Selasa, 04 Oktober 2011

Harry Potter And The Deathly Hallows Bab 10 Part 1

BAB 10
KISAH KREACHER
(Kreacher’s Tale)

 Harry bangun lebih dulu keesokan paginya, terbungkus kantung tidur di lantai ruang tamu. Langit terlihat
dari celah tirai. Langit tampak biru tenang, masih antara malam dan fajar. Begitu sepi, yang terdengar
hanya nafas berat dan pelan dari Ron dan Hermione yang masih tertidur. Harry menatap sosok gelap
yang tertidur di sebelahnya. Ron telah bersikap ksatria dan memaksa Hermione tidur di sofa. Bayangan
Hermione menutupi Ron. Tangan Hermione menggantung, dan jarinya hampir menyentuh jari Ron. Harry
berpikir apakah mereka tertidur dengan saling berpegangan tangan. Bayangan itu tiba-tiba membuatnya
merasa sendiri.
Harry menatap langit-langit yang gelap, ke arah lampu gantung yang dipenuhi jaring laba-laba. Kurang
dari dua puluh empat jam yang lalu, ia sedang berdiri di bawah sinar matahari di depan pintu masuk
tenda, menunggu para tamu untuk menunjukkan tempat duduk mereka. Sepertinya sudah lama sekali.
Apa yang akan terjadi sekarang? Ia terbaring di lantai dan memikirkan Horcrux, misi yang rumit dan sulit,
yang telah Dumbledore berikan… Dumbledore…
Keberanian yang muncul sejak kematian Dumbledore mulai berubah. Tuduhan yang diberikan Muriel di
pesta pernikahan telah bersarang di pikirannya dan seperti penyakit yang menginfeksi kenangan tentang
penyihir yang diidolakannya. Apakah Dumbledore akan membiarkan hal itu terjadi? Apakah iaseperti
Dudley yang tidak peduli selama hal itu tidak mengganggunya? Apakah ia meninggalkan saudarinya yang
terpenjara dan disembunyikan?
Harry memikirkan Godric Hollow, memikirkan makam yang tidak pernah Dumbledore ceritakan. Harry
memikirkan benda misterius yang diwariskan Dumbledore tanpa penjelasan. Dan rasa marah Harry terus
membesar dalam kegelapan. Mengapa Dumbledore tidak memberitahu? Mengapa Dumbledore tidak
menjelaskan? Apakah Dumbledore benar-benar peduli pada Harry? Atau Harry sekadar alat yang
terpoles dan terasah, tapi tidak pernah dipercaya?
Harry tidak tahan untuk tetap terbaring dan memikirkan hal-hal pahit itu. Ia harus melakukan sesuatu
untuk mengalihkan perhatiannya. Ia keluar dari kantung tidurnya, mengambil tongkatnya, dan berjalan
perlahan keluar ruangan. Di ujung tangga ia berbisik “
Lumos
,” dan pelan-pelan ia menaiki tangga
diterangi cahaya dari ujung tongkatnya.
Di lantai dua ada kamar dimana ia dan Ron pernah tidur saat terakhir kali mereka kemari. Harry
memandangi bagian dalam kamar itu. Pintu lemari terbuka dan seprai tertarik lepas dari tempat tidur.
Harry teringat dengan tempat payung Troll yang tergeletak jatuh. Seseorang telah mengobrak-abrik
tempat ini sepeninggal anggota Orde. Snape? Atau Mundungus, yang melucuti barang-barang di rumah
ini baik sebelum dan sesudah kematian Sirius? Harry menatap potret yang terkadang diisi oleh Phineas
Nigellus Black, kakek buyut Sirius. Tapi potret itu kosong, meninggalkan sebidang latar belakang
berwarna lumpur. Phineas Nigellus tentu sedang menghabiskan malamnya di kantor kepala sekolah di
Hogwarts.
Harry menaiki tangga lagi hingga di lantai teratas yang hanya diisi oleh dua pintu. Satu pintu dengan
papan nama Sirius. Harry belum pernah masuk ke kamar bapak baptisnya. Harry mendorong pintu
sambil mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, memperluas jangkauan cahaya dari ujung tongkatnya. Kamar
itu luas dan, pasti sebelumnya, indah. Ada tempat tidur besar dengan kayu ukiran di bagian kepala,
jendela tinggi yang ditutupi oleh tirai beludru, dan tempat lilin gantung yang tertutup debu dengan lilin yang
masih tertancap di tempatnya ditemani sisa tetesan lilin yang membeku. Debu melapisi gambar yang
terpasang di dinding dan di atas tempat tidur. Jaring laba-laba terbentang dari lampu gantung ke atas
lemari kayu. Harry memasuki kamar itu dan terdengar suara tikus yang berlari.
