Jumat, 14 Oktober 2011

Harry Potter and The Deathly Hallows Bab 29

BAB 29
MAHKOTA DIADEM YANG HILANG
(Lost Diadem)

“Neville—apa yang—bagaimana?”
Tapi Neville juga melihat Ron dan Hermione, memeluk mereka juga dengan teriakan kegembiraan.
Makin lama Harry mengamati Neville, makin jelek kelihatannya: satu mata bengkak, kuning dan ungu,
ada tanda tercungkil di wajahnya, keadaannya tak terurus mengisyaratkan bahwa dia selama ini hidup
keras. Tapi roman mukanya bersinar-sinar dengan kebahagiaan saat ia melepas Hermione, dan berkata
lagi, ”Aku tahu kau akan datang! Aku terus bilang pada Seamus, ini hanyalah masalah waktu!”
”Neville, apa yang terjadi padamu?”
”Apa? Ini?” Neville mengabaikan luka-lukanya dengan satu goyangan kepala. ”Ini bukan apa-apa.
Seamus lebih buruk. Kau lihat saja nanti. Kita pergi sekarang? Oh,” ia menoleh pada Aberforth, ”Ab,
mungkin akan ada beberapa orang lagi yang akan datang.”
”Beberapa lagi?” ulang Aberforth tak senang. “Apa maksudmu, beberapa lagi, Longbottom? Ada jam
malam dan Mantra Caterwauling diterapkan di seluruh desa!”
“Aku tahu, makanya mereka akan ber-Apparate langsung ke dalam bar,” sahut Neville. “Langsung kirim
saja mereka ke jalan tembus kalau mereka sudah di sini, ya? Makasih banyak!”
Neville memegang tangan Hermione dan membantunya memanjat rak di atas tungku masuk ke
terowongan; Ron mengikuti, lalu Neville. Harry berkata pada Aberforth.
 “Aku tak tahu bagaimana berterimakasih padamu. Kau menyelamatkan kami, dua kali.”
”Jaga mereka, kalau begitu.” sahut Aberforth keras, ”Aku mungkin tidak bisa menyelamatkan mereka
untuk ketiga kalinya.”
Harry merangkak naik ke rak di atas tungku dan menuju lubang di belakang lukisan Ariana. Ada
undakan batu yang halus di sisi sebelah sana, sepertinya jalan tembus itu sudah ada selama
bertahun-tahun. Lampu kuningan tergantung di dinding, lantai berbau tanah, licin dan halus; saat mereka
berjalan bayangan mereka bergetar, membesar, sepanjang dinding.
“Sudah berapa lama ini ada di sini?” Ron bertanya saat mereka mulai berjalan. ”Tidak ada di Peta
Perompak, kan Harry? Kukira hanya ada tujuh jalan tembus di dalam dan di luar sekolah?”
”Mereka menyegel semuanya sebelum sekolah mulai,” sahut Neville, ”tidak mungkin bisa melewatinya
sekarang, dengan berbagai kutukan di pintu masuknya, para
Death Eater
dan para Dementor menunggu
di pintu keluarnya.” Ia berjalan mundur, bercahaya matanya melihat mereka. ”Tak usah meributkan soal
itu ... apakah betul? Kalian menerobos Gringotts? Melarikan diri pakai naga? Di mana-mana tiap orang
membicarakan itu. Terry Boot dipukuli Carrow karena meneriakkan itu di Aula Besar saat makan.”
”Yeah, itu memang betul,” sahut Harry.
Neville tertawa gembira.
“Apa yang kalian lakukan dengan naga itu?”
”Melepaskannya ke alam bebas,” sahut Ron, ”Hermione ingin memeliharanya—”
”Jangan melebih-lebihkan, Ron—”
”Tapi apa yang sedang kalian lakukan? Orang-orang bilang kalian sedang dalam pelarian, Harry, tapi
kukira tidak. Aku pikir kalian punya tujuan.”
”Kau benar,” sahut Harry, ”tapi ceritakan dulu tentang Hogwarts, Neville, kami belum mendengar
apa-apa.”
“Hogwarts … well, Hogwarts sudah tidak seperti dulu lagi,” sahut Neville, senyum lenyap dari wajahnya.
“Kalian tahu tentang Carrow bersaudara?”
“Dua
Death Eater
yang mengajar di sini?”
