BAB 36 Part 2
KESALAHAN DALAM RENCANA
(The Flaw In The Plan)
Harry merasa semuanya terjadi dalam gerak lambat: dia melihat McGonagall, Kingsley dan
Slughorn terlempar ke belakang saat Voldemort berlari ke arah pengikutnya yang terakhir dan terbaik,
dengan wajah marah Voldemort mengangkat tongkatnya dan mengarahkannya ke Molly Weasley.
"
Protego!
" teriak Harry, dan Mantra Pelindung melebar di tengah-tengah Aula, Voldemort melihat ke
arah sumber mantra itu saat Harry membuka Jubah Gaibnya.
Suara sorak gembira dan tawa serta teriakan terdengar di setiap sudut: "Harry!" DIA HIDUP!"
terdengar membahana. Kemudian kerumunan itu terdiam saat Voldemort dan Harry saling
berpandangan, dan berjalan saling melingkar secara bersama-sama.
"Aku tak ingin orang lain membantuku," kata Harry keras, dan dalam keheningan ini suaranya terdengar
seperti terompet pemanggil. "Memang harus seperti ini. Harus aku yang melakukan."
Voldemort mendesis.
"Potter tak bermaksud demikian," katanya, mata merahnya melebar. "Bukan begitu caranya khan? Siapa
yang akan kau jadikan pelindungmu sekarang, Potter?"
"Tak seorangpun," kata Harry. "Tidak ada lagi Horcrux. Sekarang hanya aku dan kau. Tidak ada yang
dapat hidup jika yang lainnya selamat, dan salah satu dari kita akan pergi selamanya..."
"Salah satu dari kita?" ejek Voldemort, seluruh tubuhnya menegang dan mata merahnya menatap seperti
seekor ular yang siap menyerang. "Menurutmu itu adalah kau khan, anak yang selamat oleh
keberuntungan, dan karena Dumbledore melindungimu?"
"Menurutmu itu keberuntungan, saat ibuku meninggal untuk menyelamatkanku?" tanya Harry. Mereka
masih berjalan memutar, menjaga jarak satu sama lainnya dan bagi Harry tidak ada orang lain disitu selain
Voldemort. "Keberuntungan, saat aku memutuskan untuk melawanmu di kuburan itu? Keberuntungan
saat aku tidak mempertahankan diriku malam tadi, dan masih tetap selamat, kembali untuk melawan
lagi?"
"Keberuntungan!" teriak Voldemort, tapi dia tetap belum menyerang, dan oarang-orang yang melihat
membeku seperti tak bernafas. "Keberuntungan dan ketidak-sengajaan dan kenyataan bahwa kau
berlindung dibalik orang lain, dan mengijinkan aku untuk membunuh mereka demi dirimu!"
"Kau tak akan membunuh siapapun lagi malam ini," kata Harry, mata hijaunya memandang mata merah
Voldemort. "Kau tak akan dapat membunuh mereka lagi. Tidakkah kau mengerti? Aku telah siap mati
untuk mencegahmu melukai mereka -"
"Tapi kau tidak mati"
" - aku memang bermaksud mati, dan itulah yang telah aku lakukan. Aku telah melakukan apa yang
pernah ibuku lakukan. Mereka terlindung darimu sekarang. Tidakkah kau menyadarinya, tak ada satupun
kutukan yang kau berikan pada mereka, mempan lagi? Kau tak dapat meyiksa mereka. Kau tak dapat
menyentuh mereka. Kau tak belajar dari kesalahanmu khan, Riddle?”
"
Beraninya kau
-"
"Ya, aku berani," kata Harry. "Aku tahu hal-hal yang tak kau ketahui, Tom Riddle. Aku tahu banyak hal
penting yang tak kau ketahui. Mau tahu, sebelum kau membuat kesalahan besar lainnya?"
Voldemort tak berkata apapun, namun tetap berjalan melingkar, dan Harry tahu bahwa ia telah
membuat Voldemort tertegun, berpikir bahwa Harry mungkin memang tahu sebuah rahasia utama...