Sirius remaja telah memenuhi dinding dengan berbagai poster dan potret, dan hanya sedikit warna asli
dinding yang terlihat, perak keabuan. Harry yakin kalau orang tua Sirius telah gagal menghilangkan
 Mantra Tempel Permanen yang Sirius pasang, karena Harry yakin kalau orang tua Sirius tidak akan suka
dengan selera dekorasi anak tertua mereka. Mungkin Sirius sedikit keterlaluan saat ingin menggoda orang
tuanya. Ada beberapa bendera besar Gryffindor, merah dan emas, hanya untuk menunjukkan perbedaan
dirinya dengan seluruh keluarga Slytherinnya. Ada banyak gambar sepeda motor Muggle dan (Harry
harus mengakui keberanian Sirius) beberapa poster gadis Muggle berbikini, Harry tahu karena gambar
itu tidak bergerak, tersenyum dan mata menatap menerawang diam di atas kertas. Kontras sekali dengan
potret yang ada di dinding. Potret itu berisi empat siswa Hogwarts yang berjajar saling merangkul bahu
kawannya, tertawa ke arah kamera.
Dengan luapan rasa senang, Harry mengenali ayahnya dari rambut hitam yang tidak bisa rapi dan
mencuat di bagian yang sama dengan rambut Harry, juga memakai kacamata. Di sebelahnya, Sirius,
sangat tampan, wajah arogannya begitu muda dan lebih bahagia daripada yang pernah Harry lihat. Di
sebelah kanan Sirius berdiri Pettigrew, lebih pendek, gemuk, dengan mata berair, penuh rasa senang
karena bisa bergabung dalam kelompok paling keren, bersama biang onar paling dikagumi, James dan
Sirius. Di sebelah kiri James ada Lupin, yang terlihat lusuh, tapi dalam keadaan yang sama gembira dan
terkejutnya karena bisa bergabung… dan Harry tahu alasannya. Harry mencoba melepasnya dari
dinding, potret itu menjadi miliknya sekarang – Sirius telah mewariskan segalanya – tapi bahkan
menggesernya pun Harry tidak bisa. Sirius telah melakukan segalanya untuk mencegah orang tuanya
mendekor ulang kamarnya.
Harry memandang lantai. Langit di luar semakin terang, seberkas cahaya menerangi kertas-kertas,
buku-buku, dan benda-benda kecil lain yang berserakan di karpet. Jelas kalau kamar Sirius juga sudah
digeledah, walau sepertinya barang-barangnya dianggap tidak berharga. Beberapa buku telah ditarik
begitu kasar sehingga hampir terlepas dari sampulnya, dan halaman-halaman buku itu tersebar di lantai.
Harry membungkuk untuk mengambil beberapa lembar kertas dan memeriksanya. Harry mengenali salah
satunya sebagai bagian dari edisi lama Sejarah Sihir yang ditulis oleh Bathilda Bagshot, dan yang kedua
adalah manual perawatan sepeda motor. Dan yang ketiga adalah kertas kusut dengan tulisan tangan.
Harry merapikannya.
Dear Padfoot,
Terima kasih banyak untuk hadiah ulang tahun Harry! Itu adalah hadiah favoritnya. Masih
berusia satu tahun tapi sudah terbang ke mana-mana dengan sapu terbang mainannya. Dia
begitu senang memainkannya. Aku sertakan foto agar kau bisa melihatnya sendiri. Kau tahu
kalau sapu itu hanya melayang satu meter dari tanah, tapi Harry hampir membunuh kucing kami
dan memecahkan vas mengerikan yang Petunia berikan sebagai kado Natal (tidak ada yang
mengeluh). Tentu saja James menganggapnya lucu, selalu berkata bahwa Harry akan menjadi
pemain Quidditch hebat. Tapi kami harus menyimpan semua pajangan dan tidak boleh lengah
mengawasi Harry saat dia di atas sapu.
Kami mengadakan pesta ulang tahun kecil, hanya kami dan Bathilda yang selalu baik pada kami
dan begitu menyayangi Harry. Sayang sekali kau tidak bisa datang, tapi Orde lebih penting.