”Lebih dari mengajar,” ujar Neville, ”Tugas mereka mengawasi disiplin. Mereka suka memberi hukuman,
Carrow bersaudara ini.”
”Seperti Umbridge?”
”Nah, mereka membuat Umbridge kelihatan jinak. Guru-guru lain seharusnya melaporkan kami pada
Carrow bersaudara kalau kami berbuat salah. Tentu saja mereka tidak melakukannya jika mereka bisa
menghindarinya. Kau bisa bilang para guru membenci mereka sama seperti kami.”
”Amycus, orang itu, dia mengajar apa yang biasanya disebut Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam, kecuali
bahwa sekarang menjadi Ilmu Hitam saja. Kami harus berlatih Kutukan Cruciatus pada orang-orang
 yang mendapat detensi—”
Apa
?”



Suara Harry, Ron, dan Hermione berbarengan bergema di jalan tembus itu.
“Yeah,” sahut Neville, “Itulah makanya aku dapat ini,” ia menunjuk pada bekas luka yang dalam di pipi.
“Aku menolak melakukannya. Tapi sebagian orang suka: Crabbe dan Goyle suka sekali. Untuk pertama
kalinya mereka bisa berada di posisi atas, kupikir.”
”Alecto, saudarinya, mengajar Telaah Muggle, yang wajib untuk semua. Kami harus mendengar
penjelasannya bahwa Muggle itu seperti binatang, bodoh dan kotor, dan bagaimana Muggle menjadikan
para penyihir terpaksa bersembunyi karena Muggle berbuat keji pada mereka, dan bagaimana hukum
alam disusun ulang. Aku dapat ini,” ia menunjukkan luka lain di wajahnya, ”karena aku menanyakan
seberapa banyak ia dan saudaranya punya darah Muggle.”
”Blimey, Neville,” sahut Ron, ”ada waktu dan tempat di mana orang mesti pintar-pintar ngomong.”
”Kau tidak mendengarnya.” sahut Neville, ”Kau juga tak akan tahan. Masalahnya, kalau ada yang berdiri
menentang mereka, berarti memberi harapan bagi semua. Aku perhatikan itu waktu dulu kau
melakukannya, Harry!”
”Tapi mereka memperlakukanmu seperti asahan pisau,” sahut Ron, mengernyit saat mereka melewati
lampu dan luka-luka Neville terlihat jelas.
Neville mengangkat bahu.
”Nggak masalah. Mereka tidak mau terlalu banyak menumpahkan Darah Murni, jadi mereka menyiksa
kami sedikit bila sedang kesal tapi mereka tidak ingin membunuh kami.”
Harry tidak tahu mana yang lebih buruk, hal-hal yang Neville katakan atau nada kebenaran yang ia
katakan.
”Satu-satunya yang benar-benar dalam bahaya ialah bila kau punya teman atau saudara yang
menyulitkan. Mereka mengambilmu sebagai sandera. Xeno Lovegood tua ngomong macam-macam di
The Quibbler
, jadi mereka menangkap Luna di kereta saat pulang Natal.
”Neville, dia baik-baik saja, kami bertemu dengannya—”
“Yeah, aku tahu, dia berhasil mengirimkan pesan padaku.”
Dari sakunya ia mengeluarkan koin emas, dan Harry mengenalinya sebagai Galleon palsu yang dipakai
Laskar Dumbledore untuk saling berkirim pesan.
”Ini keren,” sahut Neville, wajahnya berseri-seri pada Hermione, ”Carrow bersaudara tidak pernah
berhasil membongkar bagaimana cara kami berkomunikasi, itu membuat mereka marah. Kami biasa
menyelinap di malam hari, menulis grafiti di dinding:
Laskar Dumbledore, Masih Membuka Lowongan
,
hal-hal seperti itu. Snape membenci itu.”
”Kau
biasa
?” sahut Harry, memperhatikan bentuk lampau dalam ucapan Neville.
 ”Well, lama-lama makin sulit,” sahut Neville, ”Kami kehilangan Luna, dan Ginny juga tidak kembali
sesudah Paskah, biasanya kami bertiga menjadi semacam pimpinan. Carrow bersaudara nampaknya tahu
aku ada di belakang banyak hal, jadi  mereka mulai keras padaku, lalu Michael Corner ketangkap basah
sedang membebaskan anak kelas satu yang mereka rantai, jadi mereka menyiksanya cukup berat. Itu
membuat orang-orang takut.”
