Sabtu, 08 Oktober 2011

Harry Potter And The Deathly Hallows Bab 15 Part 2

BAB 15 Part 2
PEMBALASAN PARA GOBLIN
(The Goblin’s Revenge)



Di dalam tenda, Harry bernafas penuh ketertarikan. Ia dan Hermione bertukar pandang, lalu mencoba
mendengarkan lagi.
”Apa kau tidak tahu, Ted?” tanya Dirk. ”Tentang anak-anak yang mencoba mencuri pedang Gryffindor
dari kantor Snape di Hogwarts?”
Rasanya Harry tersengat listrik, setiap syaraf dan otot Harry terbangun.
”Tidak sama sekali,” kata Ted. ”Tidak dimuat dalam
Prophet
, ya?”
"Tentu saja,“ kekeh Dirk. "Griphook yang memberitahu aku, dia tahu dari Bill Weasley yang bekerja
untuk bank. Salah satu dari anak-anak itu adalah adik perempuannya.“
Harry menatap ke arah Ron dan Hermione yang memegang erat-erat Telinga Terjulur mereka.
”Dia dan beberapa temannya masuk ke kantor Snape dan memecahkan kaca tempat penyimpanan
pedang itu. Snape menangkap mereka saat mereka mencoba menyelundupkan pedang itu.“
"Ah, Tuhan memberkati mereka,” kata Ted. "Apa yang mereka pikirkan? bahwa mereka bisa
menggunakannya melawan Kau-Tahu-Siapa? Atau untuk melawan Snape?“
"Apa pun pemikiran mereka, Snape menganggap bahwa pedang itu tidak lagi aman,“ kata Dirk.
"Beberapa hari kemudian, setelah diperintahkan Kau-Tahu-Siapa, sepertinya, dia mengirimkannya ke
London untuk disimpan di Gringotts.“
Lalu kedua goblin itu tertawa lagi.
”Aku masih belum mengerti lelucon kalian,” kata Ted.
”Pedang itu palsu!” kata Griphook.
”Pedang Gryffindor!”
 ”Oh, iya. Sebuah tiruan – tiruan yang sangat bagus, memang – tapi itu buatan penyihir. Yang asli telah
dibuat berabad-abad lalu oleh goblin dan menjadi properti alat tempur buatan goblin. Di mana pun
pedang Gryffindor yang asli itu berada, yang pasti bukan di Gringotts.”
”Aku mengerti,” kata Ted. ”Dan kalian tidak perlu mengatakan hal itu pada
Death Eater
, kan?”
”Aku tidak punya alasan untuk menambah masalah mereka dengan memberitahu mereka,’ kata
Griphook berpuas diri, dan sekarang Ted dan Dean ikut tertawa bersama Gornuk dan Dirk.
Di dalam tenda, Harry menutup matanya, berharap ada orang yang menanyakan yang ingin Harry tahu
jawabannya. Dan kurang lebih sepuluh menit kemudian, Dean mengingatkan Harry bahwa ia (Harry
mengingatnya dengan rasa tersentak) juga mantan pacar Ginny.
“Apa yang terjadi pada Ginny dan yang lain? Yang mencoba mencuri pedang itu?”
“Oh, mereka dihukum dengan kejam,” kata Griphook.
”Tapi mereka baik-baik saja, kan?” tanya Ted cepat. ”Maksudku, keluarga Weasley tidak berharap
anak mereka terluka lagi, kan?”
”Mereka tidak terluka serius, setahuku,” kata Griphook.
”Untunglah,” kata Ted. ”Dengan catatan Snape di masa lalu, aku rasa kita harus bersyukur kalau mereka
masih hidup.”
“Kau percaya cerita itu, Ted?” tanya Dirk. “Kau percaya Snape membunuh Dumbledore?”
”Tentu saja,” kata Ted. ”Kau tidak akan berpikiran bahwa Harry Potter ada sangkut pautnya, kan?”
“Sulit untuk bisa mempercayai sesuatu akhir-akhir ini,” gumam Dirk.
“Aku kenal Harry Potter,” kata Dean. “Dan aku rasa dia memang – Yang Terpilih, atau apa saja
sebutan lainnya itu.”