Lagipula Harry masih terlalu muda untuk tahu ulang tahunnya! James merasa sedikit tertekan
bersembunyi di sini, walau dia berusaha menyembunyikan perasaannya tapi aku tahu – apalagi
Dumbledore masih meminjam Jubah Gaibnya. Tak ada kesempatan untuknya berjalan-jalan.
Jika kau bisa mengunjungi kami, James pasti akan senang. Wormy datang minggu lalu, dia
kelihatan sedih, mungkin karena berita McKinnon. Aku sendiri menangis semalam begitu
mendengar beritanya.
 Bathilda sering mengunjungi kami. Dia seorang wanita tua yang mengagumkan, yang selalu
bercerita betapa luar biasanya Dumbledore. Aku penasaran, apakah Dumbledore akan senang
kalau tahu. Jujur, aku tidak tahu apa aku harus percaya atau tidak. Karena rasanya tidak dapat
dipercaya kalau Dumbledore
Tubuh Harry terasa kebas. Ia berdiri kaku memegangi kertas itu dalam jari-jarinya yang gemetar.
Sementara di dalam dirinya muncul letupan rasa senang yang mengalir di seluruh pembuluh darahnya.
Perlahan Harry berjalan menuju tempat tidur dan duduk.
Harry membaca surat itu sekali lagi, tapi ia tidak mendapatkan apapun lebih dari saat membacanya
untuk pertama kali tadi, lalu ia memandangi tulisan tangan itu. Ibunya menuliskan huruf 'g' yang sama
seperti dirinya. Harry memperhatikan huruf perhuruf tulisan di surat itu dan semakin ia merasa akrab
dengannya. Surat itu merupakan harta berharga. Sebuah bukti bahwa Lily pernah hidup, benar-benar
hidup. Bukti bahwa tangan hangatnya pernah bergerak di atas perkamen ini, menggoreskan tinta ke
dalam huruf dan kata. Kata-kata tentang Harry, anaknya.
Harry cepat-cepat mengusap matanya yang basah dan membaca ulang surat itu. Kali ini lebih
berkonsentrasi pada isinya. Rasanya seperti mendengarkan dari suara yang pernah diingatnya. Mereka
memelihara kucing… mungkin kucing itu mati, seperti orang tuanya, di Godric Hollow… atau pergi
karena tidak ada yang memberinya makan... Sirius memberi sapu pertama Harry… orang tuanya
mengenal Bathilda Bagshot. Apakah Dumbledore yang memperkenalkan mereka?
Dumbledore masih
meminjam Jubah Gaibnya…
ada yang aneh…
Harry berhenti dan memikirkan kata-kata ibunya. Mengapa Dumbledore meminjam Jubah Gaib James?
Harry masih mengingat jelas saat sang kepala sekolah memberitahunya, bertahun-tahun yang lalu, “
Aku
tidak butuh Jubah untuk menjadi tidak terlihat
.” Mungkinkah ada anggota Orde yang
membutuhkannya dan Dumbledore menjadi perantaranya? Harry melanjutkan.
Wormy datang
… Pettigrew, si pengkhianat, yang terlihat “sedih”. Benarkah? Apa ia peduli bahwa ia
sedang menemui Lily dan James dalam keadaan hidup untuk terkahir kali? Lalu Bathilda lagi, yang
menceritakan betapa hebatnya Dumbledore,
rasanya tidak dapat dipercaya kalau Dumbledore
...
Kalau Dumbledore apa? Begitu banyak kemungkinan yang tidak dapat dipercaya yang dapat terjadi
pada Dumbledore. Mendapatkan nilai terendah dalam pelajaran Transfigurasi, misalnya. Atau tiba-tiba
memiliki ketertarikan khusus pada kambing seperti Aberforth.
Harry berdiri dan mencari-cari di lantai, mungkin lanjutan suratnya ada di sana. Harry mengambil
kertas-kertas itu dan menikmati mencarinya. Lalu ia meniru penggeledah sebelumnya, menarik laci-laci,
mencari di dalam buku, berdiri di atas kursi agar bisa menjangkau bagian atas lemari, dan merangkak ke
bawah tempat tidur dan kursi.
Akhirnya, Harry berbaring di lantai dan menemukan sepotong kertas yang tersobek, terselip di bagian
bawah laci. Saat Harry menariknya, ia tahu bahwa itu adalah foto yang dimaksudkan Lily. Bayi berambut
hitam di atas sapu kecil, terbang keluar masuk foto, tertawa senang, dan sepasang kaki, yang pasti milik
James, mengejarnya. Harry menyimpan foto dan surat Lily dalam kantungnya, dan melanjutkan mencari
lembar kedua.