”Benarkah,” gumam Ron saat jalan tembus mulai menanjak.
”Yeah, well, aku tak dapat meminta orang lain untuk menjalani apa yang dilakukan Michael, jadi kami
menghentikan kelakuan-kelakuan semacam itu. Tapi kami masih berjuang, melakukan hal-hal bawah
tanah, sampai beberapa minggu lalu. Saat mereka memutuskan bahwa hanya ada satu hal untuk
menghentikanku, kurasa, dan mereka akan menangkap Nenek.”
”Mereka
apa
?” sahut Harry, Ron, dan Hermione berbarengan.
“Yeah,” sahut Neville, sedikit terengah-engah sekarang karena jalan tembusnya menanjak curam, “Well,
kau bisa melihat apa yang mereka pikirkan. Biasanya bekerja baik, culik anak agar keluarganya
berkelakuan baik, cuma soal waktu agar mereka melakukan yang sebaliknya. Masalahnya,” ia berbalik
menghadap mereka, dan Harry heran melihat Neville nyengir, “mereka salah kira tentang Nenek. Penyihir
wanita tua kecil hidup sendiri, mereka pikir tak usah kirim orang yang cukup kuat. Hasilnya,” Neville
tertawa, “Dawlish masih di St Mungo, dan Nenek dalam pelarian. Dia mengirimiku surat,” ia
menepukkan tangan di saku dada jubahnya, “bilang bangga padaku, bahwa aku benar-benar putra
orangtuaku, dan agar aku terus berjuang.”
“Keren,” sahut Ron.
“Yeah,” Neville bahagia, “Satu hal, saat mereka menyadari mereka tidak punya sandera untukku,
mereka memutuskan Hogwarts bisa terus tanpaku. Aku tidak tahu apakah mereka merencanakan untuk
membunuhku atau mengirimku ke Azkaban, yang manapun, tapi aku tahu ini waktunya untuk
menghilang.”
”Tapi,” Ron terlihat bingung, ”bukankah kita langsung tembus ke Hogwarts?”
“Tentu,” sahut Neville. “Kau akan lihat. Kita di sini.”
Mereka membelok dan di depan mereka akhir dari jalan tembus itu. Seperangkat undakan menuju pintu
persis seperti yang tersembunyi di belakang lukisan Ariana. Neville mendorong pintunya dan memanjat
naik. Saat Harry mengikuti, ia mendengar Neville berseru pada orang-orang yang tak terlihat: “Lihat ini
siapa! Sudah kubilang, kan?”
Saat Harry muncul di ruangan di balik jalan tembus, terdengar jeritan dan pekikan : ”HARRY!” ”Itu
Potter, itu POTTER!” ”Ron!” ”
Hermione!
Harry dibuat bingung dengan gantungan-gantungan berwarna-warni, lampu, dan banyaknya wajah. Saat
berikutnya ia, Ron, dan Hermione diterjang, dipeluk, dipukul-pukul punggungnya, rambut diacak-acak,
tangan dijabat oleh nampaknya lebih dari 20 orang: seperti baru habis memenangkan final Quidditch saja.
“OK, OK, tenang,” seru Neville, dan saat kerumunan itu mundur, Harry bisa melihat sekelilingnya.
Ia tak mengenali ruangan ini sama sekali. Besar, dan interiornya seperti rumah pohon yang mewah atau
kabin kapal raksasa. Tempat tidur gantung warna-warni diikatkan dari langit-langit dan dari balkon yang
 mengitari dinding berpanel kayu gelap tanpa jendela, yang ditutupi hiasan gantung berwarna cerah, Harry
melihat singa emas Gryffindor berhias merah, luak hitam Hufflepuff dihias kuning, elang perunggu
Ravenclaw dalam warna biru. Silver dan hijau Slytherin satu-satunya yang tidak ada. Ada rak-rak buku
yang penuh sesak, beberapa sapu terbang disandarkan di dinding, dan di sudut sebuah radio besar tanpa
kabel berbingkai kayu.
”Di mana kita?”
”Kamar Kebutuhan (Room of Requirement), tentu saja,” sahut Neville. ”Melebihi apa yang kita
harapkan, kan? Carrow bersaudara mengejarku, aku tahu hanya punya satu kesempatan: aku berhasil
mencapai pintunya, dan seperti ini yang kutemukan. Well, tak seperti ini waktu aku datang, jauh lebih
kecil, hanya satu tempat tidur gantung dan hanya ada gantungan Gryffindor. Tapi jadi makin besar saat
lebih banyak anak Laskar Dumbledore tiba.”