”Ya, banyak yang mempercayainya, nak,” kata Dirk, ”termasuk aku. Tapi di mana dia? Pergi mencari
sesuatu. Menurutmu, bila dia tahu sesuatu yang tidak kita tahu, atau memang punya sesuatu yang spesial,
bukankah lebih baik dia memberikan perlawanan daripada bersembunyi. Dan tahukah kau bahwa
Prophet
membuatnya terlihat…”
Prophet
?” potong Ted. ”Kau dibohongi kalau tetap membaca sampah itu, Dirk. Bila inginkan hal
nyata, baca
Quibbler
.”
Tiba-tiba terdengar suara tersedak dan terbatuk, juga terdengar suara tepukan yang cukup keras.
Sepertinya Dirk telah menelan tulang ikan. Akhirnya ia berkata, ‘
Quibbler
? Majalah gila milik Xeno
Lovegood itu?
”Tidak begitu gila akhir-akhir ini,” kata Ted. ”Kau harus membacanya. Xeno menulis segala hal yang
tidak ditulis di
Prophet
, dan tidak menyinggung sama sekali tentang Snorkack Tanduk Kisut. Sampai
kapan ia akan dibiarkan seperti itu, aku tak tahu. Tapi di setiap edisi dia menyatakan bahwa setiap
penyihir yang ingin melawan Kau-Tahu-Siapa harus membantu Harry Potter.”
 ”Tapi susah untuk membantu seorang bocah yang sedang menghilang dari permukaan bumi ini,” kata
Dirk.
”Dengar, kenyataan bahwa mereka belum bisa menangkapnya saja, adalah suatu hal luar biasa,” kata
Ted. ”Dan aku sependapat dengan Potter. Apa yang kita lakukan selama ini, untuk tetap bebas, kan?”
”Ya, ada benarnya juga,” kata Dirk berberat hati. ”Dengan seluruh Kementrian dan informan mereka
mencari-carinya, aku akan mengira kalau ia sudah ditangkap sekarang. Dan tidak mungkin bila mereka
telah menangkap dan membunuhnya tanpa harus memberitakannya, kan?”
”Jangan berbicara seperti itu, Dirk,” gumam Ted.
Lalu kebungkaman diiringi oleh dentingan pisau dan garpu. Dan saat mereka berbicara lagi, mereka
sedang menentukan apakah mereka akan tidur di pinggiran sungai atau kembali ke hutan di lereng bukit.
Setelah memutuskan bahwa pepohonan akan memberikan perlindungan yang lebih baik, mereka
memadamkan api lalu kembali ke lereng, dan suara mereka mulai menghilang.
Harry, Ron, dan Hermione menggulung kembali Telinga Terjulur mereka. Harry yang sudah tahu tidak
perlu lagi berdiam diri, kini tidak bisa berkata apa pun selain, ”Ginny – pedang.”
”Aku tahu!” kata Hermione.
Hermione memasukkan tangannya ke dalam tas manik, dan kali ini ia bahkan menenggelamkan seluruh
lengannya hingga batas ketiak.
”Ini… dia…” kata Hermione dengan gigi terkatup, saat ia mencoba menarik sesuatu dari kedalaman tas.
Perlahan, ujung dari pigura berornamen mulai terlihat. Harry bergegas membantunya. Setelah mereka
berhasil mengeluarkan potret kosong milik Phineas Nigellus, Hermione menacungkan tongkatnya ke arah
potret itu, bersiap-siap untuk melepaskan mantera.
”Kalau ada yang menukar pedang saat yang asli masih berada di kantor Dumbledore,” kata Hermione
sambil menyandarkan potret itu ke tenda, ”Phineas Niggellus pasti melihatnya, dia digantung tepat di
samping pedang itu!”
”Kecuali dia sedang tidur,” kata Harry yang menahan nafas saat Hermione berlutut di depan potret
kosong itu. Tongkat Hermione mengarah ke tengah potret, ia berdeham, lalu berkata, ”Er – Phineas?
Phineas Nigellus?”
Tidak ada yang terjadi.
”Phineas Nigellus?“ kata Hermione lagi. ”Profesor Black? Bisakah kami berbicara pada Anda?
Tolong?”
”’Tolong’ selalu membantu,” kata suara dingin dengan nada menghina, dan Phineas Nigellus masuk ke
dalam potretnya. Seketika Hermione berteriak,
”Obscuro!"
Sebuah penutup mata hitam muncul menutupi mata pintar dan gelap milik Phineas Nigellus, dan
membuatnya terjatuh menghantam pinggiran pigura dan mengerang kesakitan.