Setelah lima belas menit mencari, Harry terpaksa harus menyimpulkan bahwa sisa surat ibunya tidak
ada. Apakah sisa surat itu hilang begitu saja setelah enam belas tahun, atau telah diambil oleh seseorang
 yang telah menggeledah kamar ini? Harry membaca lembar pertama surat itu lagi, kali ini mencoba
mencari petunjuk yang mungkin menunjukkan isi lembar kedua. Sapu terbang mainannya mungkin akan
menjadi petunjuk menarik bagi
Death Eater
… petunjuk paling potensial hanyalah tentang Dumbledore.
Rasanya tidak dapat dipercaya kalau Dumbledore
– apa?
“Harry? Harry! Harry!”
“Aku di sini!” jawab Harry. “Ada apa?”
Terdengar derap kaki di luar dan Hermione memasuki ruangan.
“Kami bangun dan tak tahu kau ada di mana!” kata Hermione yang kehabisan nafas. Hermione menoleh
dan berteriak, “Ron! Aku sudah menemukannya!”
Terdengar suara Ron menjawab dan menggema dari lantai bawah.
“Bagus! Katakan padanya kalau dia kurang ajar!”
“Harry, tolong jangan menghilang begitu saja! Kami khawatir! Lagipula mengapa kau naik ke kamar
ini?” Hermione memandangi kamar yang berantakan. “Apa yang kau lakukan?”
“Lihat apa yang baru saja kutemukan.”
Harry mengacungkan surat ibunya. Hermione mengambil dan membacanya sementara Harry
memperhatikan. Saat Hermione selesai membaca, ia menatap Harry.
“Oh, Harry…”
“Dan ini.”
Harry menyodorkan foto sobek dan Hermione tersenyum saat melihat seorang bayi yang terbang keluar
masuk foto di atas sapu mainan.
“Aku sudah mencari sisa suratnya,” kata Harry, “Tapi tidak ada.”
Hermione memandangi ke sekeliling ruangan.
“Apakah kau yang membuat ruangan ini berantakan, atau memang sudah seperti ini sebelum kau
kemari?”
“Seseorang sudah mengobrak-abrik dan sedang mencari sesuatu sebelumnya,” kata Harry.
“Sudah kuduga. Setiap ruangan yang aku masuki juga berantakan. Menurutmu apa yang mereka cari?”
“Informasi tentang Orde, bila itu Snape.”
“Tapi dia sudah mendapatkan semuanya, maksudku, dia ada dalam Orde, kan?”
“Kalau begitu,” kata Harry yang ingin terus mendiskusikan teori ini, “bagaimana kalau informasi tentang
Dumbledore? Yang ada dalam lembar kedua surat ini. Kau pasti mengenal Bathilda yang ibuku
sebutkan.”
 “Siapa?”
“Bathilda Bagshot, penulis…”


Sejarah Sihir
,” kata Hermione yang mulai tertarik. “Jadi orang tuamu mengenalnya? Bathilda adalah
seorang sejarahwan sihir yang luar biasa.”
“Dan dia masih hidup,” kata Harry, “dan dia tinggal di Godric Hollow. Bibi Muriel berbicara tentangnya
di pesta pernikahan. Dia juga berbicara tentang keluarga Dumbledore. Topik yang menarik, kan?.”
Hermione tersenyum mengerti akan apa yang Harry maksudkan. Harry mengambil surat dan foto itu, lalu
memasukkannya ke dalam kantung yang menggantung melingkar di lehernya, sehingga ia tidak perlu
menatap Hermione, lalu ia berpaling.
“Aku mengerti mengapa kau senang berbicara dengan Muriel tentang ayah dan ibumu, juga
Dumbledore,” kata Hermione. “Tapi itu tidak begitu membantu kita untuk menemukan Horcrux, kan?”
Harry tidak menjawab dan Hermione langsung melanjutkan,
“Harry, aku tahu kau ingin pergi ke Godric Hollow, tapi aku takut… aku takut bagaimana mudahnya
para
Death Eater
menemukan kita seperti kemarin. Dan hal itu yang makin membuatku ingin menghindari
tempat orang tuamu dimakamkan, aku yakin mereka berharap kau akan pergi ke sana.”