“Dan Carrow bersaudara tidak bisa masuk?” tanya Harry mencari adanya pintu.
“Tidak,” sahut Seamus, yang tidak Harry kenali hingga dia bicara; wajah Seamus lebam dan bengkak,
“Persembunyian yang baik, selama kita tinggal di sini, mereka tidak dapat menemukan kita, pintunya
tidak membuka. Terserah Neville. Ia benar-benar
mendapatkan
Kamar ini. Kau harus meminta
tepat
apa yang kaubutuhkan—seperti ‘aku tak mau pendukung Carrow bisa masuk’—dan kamar ini akan
melakukannya. Asal kau yakin menutup semua kesempatan! Neville memang orangnya!”
“Terus terang, sebenarnya,” sahut Neville rendah hati, “Aku sudah sehari setengah  di sini, benar-benar
lapar, dan berharap mendapat sesuatu untuk dimakan, dan saat itulah jalan tembus ke Hog’s Head
membuka. Aku menyusurinya, dan bertemu dengan Aberforth. Ia menyediakan makanan untuk kami,
sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh Kamar.”
”Yeah, well, makanan adalah satu dari lima pengecualian terhadap Hukum Gamp tentang Asas
Transfigurasi,” sahut Ron, menyebabkan semua heran.
”Jadi kami bersembunyi di sini sudah hampir dua minggu,” sahut Seamus, ”dan Kamar membuat lebih
banyak tempat tidur gantung tiap saat kami memerlukan, dan bahkan memunculkan sebuah kamar mandi
yang bagus saat para gadis juga datang—”
”—dan berpikir bahwa mereka suka membersihkan diri, ya,” sahut Lavender Brown, yang tak
terperhatikan oleh Harry hingga saat itu. Sekarang dia melihat ke sekeliling, ia mengenali banyak wajah,
kedua kembar Patil ada, seperti juga Terry Boot, Ernie Macmillan, Anthony Goldstein, dan Michael
Corner.
”Ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu,” sahut Ernie, ”banyak sekali kabar burung, kami mencoba
mengikuti berita tentangmu di
Potterwatch
,” ia menunjuk pada radio tanpa kabel, ”Kau tak menerobos
ke Gringotts?”
”Mereka memang menerobos!” sahut Neville, ”Dan cerita naga itu benar juga!”
Tepuk tangan dan beberapa teriakan: Ron menerima hormat dengan membungkukkan badan.
”Apa yang kau cari?” Seamus ingin tahu.
Sebelum siapapun bisa menjawab pertanyaan itu, Harry merasa nyeri yang menghanguskan, yang
mengerikan, pada bekas lukanya. Saat ia menoleh tergesa pada wajah-wajah yang ingin tahu, Kamar
 Kebutuhan menghilang, dan ia berdiri di dalam sebuah gubuk batu yang sudah hancur, lantai yang lapuk
terbuka di kakinya, sebuah kotak emas baru digali, terbuka kosong di dekat lubang, dan teriakan
kemarahan Voldemort bergema di dalam kepalanya.
Dengan susah payah Harry menarik diri dari pikiran Voldemort, kembali ke tempat di mana ia berdiri,
terhuyung-huyung di Kamar Kebutuhan, keringat bercucuran dan Ron menahannya.
”Kau baik-baik saja, Harry?” Neville sedang bertanya, ”Mau duduk? Kukira kau lelah, apakah—“
“Tidak,” sahut Harry. Ia menatap Ron dan Hermione, mencoba memberitahu tanpa kata pada mereka
bahwa Voldemort baru saja mengetahui salah satu Horcruxnya sudah hancur. Waktu berjalan cepat: jika
Voldemort memilih untuk mengunjungi Hogwarts sekarang, maka mereka akan kehilangan kesempatan.
“Kita harus berjalan terus,” kata Harry dan raut wajah Ron serta Hermione mengatakan bahwa mereka
mengerti.
”Apa yang akan kita lakukan, Harry?” tanya Seamus, ”apa rencanamu?”