”Apa – beraninya kau – apa yang kau lakukan?”
 ”Maaf, sungguh, Profesor Black,” kata Hermione, ”tapi ini tindak pencegahan yang penting!”
”Buang benda konyol ini! Hilangkan! Kau merusak sebuah mahakarya seni! Di mana aku? Apa yang
terjadi?”
”Tidak penting di mana kau sekarang,” kata Harry, dan Phineas Nigellus membeku, melupakan
keinginannya untuk melepaskan penutup matanya.
”Mungkinkah ini adalah suara dari Harry Potter lihai itu?”
”Mungkin saja,” kata Harry yang tahu bagaimana menjaga ketertarikan Phineas Nigellus. ”Kami punya
beberapa pertanyaan untukmu – tentang pedang Gryffindor.”
”Ah,” kata Phineas Nigellus, yang mencoba menelengkan kepalanya untuk dapat melihat Harry, ”ya,
gadis bodoh itu bersikap tidak bijaksana…”
”Jangan komentari adikku!” kata Ron kasar. Phineas Nigellus mengangkat alisnya dengan congkak.
”Siapa lagi itu?” tanya Phineas Nigellus, terus menelengkan kepalanya. ”Nada bicaramu membuatku
tidak senang! Gadis itu dan teman-temannya benar-benar gila-gilaan. Mencuri dari kepala sekolah!”
”Mereka tidak mencuri,” kata Harry. ”Pedang itu bukan milik Snape.”
”Pedang itu milik sekolah Profesor Snape,” kata Phineas Nigellus. ”Memang apa yang gadis itu inginkan
dari pedang itu? Dia telah menerima hukumannya, begitu pula si idiot Longbottom dan si aneh
Lovegood!”
”Neville bukan idiot dan Luna tidak aneh!” kata Hermione.
”Di mana aku?” ulang Phineas Nigellus, mulai bergulat dengan penutup mata itu lagi. ”Ke mana kalian
membawaku? Mengapa kau melepaskanku dari rumah nenek moyangku?”
”Lupakan itu! Bagaimana Snape menghukum Ginny, Neville, dan Luna?” tanya Harry cemas.
Profesor
Snape mengirim mereka ke Hutan Terlarang, melakukan sesuatu bersama si udik, Hagrid.”
”Hagrid bukan udik!” lengking Hermione.
”Dan Snape menganggapnya sebagai hukuman,” kata Harry, ”tapi Ginny, Neville, dan Luna mungkin
menghabiskan waktu dengan tertawa bersama Hagrid. Hutan Terlarang… mereka bisa saja menghadapi
yang jauh lebih buruk!”
Harry merasa lega, karena ia telah membayangkan hal-hal yang mengerikan seperti Kutukan Cruciatus,
paling tidak.
”Yang kami ingin tahu, profesor Black, apakah ada orang lain yang, um, pernah mengambil pedang itu?
Untuk dibersihkan, mungkin?”
Phineas Nigellus berhenti sejenak dari usaha melepas pentup matanya dan terkikik.
Dasar kelahiran Muggle
,” katanya. ”Alat tempur buatan goblin tidak perlu dibersihkan, gadis
 murahan. Perak goblin menolak semua kotoran, dan menyerap semua yang memperkuatnya.”
”Jangan sebut Hermione murahan!” kata Harry.
”Aku mulai bosan dengan bantahan kalian,” kata Phineas Nigellus. ”Apa ini mungkin waktuku untuk
kembali ke kantor kepala sekolah?”
Dengan mata tertutup, Phineas Nigellus meraba-raba sisi pigura, mencoba merasakan jalan keluar dan
kembali ke Hogwarts. Harry tiba-tiba mendapatkan inspirasi.
”Dumbledore! Bisakah kau membawa Dumbledore kemari?”
“Maaf?” tanya Phineas Nigellus.
“Potret Profesor Dumbledore – tak bisakah kau membawanya kemari, ke dalam potretmu?”
Phineas Nigellus menolehkan wajahnya ke arah suara Harry.
”Sepertinya bukan hanya kelahiran Muggle yang bodoh, Potter. Potret di Hogwarts mungkin saja dapat
saling berkunjung tapi mereka tidak dapat berkunjung keluar kastil kecuali mereka berkunjung ke potret
mereka sendiri. Dumbledore tidak dapat kemari denganku, dan setelah perlakuan kalian, aku dapat
memastikan bahwa aku tidak akan kembali!”
