Minggu, 02 Oktober 2011

Harry Potter And The Deathly Hallows Bab 1

BAB 1
BANGKITNYA PANGERAN KEGELAPAN


(The Dark Lord Ascending)

Dua orang pria tiba-tiba muncul di sebuah jalan sempit, mereka hanya terpisah beberapa meter, diterangi
cahaya bulan. Untuk beberapa saat mereka hanya terdiam tetapi saling mengarahkan tongkat sihir ke
dada yang lainnya; namun setelah saling mengenali, mereka menarik tongkat mereka dan menyelipkannya
di balik jubah masing-masing dan mulai berjalan bersama-sama.

“Ada berita baru?” tanya lelaki yang lebih tinggi.
“ Tentu saja, “ jawab Severus Snape

Jalan yang mereka lewati ditumbuhi rumput liar di sebelah kirinya, sedangkan di sebelah
kanannya dibatasi pagar yang tinggi.

“Sudah kuduga aku akan terlambat,” kata Yaxley, bayangannya muncul tenggelam di keremangan cahaya bulan. “ Ternyata lebih sulit dari yang kukira. Tapi semoga saja dia puas dengan hasil kerjaku.
Kau sendiri yakin sekali akan diterima dengan baik?”


Snape hanya mengangguk. Mereka berbelok ke kanan, menuju ke sebuah jalan masuk yang
lebar. Dihiasi pagar-pagar yang melekung di atas mereka, di ujung jalan masuk tersebut terdapat sebuah
pintu gerbang besi. Namun kedua lelaki tersebut tidak melambatkan langkah mereka: mereka hanya
mengangkat tangan kiri mereka seperti menunjukan penghormatan dan berjalan menembus gerbang besi
tersebut seperti menembus asap.
Suara pohon-pohon cemara yang memagari jalan bercampur dengan suara langkah mereka.
Kemudian terdengar sebuah suara gaduh di sebelah kanan mereka, Yaxley menarik kembali tongkat
 sihirnya dan mengacungkannya ke kepala Snape, tetapi ternyata suara tersebut berasal dari seekor
merak berwarna putih, berdiri angkuh di atas pagar.

“ Lucius selalu saja mendapatkan yang terbaik, merak huh…” Yaxley memasukkan kembali tongkatnya.

Sebuah rumah besar terlihat di ujung jalan, cahaya terlihat berkilatan di balik jendelanya. Lantai halaman
berbunyi saat Snape dan Yaxley melangkah melewatinya menuju pintu depan, yang langsung terbuka
dengan sendirinya.
Ruang di dalamnya sangat lebar, diterangi cahaya temaram dan lantainya dihiasi karpet yang sangat
indah. Wajah dalam lukisan di dinding mengawasi mereka saat melewatinya. Keduanya berhenti di depan
pintu kayu besar yang menuju ke ruang lainnya, dengan sedikit ragu-ragu Snape membuka pintu tersebut.
Ruangan tersebut dipenuhi orang-orang yang duduk terdiam mengelilingi meja  yang besar. Furnitur yang
biasanya ada di ruangan tersebut dipinggirkan secara asal-asalan. Cahaya berasal dari perapian yang
dihiasi pualam dengan bingkai kaca. Snape dan Yaxley terdiam sejenak. Mata mereka mulai
membiasakan dengan cahaya yang minim, sesosok tubuh terbalik mengambang dan berputar perlahan di
atas meja seakan-akan digantung dengan tali yang tak terlihat. Tak seorangpun yang memberi perhatian
pada sosok mengambang tersebut kecuali seorang pemuda yang duduk tepat dibawahnya. Dia
sepertinya tak mampu menahan diri untuk melihat sosok mengambang tersebut beberapa menit sekali.

“Yaxley, Snape,” sebuah suara yang tinggi terdengar dari ujung meja. “ Kalian terlambat.”

Orang yang berbicara tersebut duduk tepat membelakangi perapian, sehingga hanya terlihat
bayangannya saja. Setelah mereka mendekat, wajah orang tersebut mulai terlihat, kepalanya tak
berambut, wajahnya menyerupai ular dengan dua lubang kecil untuk hidungnya dan dua mata merah
dengan pupil vertikal. Dia sangat pucat solah-olah kulitnya dari mutiara.

“Severus, kau di sini,” kata Voldemort, sambil menunjuk kursi di samping kanannya. “Yaxley, kau di
sebelah Dolohov.”

Keduanya mengambil tempatnya masing-masing. Semua mata mengikuti Snape kemudian
Voldemort bertanya padanya.