”Rencana?” ulang Harry. Ia mengerahkan semua kemampuannya untuk menghalangi dirinya tergoda lagi
ke dalam kemarahan Voldemort, bekas lukanya masih membara. ”Ada sesuatu yang harus kami—Ron,
Hermione, dan aku—perlu kerjakan, dan setelah itu kami keluar dari sini.”
Tak ada tawa atau pekikan lagi, Neville nampak bingung.
”Apa yang kau maksud ’keluar dari sini’?”
”Kami tidak kembali untuk tinggal,” sahut Harry, mengusap bekas lukanya, mencoba mengurangi
nyerinya, ”Ada sesuatu yang penting yang harus kami lakukan—”
”Apa itu?”
”Aku—aku tak bisa bilang.”
Gumam-gumam keheranan, alis Neville berkerut.
”Kenapa tidak bisa bilang pada kami? Sesuatu untuk melawan Kau-Tahu-Siapa, kan?”
”Well, ya—”
”Kalau begitu, kami akan menolongmu.”
Anggota Laskar Dumbledore yang lain menganggukkan kepala, beberapa antusias, beberapa lagi serius.
Beberapa dari mereka bangkit dari kursinya untuk menunjukkan keinginan mereka bertindak saat itu
juga.
”Kau tidak mengerti,” Harry nampak sudah mengatakannya berkali-kali dalam beberapa jam terakhir ini.
”Kami—kami tidak bisa bilang. Kami harus mengerjakannya—sendiri.”
”Kenapa?” tanya Neville.
”Karena ...” dalam keputusasaan untuk mencari Horcrus yang hilang, atau paling tidak bisa atau tidak
 mendiskusikannya dengan Ron dan Hermione bagaimana mereka bisa memulai pencarian, Harry
menemui kesulitan untuk mengumpulkan pikirannya. Bekas lukanya masih terbakar. ”Dumbledore
meninggalkan pekerjaan untuk kami bertiga,” sahutnya hati-hati, ”dan kami seharusnya
mengatakan—maksudku, ia menginginkan kami untuk melakukannya, hanya kami bertiga.”
”Kami Laskar-nya,” sahut Neville, ”Laskar Dumbledore. Kami selalu bersama, kami selalu melawan
walau saat kalian bertiga sedang tak ada—”
”Kami bukan sedang piknik, sobat,” sahut Ron.
”Aku tidak bilang begitu, tapi aku tidak melihat alasan mengapa kalian tidak bisa  mempercayai kami.
Tiap orang di Kamar Kebutuhan ini berjuang, dan mereka ada di sini karena Carrow bersaudara
mengejar mereka semua. Semua di sini sudah terbukti setia pada Dumbledore—setia padamu.”
”Begini,” Harry mulai, tanpa tahu apa yang akan ia katakan, tetapi itu tak jadi soal, pintu terowongan
membuka di belakangnya.
”Kami dapat pesanmu, Neville! Hello kalian bertiga, kupikir kalian pasti ada di sini!”
Luna dan Dean. Seamus meraung gembira dan lari memeluk sobat baiknya itu.
“Hai, semuanya!” sahut Luna gembira, “Oh, senangnya bisa kembali!”
”Luna,” Harry merasa teralihkan, ”apa yang sedang kau lakukan di sini? Bagaimana bisa—?”
”Aku beritahu dia,” sahut Neville, mengacungkan Galleon palsunya, ”Aku janji padanya dan Ginny, kalau
kau muncul mereka akan kuberitahu. Kami semua berpikir jika kau kembali, itu artinya revolusi. Bahwa
kita akan menyingkirkan Snape dan Carrow bersaudara.”
”Tentu saja artinya memang demikian,” sahut Luna berseri-seri. ”Iya, kan, Harry? Kita berjuang
mengeluarkan mereka dari Hogwarts?”
”Dengar,” sahut Harry, mulai panik, ”Maaf, tapi bukan untuk itu kami kembali. Ada yang harus kami
kerjakan, lalu—”
”Kau akan meninggalkan kami dalam situasi seperti ini?” tuntut Michael Corner.
”Bukan!” sahut Ron, ”Apa yang kami kerjakan akan menguntungkan bagi semua orang, itu berkaitan
dengan menyingkirkan Kau-Tahu-Siapa—”
”Kalau begitu, biarkan kami menolong!” sahut Neville marah, ”Kami ingin menjadi bagian!”