“Bukan itu,” kata Harry yang masih menghindar untuk menatap Hermione. “Muriel mengatakan sesuatu
tentang Dumbledore di pesta pernikahan. Dan aku ingin kebenaran…”
Harry memberitahu Hermione semua yang Muriel ceritakan. Saat Harry selesai, Hermione berkata,
“Tentu, aku mengerti mengapa kau kecewa, Harry…”
“Aku tidak kecewa,” kata Harry berbohong, “aku hanya ingin tahu apakah cerita itu benar atau…”
“Harry, apa kau pikir kau bisa mendapatkan kebenaran dari wanita tua kejam seperti Muriel atau Rita
Skeeter? Bagaimana bisa kau percaya pada mereka? Kau kenal Dumbledore!”
“Tadinya kupikir aku kenal dia,” gumam Harry.
“Tapi kau tahu berapa banyak kebenaran yang Rita tulis tentangmu! Doge benar, bagaimana mungkin
kau biarkan orang-orang seperti mereka merusak kenanganmu tentang Dumbledore?”
Harry memandang ke arah lain, mencoba untuk tidak mengingkari amarah yang ia rasakan. Hal itu lagi,
memilih yang kita percaya. Harry menginginkan kebenaran. Mengapa setiap orang ingin agar Harry tidak
mengetahui kebenaran?
“Lebih baik kita turun ke dapur,” usul Hermione setelah jeda beberapa saat. “Kita harus mencari
sarapan.”
Harry setuju walau enggan, lalu mengikuti Hermione keluar dan melewati pintu kamar kedua. Di pintu
terdapat goresan yang cukup dalam di bawah sebuah tanda yang tidak Harry sadari saat keadaan gelap
tadi. Harry berhenti di ujung tangga untuk membacanya. Sebuah tanda larangan kecil yang ditulis dengan
tulisan tangan yang rapi. Tanda larangan seperti yang Percy Weasley gantung di depan pintu kamarnya.
 Dilarang Masuk
Tanpa Izin Langsung Dari
Regulus Arcturus Black
Rasa senang memenuhi darah Harry, walau ia sendiri tidak tahu mengapa. Ia membaca tanda larangan
itu sekali lagi. Hermione sudah ada di tangga di lantai bawah.
“Hermione,” kata Harry, dan ia begitu terkejut karena suaranya begitu tenang.
“Kesinilah.”
“Ada apa?”
“R.A.B. kurasa aku menemukannya.”
Terdengar suara terkejut dan Hermione berlari kembali ke atas.
“Dalam surat ibumu? Tapi aku tidak melihat…”
Harry menggelengkan kepalanya, lalu menunjuk tanda larangan milik Regulus. Hermione membacanya,
lalu menggamit tangan Harry dan berkedip-kedip tidak percaya.
“Adik Sirius?” bisik Hermione.
“Dia seorang
Death Eater
,” kata Harry, “Sirius menceritakannya padaku. Dia menjadi
Death Eater
dalam usia yang sangat muda lalu ketakutan dengan apa yang akan dia lakukan sebagai
Death Eater
dan
ingin keluar – jadi mereka membunuhnya.”
“Pas sekali!” pekik Hermione. “Kalau dia seorang
Death Eater
, dia punya akses ke Voldemort, dan
saat dia sadar, dia ingin menjatuhkan Voldemort!”
Hermione melepaskan pegangannya, berjalan ke arah pegangan tangga, dan berteriak,
“Ron! RON! Cepat naik sini!”
Ron muncul, terengah-engah, beberapa menit kemudian, dengan tongkat siap di tangan.
“Ada apa? Kalau laba-laba raksasa lagi, aku ingin sarapan sebelum...”
Ron berdiri membeku menatap tanda larangan yang ditunjuk oleh Hermione.
“Apa? Ini kamar adik Sirius, kan? Regulus Arcturus… Regulus… R.A.B.! Liontin – apa kau pikir?”
“Ayo cari tahu,” kata Harry. Harry mendorong pintu, tapi terkunci.
Hermione mengarahkan tongkatnya ke pegangan pintu dan berkata, “Alohomora.” Terdengar suara
click dan pintu terbuka.
Mereka masuk bersamaan dan memandang sekeliling. Kamar tidur Regulus lebih kecil daripada kamar
 Sirius, tapi memiliki kemegahan yang sama. Sementara Sirius menekankan betapa berbedanya dirinya
dengan anggota keluarganya, Regulus bersikap sebaliknya. Warna Slytherin yang perak dan hijau
memenuhi ruangan, menutupi tempat tidur, dinding, dan jendela. Logo keluarga Black dilukis dengan
begitu teliti di atas kepala tempat tidur, lengkap dengan moto mereka,
TOUJOURS PUR
. Di bawahnya
tertempel potongan koran yang sudah menguning yang membentuk sebuah kolase yang tidak teratur.