“Jadi?”
“Tuanku,
"Order of The Phoenix"
bermaksud memindahkan Harry Potter dari kediamannya besok Sabtu
malam.”

Suara bisik-bisik mulai terdengar, beberapa orang seperti tegang, yang lainnya terlihat resah,
semuanya melihat ke arah Snape dan Voldemort.

“Sabtu… malam hari,” ulang Voldemort. 

Mata merahnya memandang tajam ke arah mata Snape bahkan beberapa orang lainnya memalingkan wajahnya seakan-akan mereka takut dipandang mata tajam
tersebut. 
Namun Snape terlihat tenang dan tetap memandang Voldemort, kemudian setelah beberapa saat Voldemort terlihat tersenyum.

“Bagus, sangat bagus. Dan informasi ini berasal dari…”
“Dari sumber yang telah kita bahas sebelumnya,” kata Snape.
 “Tuanku.” Yaxley mencondongkan tubuhnya ke depan memandang ke arah Voldemort dan Snape.
 
Semua wajah memandangnya.



“Tuanku, saya mendengar berita yang berbeda.” Yaxley menunggu tanggapan, tetapi Voldemort tidak berbicara, kemudian Yaxley melanjutkan ucapannya, “Dawlish, seorang Auror, terlepas berbicara bahwa
Potter tidak akan dipindahkan sampaitanggal tiga puluh , malam sebelum bocah itu berumur tujuh belas tahun.”

Snape hanya tersenyum.

“Sumberku mengatakan bahwa mereka berencana untuk memakai jejak palsu; info ini pasti benar. Saya tak ragu karena mantra Confundus telah digunakan kepada Dawlish. Ini bukan yang pertama kali karena dia sangat mudah dikuasai. Dan Dawlish sepertinya yakin dengan infonya.”
“Jika dia sudah dimantrai Confundus, tentu saja dia merasa yakin,” kilah Snape. “Yakinlah Yaxley, kantor Auror tidak akan ambil bagian dalam pengamanan Harry Potter.  Orde merasa bahwa kita telah
menyusupi Kementrian.”
“Untuk yang satu ini Orde menebak dengan benar.” Kata orang pendek yang duduk tidak begitu jauh dari Yaxley; dia terkekeh kecil hingga bergema sepanjang meja tersebut.
Voldemort hanya terdiam. Pandangannya ke depan, ke arah sosok mengambang, namun
sepertinya pikirannya berada di tempat lain.
“Tuanku,” Yaxley berkata, “Dawlish yakin bahwa sepasukan Auror akan dikerahkan untuk
memindahkan bocah itu - ..”
Voldemort mengangkat tangannya yang berwarna pucat dan Yaxley langsung terdiam, kemudian
Voldemort memandang Snape lagi.
“Di mana mereka akan menyembunyikan bocah itu?”
“Di rumah salah satu anggota
Orde
,” jawab Snape. “Tempat tersebut, menurut sumber saya, telah diberi
segala jenis perlindungan yang dapat diberikan baik oleh
Orde
maupun oleh Kementrian. Menurut saya
kemungkinannya sangat kecil untuk mendapatkan anak tersebut setelah dia ada disana Tuanku, kecuali
tentu saja jika Kementrian dapat kita kuasai sebelum Sabtu depan,  ini akan memberi kita kesempatan
untuk mengetahui jenis perlindungannya dan mematahkannya sehingga kita dapat menerobos masuk.”
“Kalau begitu, bagaimana Yaxley?” Tanya Voldemort, cahaya api terlihat berkilatan di mata merahnya.
“Bisakah Kementrian kita kuasai sebelum Sabtu depan?”
Sekali lagi semua mata mengarah ke arah Yaxley.
“Tuanku, saya punya berita bagus untuk yang satu ini. Saya telah melakukan mantra
Imperius
pada Pius
Thicknesse, dengan susah payah tentunya.”
Orang-orang yang duduk di sekitar Yaxley terlihat terpesona; sebelahnya – Dolohov- ,orang
yang bermuka panjang, menepuk-nepuk punggungnya.
“Paling tidak ini sebuah permulaan.” Kata Voldemort. “ Tapi Thicknesse hanyalah satu orang.
Scrimgeour harus dikelilingi orang-orang kita sebelum aku bertindak. Jika aku gagal membunuh Menteri
 itu akan berkibat fatal, aku harus memulai dari nol lagi.”
“Ya, Tuanku tentu saja benar, tetapi seperti yang telah Tuanku ketahui, Thicknesse adalah Kepala
Departemen Penegakan Hukum, sehingga dia punya akses langsung ke Menteri dan ke semua Kepala
Departemen di Kementrian Sihir. Saya rasa, dengan adanya pegawai berpangkat tinggi yang kita kontrol,
ini akan memudahkan bagi kita untuk menguasai yang lainnya, kemudian mereka akan bersama-sama
bekerja menjatuhkan Scrimgeour.”
“Sepanjang Thicknesse tidak terbongkar rahasianya sebelum dia mengontrol yang lainnya,” kata
Voldemort. “Bagaimanapun juga, tetap saja sulit untuk menguasai Kementrian sebelum Sabtu depan. Jika
kita tidak dapat menyentuh anak itu di tempat persembunyiannya, maka kita harus melakukannya pada
saat dia dipindahkan.”
“Kita juga mempunyai keuntungan untuk yang satu ini, Tuanku,” kata Yaxley dengan penuh keyakinan.