Ada suara lagi di belakang, dan Harry menoleh. Jantungnya nampaknya akan berhenti: Ginny sedang
memanjat lubang di dinding, disusul Fred, George, dan Lee Jordan. Ginny tersenyum berseri-seri pada
Harry: Harry sudah lupa atau tak pernah benar-benar menghargai, betapa cantiknya dia, tapi dia senang
sekali bertemu Ginny.
“Aberforth mulai sedikit nampak seperti tikus,” sahut Fred mengangkat tangannya membalas beberapa
teriakan menyambutnya, “dia tidak bisa tidur katanya, dan barnya berubah nenjadi stasiun kereta api!”
Mulut Harry terbuka. Tepat di belakang Lee Jordan, datang pacar lama Harry, Cho Chang. Dia
 tersenyum pada Harry.
“Aku dapat pesan,” sahutnya mengangkat Galleonnya, dan dia terus berjalan untuk duduk di samping
Michael Corner.
“Jadi, apa rencananya, Harry?” tanya George.
“Tidak ada rencana,” sahut Harry, masih bingung dengan kemunculan tiba-tiba orang-orang ini, belum
bisa mengerti saat bekas lukanya masih membakar dengan ganas.
“Biarkan saja berjalan sendiri, kan? Kesukaanku!” sahut Fred.
”Kau harus menghentikan ini!” sahut Harry pada Neville. ”Kenapa kau memanggil mereka? Kau gila—”
”Kita akan bertempur, kan?” sahut Dean, mengacungkan Galleon palsunya, ”Pesannya  berbunyi Harry
kembali, dan kita akan bertempur. Walau aku harus mendapat tongkat dulu—”
”Kau belum dapat
tongkat
—” Seamus mulai.
Ron tiba-tiba berbalik pada Harry.
“Kenapa mereka tidak bisa menolong?”
”Apa?”
”Mereka bisa menolong.” Ia menurunkan suaranya sehingga tidak ada orang lain yang bisa
mendengarnya kecuali Hermione, yang berdiri di antara mereka. ”Kita tidak tahu Horcrux itu ada di
mana. Kita harus mencarinya cepat. Kita tidak usah bilang kalau itu Horcrux.”
Harry memandang Ron lalu Hermione yang bergumam, ”Kupikir Ron benar. Kita bahkan tidak tahu apa
yang kita cari, kita memerlukan mereka.” Dan saat Harry nampak tidak yakin, ”Kau tidak harus
mengerjakan semua sendirian, Harry.”
Harry berpikir cepat, bekas lukanya masih berdenyut, kepalanya seperti mau pecah lagi. Dumbledore
sudah memperingatkan agar dia jangan mengatakan pada siapapun kecuali Ron dan Hermione.
Rahasia
dan dusta, begitulah kami tumbuh, dan Albus ... dia memang sepantasnya ...
Apakah dia sudah
berubah menjadi Dumbledore, menyimpan semua rahasia di dadanya, takut mempercayai orang lain?
Tetapi Dumbledore percaya pada Snape, dan kemana akhirnya? Dibunuh di atas menara tertinggi ...
”Baiklah,” ujarnya pelan pada kedua temannya, ”OK,” serunya ke seluruh Kamar, dan semua suara
berhenti: Fred dan George yang sedang menertawakan suatu lelucon langsung terdiam, dan semua
waspada, bergairah.
”Ada sesuatu yang harus kami temukan,” sahut Harry, ”Sesuatu—sesuatu yang akan membantu kita
menyingkirkan Kau-Tahu-Siapa. Ada di sini di Hogwarts, tapi kami tak tahu di mana. Mungkin
kepunyaan Ravenclaw. Apakah ada yang pernah mendengar benda semacam itu? Misalnya, apa ada
yang pernah melihat sesuatu dengan elang Ravenclaw padanya?”
Ia menatap berharap pada sekelompok kecil Ravenclaw, pada Padma, Michael, Terry, dan Cho, tapi
Luna yang menjawab, bertengger di lengan kursi Ginny.
 “Well, ada diademnya yang hilang. Aku pernah bilang tentangnya, inget kan, Harry? Diadem Ravenclaw
yang hilang? Daddy sedang berusaha menirunya.”
“Yeah, tapi diadem yang hilang itu,” sahut Michael Corner memutar matanya, “sudah
hilang
, Luna. Itu
masalahnya.”
“Kapan hilangnya?” tanya Harry.