Harry perlahan menundukkan kepalanya, melihat Phineas berusaha untuk keluar dari piguranya.
”Profesor Black,” kata Hermione, ”tidak bisakah kau mengatakan pada kami, tolong, kapan terakhir
kali pedang itu keluar dari tempatnya? Sebelum Ginny mengambilnya, maksudku.”
Phineas mendengus tidak sabar.
”Aku percaya bahwa terakhir kali aku melihat pedang Gryffindor keluar dari tempatnya adalah saat
Profesor Dumbledore menggunakannya untuk membuka sebuah cincin.”
Hermione menoleh untuk menatap Harry. Tidak ada di antara mereka yang berani berbicara apa pun di
depan Phineas Nigellus, yang akhirnya menemukan jalan keluar.
”Baiklah, selamat malam,” kata Phineas Nigellus dan mulai pergi menghilang. Hanya ujung dari tepi
topinya yang terlihat saat tiba-tiba Harry berteriak.
”Tunggu! Apakah kau pernah mengatakan hal ini pada Snape?”
Kepala Phineas Nigellus kembali ke potret berpenutup mata.
“Profesor Snape punya urusan yang lebih penting daripada memikirkan keeksentrikan Albus
Dumbledore.
Sampai jumpa
, Potter!“
Dan akhirnya Phineas Nigellus benar-benar pergi, menghilang, meninggalkan latar belakang yang suram.
“Harry!“ kata Hermione.
“Aku tahu!“ teriak Harry. Tidak mampu menguasai dirinya sendiri, Harry memukul udara. Ia telah
 mendapatkan sesuatu lebih dari yang ia harapkan. Ia berjalan berputar-putar dalam tenda, merasa dapat
berlari berkilo-kilometer jauhnya, ia bahkan tidak merasa lapar lagi. Hermione sedang memasukkan
pigura Phineas Nigellus ke dalam tas maniknya, saat ia telah menutupnya, ia meleparkan tas itu, dan
menoleh ke arah Harry.
”Pedang itu bisa menghancurkan Horcrux! Pedang buatan goblin menyerap semua yang dapat
menambah kekuatannya – Harry, pedang itu telah menyerap racun Basilisk!”
”Dan Dumbledore tidak memberikannya padaku karena dia masih membutuhkannya, ia ingin
menggunakannya untuk menghancurkan liontin…”
”… dan dia pasti telah tahu bahwa mereka tidak akan memberikannya padamu melalui wasiatnya…”
“… jadi dia membuat tiruannya…”
“… dan menyimpan yang palsu di tempatnya…”
“… dan meninggalkan yang asli… di mana?”
Mereka bertukar pandang, Harry merasa bahwa jawabannya mengapung di atas mereka, begitu dekat.
Mengapa Dumbledore tidak memberitahu? Atau, ia telah memberitahu Harry, tapi Harry tidak
menyadarinya saat itu?
“Pikir!“ bisik Hermione. “Pikir! Di mana dia akan menyimpannya?“
“Tidak di Hogwarts,” kata Harry melanjutkan berjalan berputar-putar.
“Di suatu tempat di Hogsmeade?” usul Hermione.
“Gubuk Menjerit?’ kata Harry. ”Tidak ada yang pernah ke sana.”
”Tapi Snape tahu bagaimana cara masuk ke sana, apa tidak terlalu beresiko?”
“Dumbledore mempercayai Snape,” Harry mengingatkan.
“Tidak terlalu percaya hingga dia tidak mengatakan bahwa dia telah menukar pedang itu,” kata
Hermione.
“Ya, kau benar!” kata Harry, yang merasa lebih gembira karena berpikir bahwa Dumbledore juga
sedikit ragu pada kesetiaan Snape. “Jadi, apa dia akan menyimpan pedang itu di Hogsmeade? Apa
pendapatmu, Ron? Ron?”
Harry melihat sekeliling. Sesaat ia berpikir bahwa Ron telah meninggalkan tenda, lalu tersadar bahwa
Ron sedang berbaring dalam bayangan di ranjang bawah, terdiam membatu.
”Oh, kau masih ingat aku?” kata Ron.
”Apa?”

Ron mendengus dan terus menatap ke bagian bawah ranjang atas.
 ”Kalian berdua lanjutkan saja. Jangan biarkan aku mengganggu kalian.”