“Kita sekarang memiliki beberapa orang yang telah disusupkan dalam Departemen Transportasi Sihir.
Jika Potter
Apparate
atau menggunakan Jaringan
Floo
, kita akan segera mengetahuinya.”
“Dia tidak akan menggunakan keduanya,” sahut Snape. “
Orde
tidak akan memakai segala macam
bentuk transportasi yang diawasi dan dikontrol oleh Kementrian; mereka sangat berhati-hati mengenai
tempat persembunyian ini.”
“Lebih bagus lagi,” kata Voldemort. “Dia akan bepergian di tempat terbuka. Lebih mudah untuk
dijatuhkan.”
Kemudian Voldemort memandang kembali ke arah sosok yang mengambang sambil berkata,
“Aku harus menemui sendiri anak itu. Terlalu banyak kesalahan yang kita lakukan dalam menghadapi
anak itu. Beberapa kesalahan bahkan aku lakukan sendiri. Lolosnya Potter dari maut lebih karena
kesalahkanku, bukan karena kekuatan anak itu.”
Orang-orang di sekitar meja itu memandang Voldemort dengan penuh pengertian, masing-masing
merasa bersalah atas lolosnya Harry Potter dari kematiannya. Namun Voldemort sepertinya berbicara
kepada dirinya sendiri, sambil terus memandang sosok tubuh mengambang di atas meja tersebut.
“Aku telah bertindak ceroboh, dan sepertinya keberuntungan belum berpihak padaku. Tapi aku telah
paham sekarang, hal-hal yang tadinya tak kumengerti sekarang telah kumengerti. Akulah satu-satunya
yang harus membunuh Harry Potter dan itu akan segera terjadi.”
Seperti sebuah jawaban dari situasi ini, tiba-tiba sebuah raungan yang penuh penderitaan dan
kesakitan terdengar. Mereka menengok ke bawah, suara raungan tersebut berasal dari bawah kaki
mereka.
“Wormtail,” kata Voldemort tanpa ada perubahan intonasi di suaranya dan tanpa mengalihkan
pandangannya, “bukankah telah kuperintahkan padamu untuk menenangkan tawanan kita?”
“Ya, T-Tuanku,” jawab orang pendek yang duduk dengan sangat rendah di kursinya sampai hampir tak
terlihat. Dia bergegas berdiri dari kursinya dan keluar dari ruangan tersebut, meninggalkan jejak perak di
belakangnya.
“Seperti yang telah ku katakan,” lanjut Voldemort memandang kembali ke wajah pengikutnya yang
tegang. “Aku telah paham beberapa hal sekarang, contohnya aku harus meminjam tongkat kalian
sebelum aku membunuh Harry Potter.”
 Wajah-wajah orang disekelilingnya terlihat terkejut: seolah-olah mereka merasa harus
memberikan salah satu tangan mereka.
“Tidak ada yang mau meminjamkan?” kata Voldemort. “Baiklah kalau begitu… Lucius, menurutku kau
tidak membutuhkan tongkat sihir lagi.”
Lucius Malfoy mengangkat kepalanya. Wajahnya terlihat lebih kuning dan berkilatan diterangi api
perapian. Ketika dia berbicara suaranya terdengar parau.
“Tuanku?”
“Tongkatmu Lucius. Aku membutuhkan tongkatmu.”
“Saya…”