“Kata mereka sih berabad-abad lalu,” sahut Cho, dan jantung Harry terbenam. “Profesor Flitwick bilang,
diadem itu lenyap bersamaan dengan Ravenclaw sendiri. Orang-orang sudah mencari, tapi,” Cho
memandang rekan-rekan Ravenclawnya mencari dukungan, “tak seorangpun yang pernah menemukan
bahkan jejaknya, benar kan?”
Teman-temannya menggeleng.
“Sori, diadem itu apa?” tanya Ron.
”Semacam mahkota,” sahut Terry Boot, ”Ravenclaw seharusnya memiliki benda sihir, meningkatkan
kebijaksanaan si pemakai.”
”Ya, pipa Wrackspurt Daddy—”
Tapi Harry memotong percakapan Luna.
“Dan tak ada dari kalian yang pernah melihat sesuatu yang mirip dengan itu?”
Anak-anak Ravenclaw itu menggeleng lagi. Harry memandang Ron dan Hermione, kekecewaannya
tercermin pada wajah mereka juga. Sebuah benda, yang sudah hilang sedemikian lama, dan jelas-jelas
tanpa jejak, nampaknya bukan kandidat yang baik untuk Horcrux yang tersembunyi di kastil … sebelum
dia berhasil merumuskan pertanyaan baru, Cho berbicara lagi.
“Kalau kau mau lihat seperti apa diadem itu, aku bisa membawamu ke Ruang Rekreasi kami dan
memperlihatkannya padamu, Harry? Patung Ravenclaw memakainya.”
Bekas luka Harry membara lagi: untuk sesaat Kamar Kebutuhan lenyap di hadapannya, sebagai gantinya
ia melihat dunia gelap terbentang di bawahnya, ia merasa ular besar melilit di pundaknya. Voldemort
sedang terbang lagi, entah ke danau bawah tanah atau ke sini, ia tidak tahu: ke manapun waktu  yang
tersisa sangat sedikit.
“Ia sudah bergerak lagi,” kata Harry pelan pada Ron dan Hermione. Ia memandang Cho lalu pada yang
lain. “Dengar, mungkin aku tidak banyak memberikan petunjuk, tapi aku akan pergi dan melihat patung
itu, paling tidak melihat diadem itu seperti apa. Tunggu di sini dan jaga diri kalian baik-baik.”
Cho sudah hendak berdiri, tapi Ginny menyahut galak, “Tidak, mending Luna yang pergi dengan Harry,
iya kan, Luna?”
“Ooh, iya, aku mau,” sahut Luna gembira, dan Cho duduk lagi, agak kecewa.
“Bagaimana kami keluar?” tanya Harry pada Neville.
”Sebelah sini.”
 Ia memimpin Harry dan Luna ke sebuah sudut, di mana sebuah lemari kecil membuka ke sebuah tangga.
”Keluarnya berbeda-beda setiap hari, jadi mereka tidak dapat menemukan Kamar ini,” ujarnya.
”Masalahnya, kita juga tak tahu keluarnya di mana. Hati-hati Harry, mereka berpatroli di koridor
malam-malam.”
”Tidak masalah,” sahut Harry, ”Sampai ketemu lagi.”
Ia dan Luna bergegas ke tangga, panjang, diterangi obor, dan membelok di tempat-tempat yang tak
terduga. Akhirnya mereka tiba di suatu tempat yang nampak seperti dinding padat.
“Ke bawah sini,” sahut Harry pada Luna, mengeluarkan Jubah Gaib dan mengerudungkannya ke atas
mereka berdua. Ia mendorong dinding sedikit.
Dindingnya meleleh saat disentuh dan mereka menyelinap keluar: Harry melirik ke belakang dan  melihat
dindingnya menutup kembali seketika. Mereka berdiri di koridor yang gelap: Harry menarik Luna
mundur ke kegelapan bayangan, meraba-raba kantong di sekeliling lehernya dan mengeluarkan Peta
Perompak. Dipegangnya dekat hidung, ia mencari titik dengan namanya dan nama Luna.
”Kita di lantai lima,” bisiknya, mengamati Filch bergerak menjauh dari mereka, satu koridor ke depan.
”Ayo, ke sini.”
Mereka mengendap-endap.
