebuah pertengkaran. Grindelwald kehilangan kendali. Sebenarnya aku
sudah dapat merasakan keganasan dalam dirinya, namun aku menutup mata, yang pada akhirnya dirinya
menjadi sesuatu yang sangat jahat. Dan Ariana ... setelah semua perawatan dan kasih sayang yang
dicurahkan oleh ibuku ... dia terbaring mati di lantai."
Dumbledore sedikit menahan nafas dan mulai menagis. Harry meraihnya dan merasa senang
bahwa ia dapat menyentuh Dumbledore; Dia memegang tangan Dumbledore yang perlahan mulai dapat
menguasai dirinya.
 "Grindelwald akhirnya melarikan diri, seharusnya sudah dapat kuperkirakan. Dia menghilang, bersama
dengan rencananya untuk meraih kekuatan, menyiksa Muggle, dan mimpinya mengenai Deathly Hallows,
mimpi dimana aku ikut membantu dan menyemangatinya. Dia lari disaat aku harus mengubur adikku, dan
aku harus belajar untuk hidup menanggung perasaan bersalah dan kesedihan ini, sebuah harga yang harus
kubayar atas semua kesalahanku.
Setelah beberapa tahun, aku mendengar mengenai dirinya. Orang-orang mengatakan bahwa dia
telah memperoleh sebuah tongkat dengan kekuatan luar biasa. Aku pada waktu itu sedang ditawari
pekerjaan sebagai Menteri Sihir, dan ini bukan yang pertama kali, bahkan sudah beberapa kali. Tentu
saja aku menolaknya. Aku telah belajar bahwa aku tidak dapat dipercaya untuk memegang kekuasaan.”
"Tapi kau pasti jauh lebih baik dari pada Fudge ataupun Scimgeour!" kata Harry.
"Benarkah?" kata Dumbledore dengan suara berat. "Aku tak yakin akan hal itu. Aku telah membuktikan,
sebagai seorang pemuda, bahwa kekuasaan dan kekuatan adalah kelemahanku dan godaanku.
Kekuasaan adalah sesuatu yang membuatku tertarik, Harry, mungkin kekuasaan dan kekuatan sebaiknya
paling cocok diberikan pada mereka yang tidak pernah mencarinya. Orang seperti dirimu, yang memiliki
jiwa kepemimpinan, dan mejadi pemimpin karena memang harus menjalaninya, dan mengejutkan bagi
semua orang bahwa orang sepertimu dapat menjalankannya dengan baik.
Aku lebih aman jika berada di Hogwarts. Menurutku aku adalah seorang guru yang baik --"
"Kau guru terbaik yang pernah ada ---"
"-- kau baik sekali, Harry. Namun saat aku sibuk mendidik penyihir muda, Grindelwald sedang
membangun pasukannya. Menurut orang-orang dia takut padaku, mungkin memang demikian, tapi
menurutku aku lebih takut.
Oh, bukan kematian yang membuatku takut," kata Dumbledore begitu melihat wajah Harry yang
menunjukkan tanda tanya. "Aku tidak takut pada apa yang mampu dia lakukan padaku. Aku tahu bahwa
kami seimbang, mungkin aku lebih sedikit trampil. Yang kutakutkan adalah kebenaran. Sebenarnya, aku
tak pernah tahu, pada pertengakaran itu siapa yang mengeluarkan kutukan sehingga menyebabkan
adikku meninggal. Kau boleh memanggilku pengecut: itu memang benar. Aku sangat takut jika ternyata
keangkuhanku dan kebodohankulah yang telah merengut nyawa adikku.
Menurutku Grindelwald tahu hal ini, hal yang membuatku takut. Aku selalu menunda pertemuan
kami, sampai akhirnya semua ini terlalu memalukan untuk ditunda lagi. Korban berjatuhan dan dia
sepertinya tak terkalahkan, maka aku harus melakukan yang dapat aku lakukan.
Kau tahu selanjutnya. Aku menang dalam pertempuran itu. Aku memenangkan tongkatnya."
Mereka berdua kemudian terdiam. Harry tak bertanya lebih lanjut apakah Dumbledore
mengetahui siapa yang membuat Ariana terbunuh. Harry tak perlu tahu itu bahkan dia tak ingin
Dumbledore memberitahunya. Paling tidak dia tahu apa yang Dumbledore mungkin lihat di cermin Tarsah
(Mirror of Erised), dan Harry paham mengapa Dumbledore begitu mengerti ketertarikannya pada cermin
itu.