"Apakah itu cinta lagi?" kata Voldemort, wajah ularnya menyeringai. "Solusi favorit Dumbledore,
cinta
,
yang katanya dapat menaklukan kematian, walau cinta tak dapat menahannya jatuh dari menara itu dan
patah seperti lilin tua?
Cinta
, yang tidak dapat mencegahku membunuh ibumu si Darah Lumpur seperti
kecoak, Potter- dan sepertinya tak ada seorang pun yang cukup mencintaimu kali ini untuk menerima
kutukanku. Jadi apa yang akan mencegahmu dari kematian sekarang jika aku menyerangmu?'
"Hanya satu hal," kata Harry, dan mereka masih berjalan saling melingkari, terpisah oleh rahasia terakhir.
"Jika bukan cinta yang akan menyelamatkanmu sekarang," kata Voldemort, "kau pasti meyakini bahwa
kau mempunyai kekuatan sihir yang tidak aku miliki, atau kau punya senjata yang lebih ampuh dari
punyaku?"
"Aku yakin memiliki keduanya," kata Harry, dan ia melihat sedikit keterkejutan melintas di wajah
Voldemort, walaupun itu hanya sesaat; Voldemort lalu tertawa dengan suara yang lebih mengerikan dari
teriakannya; terkesan dingin dan penuh kegilaan, tawanya menggema di Aula yang sunyi itu.
"Kau pikir kau tahu sihir lebih baik dari aku?' katanya "Lebih baik daripada Aku, Lord Voldemort yang
memiliki sihir bahkan Dumbledore sekalipun tak pernah memimpikannya?"
"Oh, Dumbledore memimpikannya," kata Harry, "tapi dia tahu lebih baik darimu, dia tahu dan paham
untuk tidak melakukan perbuatan yang seperti kau lakukan."
"Maksudmu dia lemah!" teriak Voldemort. "Terlalu lemah untuk menjadi pemberani, terlalu lemah untuk
merebut apa yang telah kumiliki!"
"Kau salah, dia lebih pintar darimu," kata Harry, "penyihir yang lebih hebat darimu, manusia yang yang
lebih baik daripada dirimu."
"Aku membuat Albus Dumbledore mati!"
"Kau berpikir itu yang yang terjadi, " kata Harry, "tapi kau salah besar."
Untuk pertama kalinya, terdengar tarikan nafas bersama-sama para penonton di pinggir tembok.
"Dumbledore mati!" serobot Voldemort seperti kata-kata yang tertera di nisan batu pualam itu, "Aku
melihatnya sendiri, Potter, dan dia tak akan kembali!"
"Ya Dumbledore sudah mati," kata Harry tenang, "tapi bukan kau yang membunuhnya. Dia memilih
sendiri jalan kematiannya, dia telah memilih jalannya berbulan-bulan sebelum dia mati, dia telah
merencanakan semuanya bersama seseorang yang kau anggap sebagai pengikut setiamu."
"Omong kosong apa ini?” kata Voldemort, tapi tetap dia tidak menyerang, mata merahnya melekat pada
Harry.
"Severus Snape bukanlah pengikutmu," kata Harry. "Snape adalah sekutu Dumbledore. Dia menjadi
pengikut Dumbledore sejak kau mulai memburu ibuku. Dan kau tak pernah menyadarinya, karena kau
tak pernah mengerti hal tersebut. Kau tak pernah melihat Snape mengeluarkan Patronusnya khan ,
Riddle?"
Voldemort tidak menjawab. Mereka terus berjalan melingkar seperti serigala yang siap
menerkam satu sama lainnya.
"Patronus Snape adalah rusa betina," kata Harry, "sama seperti punya ibuku, karena dia mencitai ibuku
hampir sepanjang hidupnya, bahkan sejak mereka masih anak-anak. Kau seharusnya sudah
menyadarinya." kata Harry, Voldemort terlihat mendengus dan hidungnya membara, "dia pernah meminta
padamu untuk tidak membunuh ibuku khan?"