Malfoy melirik ke arah istrinya. Istrinya memandang lurus ke depan, pucat seperti biasanya,
rambutnya yang pirang dan panjang terurai ke belakang., tapi di bawah meja tangannya memegang
pergelangan suaminya. Malfoy mengambil tongkatnya dari jubahnya dan menyerahkannya ke Voldemort,
yang kemudian memegang dan memeriksanya dengan seksama.
“Terbuat dari apa ini?”
“Kayu
Elm
Tuanku.” Kata Malfoy.
“Dan intinya?”
“Pembuluh jantung naga.”
“Bagus,” kata Voldemort. Dia mengambil tongkatnya sendiri dan membandingkan panjang keduanya.
Untuk sesaat Malfoy bergerak seolah-olah berharap akan menerima tongkat Voldemort sebagai
ganti tongkatnya. Gerakan itu terbaca oleh Voldemort yang matanya melebar sinis.
“Kau kira aku akan memberikan tongkatku Lucius?”
Beberapa orang tertawa kecil.
“Aku telah memberimu kebebasan, Lucius, tidakkah itu cukup? Tapi kuperhatikan kau dan keluargamu
kurang begitu bahagia belakangan ini….. apakah karena keberadaanku di rumahmu ini Lucius?”
“Tentu saja tidak Tuanku !”
“Pembohong, Lucius…”
Suara mendesis terus terdengar bahkan ketika mulut Voldemort sudah tidak bergerak. Satu dua
orang seperti tak mampu menahan rasa ngeri ketika desisan itu bertambah keras; sesuatu yang berat
terdengar bergerak merambat di bawah meja.
Seekor ular besar muncul dari bawah secara perlahan ke kursi Voldemort. Seperti tanpa ujung,
ular itu terus saja bergerak naik sampai melingkari pundak Voldemort; leher ular itu berada di paha
 Voldemort, dan matanya tidak berkedip. Voldemort mengelus ular itu dengan tangannya yang kurus
sambil terus memandang Lucius Mafoy.
“Kenapa keluarga Malfoy terlihat tidak bahagia di rumahnya? Bukankah kebangkitanku selalu kalian
rindukan selama ini?”
“Tentu saja Tuanku,” kata Lucius Malfoy. Tangannya bergetar saat ia mengelap keringat dari atas
bibirnya. “Kami tentu saja menginginkan hal tersebut.”
Di sebelah kiri Lucius Malfoy, istrinya, mengangguk dengan aneh, matanya berpaling dari
Voldemort dan ular itu. Di kanan Lucius Malfoy, anaknya Draco, yang selalu melihat ke arah tubuh
mengambang itu, melirik cepat ke arah Voldemort dan mengalihkan pandangannya lagi, takut untuk
membuat kontak mata.
“Tuanku,” kata seorang wanita, suaranya penuh dengan emosi, “Sebuah kehormatan bagi kami karena
Tuanku berada di rumah keluarga kami. Tidak ada yang mampu menandingi kebahagiaan ini.”
Wanita itu duduk di sebelah kakak perempuannya, yang sangat berbeda darinya, karena dia
berambut gelap dan bermata sangat sayu, dia bersikap berbeda dari kakaknya, Narcissa yang duduk
terdiam di kursinya, Bellatrix mencondongkan badannya ke arah Voldemort, hingga sangat terlihat jelas
kerinduannya akan kedekatan ini.
“Tidak ada yang mampu menandingi kebahagiaan ini,” ulang Voldemort, kepalanya bergerak sedikit saat
ia melihat ke Bellatrix. “Kata-kata ini sangat berarti saat kau yang mengucapkannya.”
Wajah Bellatrix memerah; matanya berair karena penuh kebahagiaan.
“Tuanku tahu bahwa saya berkata jujur!”
“Tidak ada yang mampu menandingi kebahagiaan ini….. bahkan jika dibandingkan dengan suatu acara
yang baru saja diadakan di keluarga kalian minggu ini?”
Bellatrix memandang Voldemort, bibirnya terbuka, terlihat jelas dia kebingungan.
“Saya tidak tahu maksud Tuanku.”
“Aku berbicara mengenai keponakanmu Bellatrix. Dan tentu saja keponakan kalian, Lucius dan
Narcissa. Wanita itu baru saja menikahi si serigala, Remus Lupin. Kalian pasti sangat bangga.”
Terdengar suara tertawa dari sekeliling meja. Beberapa terlihat saling tertawa riang; beberapa
terlihat mengetuk-ketukan tangannya ke meja. Tapi ular besar itu tidak merasa nyaman dengan
kegaduhan ini, ia mendesis keras dengan marah, tapi para
Death Eater
tidak mendengarnya, mereka
begitu riang atas berita yang memalukan Bellatrix dan Keluarga Malfoy. Wajah Bellatrix berubah drastis,
dari yang penuh kebahagiaan menjadi cemberut, dan sangat merah.
“Dia bukan keponakan kami, Tuanku,” teriaknya. “ Kami – Narcissa dan saya – tak pernah memandang
bahkan sebelah mata pada kakak perempuan kami saat ia menikahi
Mudblood
itu. Kami tidak ada
urusan dengan mereka dan siapa yang peduli anaknya menikahi binatang buas itu.”