Hermione berjalan melintasi ruangan untuk melihatnya.
“Semuanya tentang Voldemort,” kata Hermione. “Sepertinya Regulus telah menjadi fans Voldemort
selama bertahun-tahun sebelum dia bergabung menjadi
Death Eater
.”
Debu beterbangan dari tempat tidur saat Hermione duduk di atasnya untuk membaca kliping-kliping itu.
Sementara Harry, menemukan foto lain, tim Quidditch Hogwarts yang sedang tersenyum dan
melambaikan tangan mereka. Harry mendekat dan melihat lambang ular menghiasi dada mereka.
Slytherin. Regulus mudah sekali dikenali, seorang anak yang duduk di tengah di barisan depan, dia
memiliki rambut hitam dan wajah arogan yang sama seperti kakaknya, walau ia lebih pendek, kurus, dan
tidak setampan Sirius.
“Dia seorang Seeker,” kata Harry.
“Apa?” kata Hermione tidak jelas, karena ia masih membenamkan diri dalam kliping tentang Voldemort.
“Dia duduk di tengah di barisan depan, itu tempat Seeker… sudahlah,” kata Harry, menyadari bahwa
tidak seorang pun mendengarkan. Ron sedang membungkuk mencoba mencari sesuatu di bawah lemari.
Harry melihat berkeliling mencoba mencari tempat untuk menyembunyikan sesuatu. Tapi sepertinya
sudah ada yang menggeledah tempat ini sebelum mereka. Isi laci berantakan, debu-debu sudah tersentuh,
tapi tidak ada yang berharga di sana, hanya pena bulu tua, buku pelajaran tua yang sudah diperlakukan
kasar, sebotol tinta yang baru saja dipecahkan yang isinya sudah mengental menutupi sebagian isi laci.
“Ada cara yang lebih mudah,” kata Hermione saat Harry mengelap jarinya yang terkena tinta ke celana
jeansnya. Hermione mengangkat tongkatnya dan berkata, “
Accio Liontin!
Tidak terjadi sesuatu. Ron yang sedang mencari di lipatan tirai, terlihat kecewa.
“Jadi sekarang sudah jelas, kan? Benda itu tidak ada di sini?”
“Oh, bisa saja masih di sini, tapi dilindungi oleh kontra-mantera,” kata Hermione. “Mantera yang
mencegah agar sesuatu tidak dapat dipanggil dengan sihir.”
“Seperti yang Voldemort lakukan pada baskom batu di gua,” kata Harry, mengingat saat ia tidak bisa
memanggil Liontin palsu.
“Bagaimana cara kita menemukannya kalau begitu?” tanya Ron.
“Kita cari secara manual,” kata Hermione.
“Ide bagus,” kata Ron sambil memutar matanya, lalu melanjutkan memeriksa tirai.
Mereka menyisir tiap senti ruangan itu selama lebih dari satu jam, tapi akhirnya, dengan terpaksa,
mereka harus menyimpulkan bahwa Liontin itu tidak ada di sana.
Matahari sudah benar-benar terbit sekarang. Cahayanya bahkan tetap menyilaukan walau sudah ditahan
oleh jendela suram yang berdebu.
 “Tetap saja ada kemungkinan liontin itu disembunyikan di rumah ini,” kata Hermione berharap, saat
berjalan menuruni tangga. Saat Harry dan Ron mulai kehilangan semangat, Hermione malah semakin
tertarik.
“Entah apakah dia berhasil menghancurkannya atau tidak, dia pasti ingin menyembunyikannya dari
Voldemort, kan? Ingat semua hal buruk yang terjadi saat kita kemari terakhir kali? Jam yang
menyemburkan baut-bautnya pada tiap orang dan jubah-jubah tua yang mencoba mencekik Ron.
Mungkin saja Regulus yang menyiapkannya untuk melindungi tempat persembunyian liontin itu, walau kita
tidak menyadarinya saat… saat…”
Harry dan Ron menatap Hermione. Satu kaki Hermione melayang di antara anak tangga, tatapannya
seperti orang yang baru terkena Mantra Ingatan, matanya menjadi tidak fokus.



To be continue...................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search my Blog