"Snape memang pernah menginginkan perempuan itu," serobot Voldemort, "tapi saat perempuan itu
mati, Snape setuju bahwa masih ada wanita lain yang berdarah murni baginya -"
"Tentu saja dia mengatakan itu padamu," kata Harry, "tapi dia telah menjadi mata-mata bagi
Dumbledore sejak saat kau mengancam jiwa ibuku, dan dia telah bekerja melawanmu sejak itu!
Dumbledore sebenarnya memang sudah sekarat saat Snape membunuhnya!"
"Semua itu sudah tidak penting lagi!" teriak Voldemort, yang sebelumnya mengikuti semua perkataan
Harry dengan pernuh perhatian, namun sekarang dia mengeluarkan suara tawanya. "Tak penting apakah
Snape adalah pengikutku atau Dumbledore, ataupun usaha-usaha kecil yang coba mereka lakukan untuk
menghalangiku! Aku telah membunuh mereka semua seperti aku telah membunuh Ibumu, cinta sejati
Snape! Oh, tapi ini semua menjadi masuk akal bagiku, Potter, dan kau pasti tidak memahaminya!
Dumbledore berusaha menghalangi aku untuk memperoleh Tongkat Elder! Dia tadinya berniat
bahwa Snapelah yang akan menjadi pemilik tongkat itu! Tapi aku telah mendahuluimu, bocah tengik -
Aku telah mendapatkan tongkat itu sebelum dirimu, Aku sudah mengerti kebenaran akan tongkat itu
sebelum kau tertangkap. Aku telah membunuh Severus Snape tiga jam lalu, dan Tongkat Elder, Tongkat
Kematian, Tongkat Takdir sekarang menjadi milikku sesungguhnya! Rencana terakhir Dumbledore tidak
berjalan sebagaimana mestinya, Harry Potter!"
"Ya, memang begitu." kata Harry. "Kau benar. Tapi sebelum kau mencoba membunuhku, aku sarankan
padamu untuk berpikir kembali apa yang telah kau lakukan ... Coba pikir, dan cobalah untuk menyesal,
Riddle..."
"Apa maksudmu?"
Dari semua yang dikatakan Harry pada Voldemort tadi, tidak ada yang lebih mengejutkan bagi
Voldemort dari pada hal ini. Harry melihat mata Voldemort membesar, kulit disekitar matanya memucat.
"Ini adalah kesempatan terakhirmu," kata Harry, "hanya itu yang kau punya ... ... Aku dapat melihat apa
yang akan terjadi padamu jika kau tak segera menyesal ... Jadilah seorang manusia... cobalah... Cobalah
untuk merasakan penyesalan..."
"Berani-beraninya kau --?" kata Voldemort lagi.
"Ya, aku berani," kata Harry, "karena rencana terakhir Dumbledore yang gagal tersebut tidak
membuatku kalah. Tapi kesalahan dalam rencana Dumbledore itu malah akan menyerang dirimu, Riddle."
Tangan Voldemort yang memegang Tongkat Elder bergetar, dan Harry memegang tongkat
Draco erat-erat. saat yang ditungu itu, tinggal beberapa detik lagi.
"Tongkat itu masih tidak mau berfungsi sebagaimana mestinya karena kau membunuh orang yang salah.
Severus Snape tidak pernah menjadi pemilik sejati dari Tongkat Elder. Dia tidak pernah mengalahkan
Dumbledore."
"Dumbledore sudah dibunuh olehnya ---"
"Kau tidak mendengar perkataanku ya?
Snape tidak pernah mengalahkan Dumbledore
! Kematian
Dumbledore sudah mereka rencanakan sebelumnya! Dumbledore memang berniat untuk mati, namun
tidak dikalahkan, kekuatan tongkat itu akan mati bersama dirinya, karena tongkat itu tak pernah
dimenangkan dari Dumbledore."