Kebingungan, Harry melihat Hermione meminta pertolongan, tapi Hermione menggelengkan kepalanya,
sama bingungnya dengan Harry.
”Ada masalah apa?” tanya Harry.
”Masalah? Tidak ada masalah,” kata Ron yang masih menolak untuk melihat Harry. ”Tidak menurut
kalian.”
Terdengar beberapa suara
tes
di kanvas di atas mereka. Hujan turun.
”Jelas kau sedang ada masalah,” kata Harry. ”Katakan saja.”
Ron mengayunkan kaki panjangnya turun dari ranjang dan duduk. Ia terlihat kejam, tidak seperti dirinya
sendiri.
”Baik, akan kukatakan. Jangan harap aku akan melompat kesenangan karena ada barang lain lagi yang
harus kita temukan. Tambahkan saja pada daftar hal-hal yang tidak kau tahu.”
”Yang tidak aku tahu?” ulang Harry. "Yang tidak
aku
tahu?"
Tes, tes, tes
. Hujan turun lebih deras dan berat. Memaksa daun-daun yang berguguran di sekitar tenda
mengalir ke sungai dalam kegelapan. Rasa takut mengaliri Harry, karena Ron telah mengatakan hal yang
ia takutkan.
”Aku tidak merasa aku bisa hidup di sini,” kata Ron, ”kau tahu, dengan tangan terbebat, tidak ada yang
bisa dimakan, dan kedinginan tiap malam. Aku berharap, setelah berminggu-minggu kita melarikan diri,
kita akan mendapatkan sesuatu.”
”Ron,” kata Hermione dengan suara begitu pelan, sehingga bisa saja Ron berpura-pura tidak mendengar
karena kerasnya suara hujan yang menjatuhi tenda.
”Aku kira kau tahu apa yang akan kau lakukan,” kata Harry.
”Ya, aku pikir begitu.”
”Jadi, hidup seperti ini tidak seperti harapanmu?” tanya Harry. Amarah memenuhi dirinya sekarang.
”Kau pikir kita akan tinggal di hotel bintang lima? Kau pikir kita akan menemukan satu Horcrux setiap
harinya? Kau pikir kau akan kembali pada Mommy saat Natal?”
”Kami pikir kau tahu apa yang akan kau lakukan!” teriak Ron yang sekarang berdiri. Kata-katanya
menusuk Harry seperti pisau panas. ”Kami pikir Dumbledore telah memberitahumu semua yang harus
kau lakukan, kami pikir kau punya rencana yang sebenarnya!”
”Ron!” kata Hermione kali ini suara jelas terdengar walau di bawah deras hujan dan suara kilat, tapi
sekali lagi, Ron mengacuhkannya.
”Maaf sudah mengecewakan kalian,” kata Harry, suaranya tenang walau ia merasa hampa. ”Aku sudah
berusaha jujur pada kalian sejak awal, aku sudah katakan semua yang Dumbledore katakan padaku.
Dan kalau kau tidak memerhatikan, kita telah menemukan satu Horcrux…”
 ”Ya, kita akan menghancurkannya sementara kita sedang mencari Horcrux yang lain –
menghancurkannya di dunia lain, mungkin!”
”Lepaskan liontin itu, Ron!” kata Hermione dalam nada tinggi yang tidak biasa. ”Tolong lepaska liontin
itu. Kau tak akan berbicara seperti ini bila kau tidak memakainya seharian.”
”Tetap saja,” kata Harry, yang sedang tidak ingin menerima alasan apa pun tentang Ron. ”Kalian pikir
aku tidak tahu kalau kalian berdua berbisk-bisik di belakangku? Kalian pikir aku tidak akan menduga
kalian akan membicarakan hal ini?”
”Harry, kami tidak…”
”Jangan bohong!” potong Ron. ”Kau juga bilang begitu, Hermione. Kau bilang kau kecewa, kau bilang
kau pikir Harry memiliki…”
”Aku tidak berkata seperti itu, Harry!“ teriak Hermione.
Hujan terus mengguyur tenda, air mata mengaliri wajah Hermione, dan kegembiraan yang muncul
beberapa menit yang lalu, hilang begitu saja. Seperti pertunjukan kembang api yang meriah, lalu selesai,
dan hanya menyisakan rasa gelap, basah, dan dingin. Pedang Gryffindor yang entah disembunyikan di
mana, dan tiga remaja tanggung yang berada di dalam tenda merasa tidak akan menerima hadiah apa pun
selain kematian.