Mereka berdua duduk diam dalam waktu yang lama, dan suara makhluk di belakang mereka
 sudah tidak mempengaruhi Harry lagi.
Akhirnya Harry berkata, "Grindelwald berusaha menghentikan Voldemort yang memburu
tongkat itu. Dia membohongi Voldemort, dia mengatakan bahwa dia tak pernah memilikinya."
Dumbledore mengangguk sambil melihat ke pangkuannya, air mata masih mengalir di hidungnya
yang bengkok.
"Orang-orang bilang bahwa dia menunjukkan penyesalan di kemudian hari saat dia sendirian di
selnya di Nurmengard. Kuharap itu benar. Aku sangat berharap dia merasa menyesal dan malu atas
perbuatannya. Mungkin ketika dia membohongi Voldemort itu adalah salah satu cara ia menebus
dosanya ... untuk mencegah Voldemort mengambil Hallow itu ..."
"... atau dia berusaha mencegah Voldemort dari membongkar makammu?" kata Harry, dan Dumbledore
menyeka matanya.
Setelah beberapa saat Harry berkata, "Kau berusaha menggunakan Batu Kebangkitan khan."
Dumbledore mengangguk.
"Ketika aku menemukannya, bahwa selama ini benda itu terkubur di reruntuhan rumah keluarga Gaunts
--- Hallow yang paling aku inginkan, walau dulu aku menginginkannya untuk alasan yang berbeda --- aku
kehilangan akal sehatku, Harry. Aku lupa bahwa benda itu telah menjadi Horcrux dan tentu saja cincin itu
mengandung kutukan. Aku memungutnya dan memakainya, dan beberapa saat aku membayangkan
bahwa aku akan bertemu Ariana, Ibuku, dan Ayahku, kemudian akan ku katakan pada mereka betapa
menyesalnya aku ...
Aku sangat bodoh Harry. Setelah semua yang kulalui, aku tidak belajar apapun dari pengalaman
itu. Aku memang tidak patut menyatukan Deathly Hallow, aku telah membuktinya dulu, dan sekarang
bukti yang paling nyata."
"Tapi mengapa?" kata Harry. "Apa salahnya jika kau ingin bertemu mereka lagi? Itu adalah hal yang
wajar."
"Mungkin satu orang dalam sejuta dapat menyatukan Hallow, Harry. Aku hanya cocok memiliki salah
satunya yang paling biasa. aku hanya dapat memilki Tongkat Elder,dan bukan untuk menggunakannya
sebagai alat pembunuh. Aku diijinkan memilkinya karena aku menjinakkannya dan akan
menggunakannya untuk untuk menyelamatkan orang lain, bukan untuk keuntungan pribadi.
Tapi Jubah itu aku dapatkan karena keingintahuanku, sehingga benda itu tak akan dapat
berfungsi sebagaimana ia berfungsi bagimu, pemilik yang sesungguhnya. Batu itu akan aku gunakan untuk
membawa mereka yang telah beristirahat dengan tenang ke dunia ini, tidak seperti dirimu yang
memperolehnya karena sebuah pengorbanan diri. Kau adalah orang yang cocok memiliki semua Hallows
itu."
Dumbledore menepuk-nepuk tangan Harry, dan Harry melihat ke Dumbledore yang tersenyum;
Dia Berpikir, Bisa-bisanya dia marah terhadap Dumbledore?
"Mengapa kau membuat ini semua menjadi sangat sulit?”
Senyum Dumbledore terlihat bergetar.
 "Aku mempercayakan Nona Granger untuk memperlambatmu, Harry. Aku takut jika
ketergesa-gesaanmu akan mengusai hatimu yang mulia. Aku takut jika aku memberikannya begitu saja
benda-benda yang menggoda itu padamu, kau akan memperoleh Hallows dengan cara yang sama
denganku, karena alasan yang salah. Aku ingin benda-benda itu sampai ke tanganmu dengan cara yang
aman. Kau adalah penakluk kematian yang sebenarnya, karena penakluk yang sebenarnya tidak akan lari
dari kematian itu sendiri. Dia akan menerima bahwa dirinya harus mati, dan memahami bahwa ada
banyak hal yang lebih buruk di dunia ini daripada mati.”
"Dan apakah Voldemort pernah tahu mengenai Hallows?"