"Tapi, itu sama saja Dumbledore memberikan tongkatnya padaku!" kata Voldemort dengan suara sinis
penuh kepuasan. "Aku mencuri tongkat itu dari kuburnya! Aku mengambil dengan paksa yang artinya
diluar kehendak pemilik terakhirnya! Jadi kekuatan tongkat itu sekarang miliku!"
"Kau masih tak paham juga ya, Riddle? Memiliki tongkat itu saja belum cukup! Memegangnya,
menggunakannya, itu tidak menjadikan tongkat itu menjadi milikmu sepenuhnya. Kau tak mendengarkan
perkataan Ollivander?
Tongkatlah yang memilih penyihir pemiliknya
... Tongkat Elder itu telah
mengenali tuannya yang baru sesaat sebelum Dumbledore mati, seseorang yang malahan tidak pernah
memegang Tongkat Elder itu. Pemilik yang baru itu telah melucuti tongkat itu dari Dumbledore, namun ia
tak menyadari apa yang telah ia lakukan, bahwa tongkat sihir yang paling berbahaya di dunia telah
mengabdikan kekuatannya pada dirinya..."
Dada Voldemort bergerak dengan cepat, dan Harry dapat merasakan kutukan mulai disiapkan oleh
Voldemort yang mengalir dari tongkat yang diarahkan ke wajahnya.
"Pemilik sejati Tongkat Elder itu adalah Draco Malfoy."
Raut keterkejutan tampak di wajah Voldemort namun hanya sesaat, kemudian ekspresi itu hilang.
"Lalu apa masalahnya bagiku?" kata Voldemort pelan. "Bahkan jika kau benar, Potter, ini tidak
membuat perbedaan untuk kau dan aku. Kau sudah tidak memiliki Tongkat Phoenix-mu itu. Kita akan
bertarung dengan hanya mengandalkan kemampuan kita ... dan setelah aku membunuhmu, Aku dapat
mengatasi Draco Malfoy..."
"Tapi kau terlambat," kata Harry. "Kau sudah tidak memilki kesempatan itu lagi. Aku telah mengalahkan
Draco beberapa minggu yang lalu. Aku telah merebut tongkatnya."
Harry memegang erat tongkat hawthorn yang tadinya milik Draco itu, dan dia merasa semua
mata tertuju pada tongkat itu.
"Jadi semua ini berujung disini ya?" kata Harry lirih. "Apakah tongkat di tanganmu itu tahu bahwa tuan
terakhirnya telah dikalahkan? Karena jika memang demikian ... pemilik sejati dari Tongkat Elder itu
adalah aku."
Cahaya merah tiba-tiba menyala di langit-langit yang dimantrai itu saat cahaya matahari
menyeruak dari atas bukit di dekat jendela. Cahaya matahari menerpa kedua wajah itu, sehingga
Voldemort menyala dalam temaram. Harry mendengar suara tinggi yang berteriak, disaat bersamaan dia
juga berteriak sekuat tenaga dan mengacungkan tongkat Draco:
"
Avada Kedavra!
Expelliarmus!
Terdengar suara ledakan seperti tembakan meriam, dan api keemasan muncul diantara mereka,
di tengah-tengah lingkaran yang mereka buat, di tempat tepat dimana kedua mantra itu bertemu. Harry
melihat cahaya hijau Voldemort bertemu dengan mantranya, kemudian Tongkat Elder terlempar tinggi ke
angkasa, berwarna hitam kontras dengan sinar pagi matahari, berputar-putar melewati langit-langit yang
dimantrai itu, seperti kepala Nagini waktu terpotong, melewati udara menuju tuannya, yang akan
memegang kendali penuh atas tongkat itu. Dan Harry, dengan keahliannya sebagai Seeker, menangkap
tongkat itu memakai tangannya yang tidak memegang tongkat, di saat bersamaan Voldemort terjatuh ke
belakang, tangannya telentang, matanya melirik ke atas. Tom Riddle terjatuh di lantai terkahir kali,
tubuhnya tak bergerak, tangan putihnya terlihat tak berisi, wajah ularnya kosong dan tanpa ekspresi.