“Jadi mengapa kau masih di sini?“ tanya Harry pada Ron.
”Berani kau menantangku,” kata Ron.
”Pulang sana!” kata Harry.
”Baik, aku akan pulang!” teriak Ron lalu maju beberapa langkah menuju Harry, yang tidak mengambil
langkah mundur. ”Apa kau tidak dengar yang mereka katakan tentang adikku? Sedikit pun kau tidak
cemas. Hanya Hutan Terlarang. Harry
aku-pernah-mengalami-yang-lebih-buruk
Potter tidak peduli
dengan apa yang terjadi pada adikku. Aku peduli! Di dalam sana ada laba-laba raksasa dan hal-hal gila
lain…”
”Maksudku – dia bersama yang lain, mereka bersama Hagrid…”
”… ya, aku mengerti, kau tidak peduli! Dan bagaimana dengan keluargaku yang lain, ’keluarga Weasley
tidak berharap anak mereka terluka lagi’, kau dengar itu?”
”Ya, aku…”
”Kau tidak cemas dengan maksud kata-kata itu, kan?”
”Ron!” kata Hermione yang mencoba menengahi, ”aku rasa maksud kata-kata itu bukan berarti ada
sesuatu hal baru yang terjadi. Coba pikir, Ron, Bill yang penuh dengan luka, dan orang-orang pasti sudah
melihat telinga George sekarang, ditambah lagi kau yang seharusnya sekarat karena spattergoit di
ranjangmu, aku yakin itulah maksud kalimat…”
”Oh, yakin sekali. Baik, aku tidak perlu memikirkannya. Karena kalian berdua pun tidak khawatir,
 dengan orang tua kalian aman di luar…”
”Orang tuaku
meninggal
!” teriak Harry.
”Dan kita juga akan mengalami hal yang sama!” teriak Ron.
”Kalau begitu PERGI!” teriak Harry, marah. ”Pulang dan berpura-puralah kalau kau sudah sembuh dari
spattergoitmu itu, dan Mommy akan menyuapimu, dan…”
Tiba-tiba Ron bergerak, dan Harry bereaksi, tapi sebelum tongkat kedua pemuda itu keluar dari
kantung mereka, Hermione sudah mengangkat tongkatnya.
Protego
!’ teriak Hermione, dan sebuah selubung tak terlihat memisahkan mereka. Harry dan Hermione
di satu sisi, dan Ron di sisi lain. Ketiganya seakan dipaksa mundur beberapa langkah karena kekuatan
mantera itu. Harry dan Ron saling tatap melalui penghalang transparan itu, seakan mereka bisa melihat
lebih jelas daripada sebelumnya. Harry merasa begitu benci pada Ron, dan tiba-tiba ikatan persahabatan
mereka terputus begitu saja.
”Tinggalkan Horcruxnya!” kata Harry.
Ron menarik rantai kalung dari kepalanya dan melemparkan liontin itu ke kursi terdekat. Lalu ia menoleh
pada Hermione.
”Apa yang kau lakukan?”
”Apa maksudmu?”
”Apa kau akan tinggal atau apa?”
”Aku…” Hermione terlihat menderita. ”Ya – ya, aku akan tinggal, Ron, kita sudah bilang kalau kita akan
pergi bersama Harry, kita bilang kalau kita akan membantunya.”
”Aku mengerti. Kau memilih dia.”
”Ron, jangan – kumohon – kembali, kembali!”
Hermione dihalangi oleh Mantra Pelindungnya sendiri. Saat Hermione telah melepaskannya, Ron telah
pergi bersama malam. Harry tetap berdiri dalam diam, mendengarkan Hermione terisak dan memanggil
nama Ron di antara pepohonan.
Setelah beberapa menit, Hermione kembali. Rambutnya yang basah menutupi wajahnya.
”Dia p-p-pergi! Ber-Disapparate!”
Hermione duduk di atas kursi, meringkuk, dan mulai menangis.
Harry merasa linglung. Ia mengambil Horcrux itu dan memakainya di leher. Ia mengambil selimut Ron
dan memakaikannya pada Hermione. Lalu ia naik ke ranjangnya sendiri, berbaring, dan menatap ke
kanvas di atasnya, mendengarkan derasnya hujan.

To be continue...................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search my Blog