"Kurasa tidak, karena dia tidak mengenali Batu Kebangkitan itu saat dia menjadikannya sebuah
Horcrux. Tapi kalaupun jika dia tahu mengenai Hallows, Harry. Aku ragu dia akan tertarik kecuali
mungkin tertarik pada Tongkat itu. Dia pasti akan berpikir bahwa dia tidak memerlukan Jubah, dan untuk
batu itu, siapa yang akan dia bawa kembali dari kematian? Dia takut akan kematian. Dia tidak mengerti
cinta."
"Tapi kau sudah memperkirakan bahwa dia akan mengejar tongkat itu?”
"Aku sudah menduganya bahwa dia akan mencarinya sejak tongkatmu mengalahkan tongkatnya di
pemakaman Little Hangleton waktu itu. Pada awalnya dia takut kalau kemampuanmu telah
mengalahkannya. Namun setelah dia menculik Ollivander, dia baru tahu bahwa tongkat kalian mempunyai
inti kembar. Menurutnya dia menemukan jawabannya. Namun ternyata tongkat pinjamannya tak dapat
berbuat banyak melawanmu! Jadi daripada mencari jawaban atas kualitas apa yang ada dalam dirimu
dan kemampuan yang tidak dia miliki, dia lebih senang mencari sebuah tongkat yang menurut
orang-orang akan mengalahakan tongkat lainnya. Baginya, Tongkat Elder telah menjadi sebuah obsesi
sebanding dengan obsesinya terhadap dirimu. Dia berpikir bahwa Tongkat Elder akan menutupi
kelemahannya dan membuatnya tak terkalahkan. Oh, Severus yang malang..."
"Jika kau telah merencanakan kematianmu dengan Snape, berarti kau berencana agar dia yang
mengambil Tongkat Elder, begitu khan?"
"Kuakui memang itu rencanaku," kata Dumbledore, "tapi rencana itu tidak berjalan sebagaimana yang
aku maksud, khan?"
"Tidak," kata Harry. "Sepertinya rencana itu tidak berhasil."
Makhluk di belakang mereka bergetar dan berteriak, dan Harry dan Dumbledore duduk dalam
diam untuk waktu yang lama. Harry mulai menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya, kesadaran ini
datang secara perlahan seperti salju yang turun ke bumi.
"Aku harus kembali ya?"
"Itu terserah padamu."
"Aku bisa memilih?"
"Oh, tentu saja," Dumbledore tersenyum padanya. "Kita di King's Cross katamu? Menurutku jika kau
memutuskan untuk tidak kembali, kau akan dapat ... katakanlah ... naik ke atas kereta."
"Dan kemana kereta itu akan membawaku?"
 "Membawamu pergi," kata Dumbledore singkat.
Mereka terdiam lagi.
"Voldemort telah mendapatkan Tongkat Elder."
"Memang benar. Voldemort mendapatkan Tongkat Elder."
"Tapi kau ingin aku kembali?"
"Menurutku," kata Dumbledore, "Jika kau memutuskan untuk kembali, ada kemungkinan dia akan kalah
untuk selamanya. Aku tak dapat menjanjikannya. Tapi aku tahu ini, Harry, bahwa kau tidak akan takut
lagi untuk kembali ke sini, dia lebih takut tentu saja."
Harry melirik lagi ke arah makhluk itu yang sedang bergetar dan semakin tersedak di bawah
bayang-bayang kursi di kejauhan.
"Jangan mengkasihani mereka yang mati, Harry. Kasihanilah mereka yang hidup, dan di atas itu semua,
kasihanilah mereka yang hidup tanpa cinta. Dengan kembali ke dunia, kau mungkin dapat mengurangi
jumlah jiwa yang akan menjadi korban, sehingga tidak ada lagi keluarga yang terpecah belah. Jika
menurutmu itu semua merupakan tujuan yang patut diperjuangkan, maka kita harus berpisah di sini."
Harry mengangguk dan menarik nafas. Meninggalkan tempat ini akan sama beratnya dengan saat
dia memasuki hutan itu, tempat ini hangat dan terasa damai, dan dia tahu bahwa dia akan kembali kepada
rasa sakit dan rasa takut akan kehilangan. Dia berdiri, dan Dumbledore juga berdiri, dan mereka saling
memandang untuk waktu yang lama.
"Katakan padaku," kata Harry, "Apakah ini semua nyata? Atau ini semua hanya terjadi di kepalaku?"
Dumbledore memandang ke arahnya dan berkata dengan suara yang terasa keras di telinga
Harry meskipun kabut putih itu mulai turun lagi, dan mulai menghalangi pandangan.
"Tentu saja ini semua terjadi di kepalamu, Harry, tapi ini bukan berarti tidak nyata, khan?"

To be continue........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search my Blog