“Bagaimana denganmu Draco?” tanya Voldemort, walaupun suaranya perlahan namun terdengar jelas di
antar riuh tawa. “Kau akan mengasuh bayi mereka?”
 Suara tawa terdengar semakin keras; Draco Malfoy melihat ayahnya dengan ketakutan, tapi
ayahnya hanya melihat ke bawah, kemudian Draco melihat ibunya yang  mengelengkan kepalanya dengan
cepat kemudian memandang ke depan ke arah tembok.
“Cukup” kata Voldemort, sambil mengelus ular yang marah. “Cukup.”
Dan suara tawa berhenti seketika.
“Banyak silsilah keluarga kita mulai terlihat sakit,” katanya. Bellatrix memandangnya sambil menahan
napas dan terlihat memohon.
“Kalian harus menjaga silsilah keluarga kalian agar tetap sehat. Buang bagian-bagian yang
membahayakan kesehatan lainnya.”
“Ya Tuanku,” desah Bellatrix, dan matanya dipenuhi air mata kebahagiaan lagi. “Kami akan segera
lakukan itu.”
“Kalian harus lakukan itu,” kata Voldemort. “Lakukan dalam keluarga kalian, begitu juga di seluruh
dunia….. kita akan membuang kanker yang menggerogoti kita, hingga tinggal mereka yang berdarah
murni akan berjaya…”
Voldemort mengangkat tongkat Lucius Malfoy dan mengarahkannya ke arah sosok tubuh
mengambang itu sambil menggerakan tongkat itu sedikit. Sosok itu terlihat hidup dan mengerang sambil
berusaha melepaskan diri dari ikatan yang tak terlihat.
“Kau mengenali tamu kita, Severus?” tanya Voldemort.
Snape melebarkan matanya ke arah sosok itu. Semua
Death Eater
sekarang memandang ke
arah tangkapan mereka, seakan-akan mereka mendapat ijin atas keingintahuan mereka. Ketika wajah
wanita itu berputar ke arah cahaya perapian, dia berkata dengan suara parau dan penuh ketakutan,
“Severus ! Tolong aku !”
“Ah, tentu saja,” kata Snape. Tubuh wanita itu berputar perlahan lagi.
“Dan kau Draco?” tanya Voldemort sambil mengelus ular itu dengan tangannya yang tak memegang
tongkat. Draco mengangguk cepat. Sekarang ia tak berani lagi melihat wanita itu karena ia telah bangun.
“Tapi kau tak mau mengambil kelasnya khan.” Kata Voldemort.
“Bagi kalian yang belum tahu, tamu kita ini adalah Charity Burbage, yang merupakan salah satu guru di
Sekolah Sihir Hogwart.”
Terdengar suara yang menunjukan pengertian di sekitar meja. Seorang wanita bongkok dengan
gigi runcing tertawa kecil.
“Ya….. Profesor Burbage mengajar para murid mengenai Muggle …. bagaimana mereka sebenarnya
tidak begitu berbeda dengan kita….”
Salah satu
Death Eater
meludah ke lantai. Charity Burbage berputar ke arah Snape lagi.
 “Severus… tolong…tolong…”
“Diam,” kata Voldemort, dengan sedikit gerakan pada tongkat Malfoy, Charity langsung membisu
seperti tersedak. “Bukan saja meracuni pikiran para penyihir muda, minggu lalu Profesor Burbage
menulis dengan semangat di
Daily Prophet
mengenai
Mudblood
. Menurutnya kita harus menerima
pencurian ilmu sihir ini. Dengan semakin berkurangnya penyihir darah murni, dia menyarankan kita
menikahi Muggle… atau bahkan mungkin
werewolf
.”
Tak ada yang tertawa kali ini: hanya terdengar nada marah dalam suara Voldemort. Untuk ketiga
kalinya wajah Charity Burbage menghadap ke arah Snape. Air mata mengalir dari matanya ke
rambutnya. Snape memandang balik ke arahnya, sedikit bersemangat, kemudian wanita itu berputar lagi
perlahan.
Avada Kedavra.”
Secercah cahaya hijau menerangi setiap sudut ruangan. Charity jatuh ke meja di bawahnya,
disertai suara keras, meja itu retak. Beberapa
Death Eater
memundurkan kursinya, Draco terjatuh dari
kursinya.
“Makan malam, Nagini ?” kata Voldemort perlahan, dan ular besar itu bergerak perlahan ke bawah.....



To be continue......................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search my Blog