Voldemort telah mati, terbunuh oleh kutukannya yang menyerang dirinya sendiri, dan Harry berdiri
dengan dua tongkat di tangannya, memandang ke bawah ke arah musuhnya yang telah mati.
Keheningan sesaat terjadi karena keterkejutan, dan kemudian kesunyian di sekitar Harry itu pecah saat
teriakan dan sorak-sorak para penonton bergemuruh di udara. Cahaya pagi matahari menerobos jendela
saat para penonton itu bergerak menuju Harry, dan yang pertama mencapai dirinya adalah Ron dan
Hermione, dan tangan-tangan merekalah yang merangkul dirinya, teriakan mereka seakan-akan membuat
tuli dirinya. Ginny, Neville, dan Luna juga disana, dan semua keluarga Weasley dan Hagrid, Kingsley,
McGonagall, Flitwick, dan Sprout, Harry tak dapat mendengar apapun yang mereka teriakan, dia tak
dapat memebedakan tangan siapa yang menyentuh dirinya, menariknya, mereka mencoba memeluk
setiap bagian tubuhnya, ratusan penonton itu menyatu pada dirinya, semua mencoba menyentuh Anak
Yang Selamat itu, yang membuat semua ini berkahir ---
Matahari sekarang bertengger di atas Hogwarts, Aula Besar dipenuhi kehidupan dan cahaya. Harry
adalah orang yang harus hadir di perayaan yang bercampur duka cita itu. Mereka menginginkan Harry
berada bersama mereka, mereka menganggap Harry pemimpin dan simbol mereka, seorang penyelamat
dan pembimbing, yang tak kenal lelah. Harry harus berbicara kepada mereka yang telah ikut bertempur
dengan berani, menyalami mereka, mendengarkan tangis mereka, menerima ucapan terima kasih, dan
mendengarkan berita-berita yang berasal dari berbagai penjuru bahwa mereka yang tadinya dibawah
pengaruh mantra Imperius telah sadar kembali, kemudian Death Eater yang tersisa melarikan diri atau
ditangkap, kemudian para tahanan Azkaban yang tak bersalah telah dibebaskan, dan Kingsley
Shacklebolt dinobatkan sebagai Menteri Sihir untuk sementara.
Mereka memindahkan mayat Voldemort dan meletakkannya di sebuah ruangan di luar Aula, dipisahkan
dari jenazah Fred, Tonks, Lupin, Colin Creevey, dan lima puluh jenazah pejuang lainnya. McGonagall
telah mengubah posisi meja Asrama, sehingga mereka duduk bukan berdasarkan asrama meraka
masing-masing, semua duduk bersama-sama, guru dan murid, hantu dan orang tua, centaur dan peri
rumah, dan Firenze berbaring di pojokan menyembuhkan diri, Grawp mengintip melalui sebuah jendela
yang pecah, dan orang-orang melempar makanan ke arah mulutnya yang tertawa. Setelah beberapa saat,
Harry yang kelelahan, duduk di samping Luna.
"Kalau aku jadi kau, aku akan mencari ketenangan," kata Luna.
“Tentu aku juga ingin seperti itu," balas Harry.
"Aku akan mengalihkan perhatian mereka," kata Luna, "Pakai Jubah Gaibmu."
Dan sebelum Harry dapat berkata apa-apa lagi, Luna berteriak,
"Oooh, lihat, seekor Blibbering Humdinger!" katanya sambil menunjuk ke arah jendela. Semua yang
mendengar melihat ke arah jendela, dan Harry langsung memakai Jubah gaib, dan berdiri.