Harry sudah sering berkeliling kastil di malam hari, namun jantungnya belum pernah berdetak sekencang
ini, belum pernah sebegitu bergantungnya ia pada jalan yang aman di tempat ini. Melewati tempat
bercahaya bulan di lantai, melewati perangkat baju besi yang helmnya berderak saat langkah kaki
mereka berbunyi halus, melewati sudut di mana siapa yang bisa tahu ada siapa bersembunyi, Harry dan
Luna berjalan, sesekali memeriksa Peta Perompak manakala cahaya memungkinkannya, dua kali
berhenti untuk membiarkan hantu lewat sehingga mereka tidak menarik perhatian. Ia berjaga-jaga jangan
sampai ada halangan tiap saat: ketakutan terbesarnya adalah Peeves, ia menajamkan telinganya dalam
tiap langkah agar bisa mendengar setiap tanda jika si pembuka rahasia itu mendekat.
”Ke sini, Harry,” Luna berbisik, menarik lengan baju Harry ke arah tangga melingkar.
Mereka naik di lingkaran yang sempit dan memusingkan; Harry belum pernah ke sini sebelumnya.
Akhirnya mereka mencapai sebuah pintu. Tak ada pegangan pintu, tak ada lubang kunci: tak ada
apa-apa hanya pintu polos dari kayu tua dan pengetuk pintu perunggu berbentuk elang.
Luna mengulurkan tangannya yang pucat, kelihatannya menakutkan melayang di tengah udara, tak
terhubung dengan lengan atau tubuh. Ia mengetuk sekali, dalam keheningan kedengarannya seperti
ledakan meriam. Paruh elang membuka, tapi alih-alih suara burung, malah suara lembut bagai musik
berujar, ”Mana yang duluan, phoenix atau nyala api?”
”Hm ... kau pikir apa, Harry?” sahut Luna, nampak bijak.
”Apa? Bukannya ada kata kuncinya?”
”Oh, tidak, kau harus menjawab pertanyaan,” sahut Luna.
 ”Bagaimana kalau salah?”
”Well, kau harus menunggu seseorang menjawab dengan benar,” ujar Luna, ”dengan demikian kita jadi
belajar.”
”Yeah ... masalahnya, kita tidak bisa menunggu orang lain, Luna.”
”Aku tahu apa maksudmu,” sahut Luna serius, ”Baiklah, kurasa jawabannya adalah sebuah lingkaran tak
berawal.”
”Cukup  beralasan,” sahut suara itu, dan pintu berayun membuka.
Ruang Rekreasi Ravenclaw yang ditinggalkan itu adalah sebuah ruangan yang luas, bundar, lebih sejuk
daripada yang pernah Harry rasakan di Hogwarts. Jendela melengkung yang anggun di dinding,
digantungi sutra biru dan perunggu; di siang hari para Ravenclaw punya pemandangan yang indah dengan
gunung-gunung yang melingkar. Langit-langit berbentuk kubah dilukisi bintang-bintang, serasi dengan
karpet biru tengah malam. Ada meja-meja, kursi, rak-rak buku dan di relung berseberangan dengan
pintu berdiri sebuah patung tinggi dari marmer putih.
Harry mengenal Rowena Ravenclaw dari patung sedada yang ia lihat di rumah Luna. Patung itu berdiri di
samping pintu ke, ia perkirakan, ke  kamar-kamar asrama di atas. Ia melangkah mendekati wanita
marmer itu, nampak dia memandang balik padanya dengan pandangan aneh. Setengah senyum pada
wajahnya, cantik tapi sedikit menakutkan. Sebuah lingkaran yang kelihatannya lembut dibuat tiruannya
dari marmer di atas kepalanya. Mirip tiara yang dipakai Fleur di hari pernikahannya. Ada kata-kata kecil
dipahatkan di situ. Harry melangkah keluar dari kerudungan Jubah, menaiki standar patung Ravenclaw itu
untuk membacanya.
Bijak melampaui ukuran adalah kekayaan terbesar manusia
”Yang akan membuatmu cukup miskin, dungu!” sebuah suara berkotek.
Harry berbalik cepat, terpeleset dari standar patung dan mendarat di lantai. Sosok berbahu miring,
Alecto Carrow, berdiri di hadapannya, dan saat Harry mengangkat tongkatnya, Alecto menekankan jari
telunjuknya yang pendek gemuk pada tanda tengkorak dan ular di lengannya.

 
To be continue.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search my Blog