Sekarang dia dapat berjalan melewati Aula tanpa diketahui. Dia melihat Ginny dua meja didepannya;
Ginny sedang duduk dengan kepala menyandar pada bahu ibunya: Akan ada waktu untuk berbicara
dengannya nanti, berjam-jam dan berhari-haru dan mungkin bertahun-tahun untuk berbicara. Harry
melihat Neville, pedang Gryffindor tergeletak disamping piringnya saat ia makan, ia dikelilingi oleh para
pengagumnya. Harry berjalan sepanjang lorong diantara meja, dan ia melihat tiga keluarga Malfoy, saling
berpelukan, merasa tidak yakin apakah mereka boleh berada di sana atau tidak, namun tak ada yang
memperhatikannya. Di setiap tempat Harry melihat keluarga saling bertemu kembali, dan akhirnya dia
melihat dua orang yang sangat ingin ditemuinya.
"Ini aku," gumam Harry sambil memnunduk diantara mereka, "Bisa ikut aku sebentar?"
Mereka kemudian berdiri dan bersama-sama meninggalkan Aula Besar. Tangga pualam terlihat
terpotong dalam bagian yang besar, dan di sana sini terilhat reruntuhan dan bekas darah saat mereka
mulai naik ke atas.
Di kejauhan mereka bisa mendengar Peeves bernyanyi di sepanjang koridor melantunkan lagu
buatannya sendiri:
Kita berhasil, kita melenyapkan mereka, Kita Pasukan Potter
Dan Voldy pergi selamanya, jadi mari kita bergembiara
"Lagu itu menambah suasana dalam tragedi ini khan?" kata Ron sambil membuka pintu dan membiarkan
Harry dan Hermione masuk.
Walaupun kegembiraan telah datang, namun Harry dipenuhi rasa lelah dan rasa perih akan
kehilangan Fred, Lupin, dan Tonks yang seolah-olah menyayat dirinya dalam setiap langkah. Selebihnya
dia merasakan kelegaan yang amat sangat dan rasa rindu akan tidur. Namun pertama-tama dia merasa
perlu menjelaskan semuanya kepada Ron dan Hermione, yang selama ini telah bersamanya, dan berhak
tahu segalanya. Dengan segenap perasaan ia menceritakan apa yang ia lihat di Pensieve dan apa yang
terjadi di hutan, dan bahkan mereka belum sempat untuk terpesona ketika akhirnya mereka sampai
ditempat tujuan, walaupun mereka tidak menyebutkan tujuannya.
Sejak Harry melihatnya terakhir kali, patung gargoyle yang menjaga pintu masuk ruang kepala
sekolah terjatuh agak ke samping, patung itu berdiri miring, seperti orang mabuk dan Harry
bertanya-tanya apakah patung itu masih dapat membedakan password.
"Bisa kami ke atas?" Harry bertanya pada gargoyle itu.
"Silahkan," kata patung itu.
Mereka memanjat melewati patung itu menuju tangga spiral yang bergerak ke atas seperti
eskalator. Harry mendorong pintu masuk di bagian atas.
Harry melirik sebentar ke arah Pensieve batu di atas meja dimana ia meletakannya terakhir kali,
kemudian tiba-tiba suara ribut yang memekakkan telinga terdengar, Harry mengira Death Eater dan
Voldemort kembali menyerang---
Namun ternyata itu adalah suara tepuk tangan applause. Di semua dinding, gambar para kepala
sekolah Hogwarts memberikan sambutan berdiri; mereka melambai-lambaikan topi mereka dan
beberapa bahkan rambut palsunya, mereka saling menjabat tangan antar lukisan, mereka menari-nari di
atas kursi dalam lukisan; Dilys Derwent menangis terisak-isak; dan Phineas Niggelus berteriak dalam
saura tinggi : "Dan perlu dicatat bahwa Asrama Slytherin ikut ambil bagian! Jangan lupakan kontribusi
kami!"
Tapi Harry hanya memandang ke arah orang yang berada di lukisan paling besar di belakang
kursi kepala sekolah. Air mata menetas dari balik kaca mata setengah lingkarannya menuju janggut
peraknya, ekspresi bangga dan penghormatan terpancar dari wajahnya, membuat Harry merasa tenang
seperti mendengar nyanyian burung phoenix.
Kemudian Harry mengangkat tangannya, dan semua lukisan terdiam dengan penuh hormat sambil
mengelap wajah dan mata mereka menunggu Harry untuk berbicara. Harry berbicara ke arah
Dumbledore, namun dia berusaha memilih kata-kata yang tepat. Meskipun terasa lelah dan matanya
mulai berair, Harry merasa perlu berusaha keras, mencari serpihan saran-saran terakhir.
"Benda yang tersembunyi di dalam Snitch itu," katanya memulai, "Aku menjatuhkannya di hutan. Aku tak
tahu dimana tepatnya, tapi aku tak akan mencarinya lagi. Kau setuju?"
"Anakku, tentu saja aku setuju," kata Dumbledore. Lukisan lainnya terlihat bingung dan penasaran.
"Sebuah keputusan yang berani dan bijaksana, tapi tentu saja aku sudah memperkirakannya. Apakah
ada orang lain yang tahu dimana benda itu jatuh?"
"Tidak," kata Harry, dan Dumbledore menganggguk puas.
"Tapi aku akan tetap menyimpan hadiah Ignotus," kata Harry dan Dumbledore berkata.
"Tentu saja, Harry, benda itu milikmu selamanya, sampai kau mewariskannya!"
"Dan ini,"
Harry memegang Tongkat Elder, Ron dan Hermione melihat tongkat itu dengan penuh
kekaguman, namun bahkan dalam keadaan lelah Harry terlihat tidak senang melihat tongkat itu.
"Aku tidak menginginkannya." kata Harry.
"Apa?" teriak Ron. " Kau gila ya?"
"Aku tahu benda ini sangat ampuh," kata Harry pelan. "Tapi aku lebih bahagia dengan tongkatku yang
dulu. Jadi..."
Harry merogoh kantong kulit yang menggantung di lehernya, dan menarik dua bagian tongkat
hollynya yang masih terhubung oleh sehelei bulu phoenix. Hermione pernah berkata bahwa tongkat itu
tidak dapat diperbaiki lagi, karena kerusakannya cukup parah. Harry merasa jika Tongkat Elder tidak
mampu memperbaikinya, maka tidak ada lagi yang mampu memperbaikinya.
Harry meletakan tongkatnya yang patah di atas meja kepala sekolah, kemudian menyentuhnya
dengan ujung Tongkat Elder, dan berkata, "
Reparo
."
Saat tongkat hollynya menyatu kembali, percikan merah menyembur dari ujungnya. Harry tahu
bahwa ia berhasil memperbaikinya. Dia mengangkat tongkat Holly Phoenixnya dan merasakan
kehangatan yang tiba-tiba di jari-jarinya, seolah-olah tangan dan tongkatnya sedang merayakan
pertemuan mereka kembali.
"Aku akan menyimpan Tongkat Elder," Harry berkata pada Dumbledore yang memandangnya dengan
penuh sayang dan kekaguman, "kembali ke tempat asalnya. Tongkat itu akan kusimpan disana. Jika aku
meninggal secara alami seperti Ignotus, maka kekuatan tongkat itu akan hilang khan? Karena pemilik
sebelumnya tidak pernah dikalahkan. Itu akan menjadi akhir dari kekuatannya."
Dumbledore menggangguk. Mereka tersenyum satu sama lainnya.
"Kau yakin?' kata Ron. Terdengar sedikit penyesalan dalam suaranya saat ia memandang ke arah
Tongkat Elder itu.
"Kurasa Harry benar." kata Hermione lirih.
"Tongkat itu lebih banyak mendatangkan masalah daripada kegunaannya," kata Harry. "Dan terus
terang," katanya sambil membayangkan empat tempat tidur yang menunggunya di Asrama Gryffindor dan
memikirkan apakah Kreacher mungkin membawakannya sebuah sandwich, "Aku sudah cukup
mendapatkan masalah seumur hidupku."
To be continue.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar