Selasa, 04 Oktober 2011

Harry Potter And The Deathly Hallows Bab 12 Part 1

BAB 12 Part 1
SIHIR ADALAH KEKUATAN
(Magic is Might)


Di bulan Agustus, petak rumput yang tidak terawat di depan Grimmauld Place mulai layu di bawah sinar
 matahari hingga menjadi rapuh dan kecokelatan. Penghuni rumah nomor dua belas tidak pernah dilihat
oleh siapapun di rumah-rumah sekitarnya, tidak juga nomor dua belas itu sendiri. Muggle yang tinggal di
Grimmauld Place sendiri sudah lama terbiasa dengan kesalahan penomoran memalukan yang
menyebabkan rumah nomor sebelas bersebelahan dengan rumah nomor tiga belas.
Deretan rumah itu telah menarik beberapa pengunjung karena keanehan yang ada. Bahkan selama
beberapa hari para pengunjung itu datang ke Grimmauld Place tanpa alasan lain, atau kelihatannya begitu,
selain bersandar ke susuran tangga yang berhadapan dengan rumah nomor sebelas dan tiga belas,
mengamati dinding penghubung antara kedua rumah itu. Para pengintai itu berganti tiap dua hari,
meskipun mereka semua berbagi ketidaksenangan pada pakaian normal. Orang-orang London yang
melewati mereka mengira mereka hanya suka berpakaian aneh dan hanya melihat sekilas, walau pun ada
juga yang menatap mereka lekat-lekat, penasaran mengapa ada orang yang mau memakai jubah di suhu
sepanas ini.
Para pengamat itu terlihat tidak begitu puas dengan penjagaan mereka. Awalnya mereka memulai
dengan penuh semangat, seakan-akan mereka telah melihat sesuatu yang menarik pada akhirnya, hanya
untuk mundur dengan wajah kecewa. Pada satu September, datang lebih banyak orang lagi yang
memata-matai deretan rumah itu. Setengah lusin pria dengan jubah panjang berdiri dalam diam dan
waspada, memandangi rumah nomor sebelas dan tiga belas, tapi sepertinya yang mereka tunggu tidak
juga muncul. Ketika malam tiba membawa hujan deras dan hawa dingin yang tidak terduga untuk
pertama kalinya dalam berminggu-minggu, muncullah momen yang tak dapat dijelaskan ketika mereka
nampaknya telah melihat sesuatu yang menarik. Seorang pria dengan wajah kebingungan menunjuk dan
temannya, seorang pria gemuk dan pucat, mulai maju, namun beberapa saat kemudian mereka kembali
ke posisi semula, diam, terlihat frustasi dan kecewa.
Sementara itu, di dalam rumah nomor dua belas, Harry baru saja masuk ke aula. Ia hampir saja
kehilangan keseimbangan saat ber-Apparate di anak tangga teratas, tepat di depan pintu, dan berpikir
bahwa salah seorang
Death Eater
mungkin melihat sekilas saat sikutnya terlihat. Harry menutup pintu
dengan hati-hati, lalu membuka Jubah Gaib-nya, dan bergegas melintasi lorong yang suram yang menuju
ke ruang bawah tanah, sebuah gulungan
Daily Prophet
curian ada di genggaman tangannya.
Bisikan rendah “Severus Snape” yang biasa menyambutnya, sapuan angin dingin menerpanya, dan untuk
sesaat lidahnya menggulung. “Aku tidak membunuhmu,” kata Harry begitu lidahnya tidak lagi terikat, lalu
menahan nafas sejenak saat sosok debu itu meletup. Ia menunggu hingga ia setengah jalan menuruni
tangga yang menuju dapur, di luar jangkauan telinga Mrs. Black, menepis kabut debu yang tersisa,
sebelum berkata,
“Aku dapat berita, dan kalian tidak akan suka.”
Dapur hampir tidak dapat dikenali lagi. Setiap senti kini berkilau; panci dan wajan tembaga berkilau
kemerahan; meja kayu tampak mengkilap; gelas piala dan piring yang sudah disiapkan untuk makan
malam memantulkan cahaya dari perapian yang di dalamnya terdapat kuali yang mendidih.
Bagaimanapun, tak ada sesuatu di ruangan itu yang berbeda lebih dramatis daripada seorang peri rumah
yang kini datang terburu-buru pada Harry, memakai handuk putih bersih, rambut telinganya pun sebersih
dan sehalus kapas, liontin Regulus menggantung di dadanya yang kurus.
“Tolong lepaskan sepatu Anda, Master Harry, dan cucilah tangan sebelum makan malam,” kata
Kreacher sambil menerima Jubah Gaib Harry dan menggantungnya di kait yang ada di dinding, di sebelah
sejumlah jubah tua yang baru saja dicuci.
“Apa yang terjadi?” tanya Ron cemas. Ia dan Hermione sedang membaca sekumpulan peta dan catatan
 tulisan tangan yang terkumpul di ujung meja dapur yang panjang, tapi sekarang mereka menatap Harry
selagi ia melangkah ke arah mereka dan menjatuhkan koran di atas tumpukan perkamen.
Sebuah foto dengan wajah pria berhidung bengkok, berambut hitam, menatap pada mereka semua, di
bawah tajuk yang berbunyi:
SEVERUS SNAPE DIANGKAT SEBAGAI KEPALA SEKOLAH HOGWARTS.
“Tidak!” jerit Ron dan Hermione.
Hermione lebih cepat, ia merenggut koran itu dan mulai membaca cerita yang mengiringi dengan nyaring.
“Severus Snape, yang telah lama bekerja sebagai guru Ramuan di Sekolah Sihir Hogwarts, hari ini
ditunjuk sebagai Kepala Sekolah dan menjabat sebagai staf tertinggi di sekolah itu. Dengan adanya
pengunduran diri guru Telaah Muggle sebelumnya, Alecto Carrow akan mengisi posisi tersebut. Dan
saudaranya, Amycus, mengisi posisi guru Pertahanan Ilmu Hitam.“
“’Aku menerima kesempatan untuk menegakkan tradisi dan adat para penyihir – ‘ Seperti melakukan
pembunuhan dan memotong telinga orang, kukira! Snape, kepala sekolah! Snape di ruang kerja
Dumbledore – demi celana Merlin!” pekik Hermione, membuat Harry dan Ron melompat. Ia berdiri dan
bergegas keluar ruangan, sambil berteriak, “Aku akan kembali sebentar lagi!”
“’Demi celana Merlin?’” ulang Ron yang terpesona. “Dia pasti kecewa.” Ia menarik koran ke
hadapannya dan membaca dengan teliti artikel tentang Snape.
“Guru-guru lain tidak akan tinggal diam, McGonagall, Flitwick, dan Sprout tahu kejadian sebenarnya,
mereka tahu bagaimana Dumbledore meninggal. Mereka tidak akan menerima Snape menjadi sebagai
sekolah. Dan siapa para Carrows ini?”
Death Eater
,” jawab Harry. “Ada foto mereka di dalam. Mereka juga ada di puncak menara saat
Snape membunuh Dumbledore, jadi seperti reuni. Dan,” lanjut Harry dengan sengit sambil menarik
sebuah kursi, “sepertinya guru-guru lain tak punya pilihan lain selain tinggal dan bertahan. Kalau
Kementrian dan Voldemort mendukung Snape, pilihan mereka hanya tinggal dan mengajar, atau
menghabiskan beberapa tahun di Azkaban – dan itu pun kalau mereka beruntung. Aku rasa mereka akan
tetap tinggal dan berusaha untuk melindungi para siswa.”
Kreacher datang terburu-buru ke meja dengan sebuah mangkuk besar di tangannya, lalu menyendokkan
sup ke dalam mangkuk saji sambil bersiul.
“Terima kasih, Kreacher,” kata Harry sambil membalik koran agar tidak perlu melihat wajah Snape.
“Yah, setidaknya kita tahu dengan pasti di mana Snape berada sekarang.”
Harry mulai menyendokkan sup ke dalam mulutnya. Kualitas masakan Kreacher meningkat dramatis
sejak ia diberi liontin Regulus. Bahkan bawang gorengnya terasa enak.
“Masih banyak
Death Eater
yang mengawasi rumah ini,” kata Harry sambil melanjutkan makannya,
“lebih banyak dari biasanya. Sepertinya mereka mengharapkan kita berbaris dengan membawa koper
sekolah kita dan menuju Hogwarts Express.”
Ron melirik jamnya.
 “Aku telah memikirkannya seharian. Sudah enam jam lalu kereta itu berangkat. Aneh rasanya, kita tidak
di kereta saat ini.”
Harry seakan dapat melihat mesin uap berwarna merah bergerak di antara bukit dan pertanian, bergerak
seperti ulat berwarna merah. Ia yakin saat ini Ginny, Neville, dan Luna duduk dalam satu kompartemen,
mungkin sedang menduga-duga di mana ia, Ron, dan Hermione berada, atau sedang berdebat apa cara
terbaik untuk meruntuhkan rezim Snape.
“Mereka hampir melihatku kembali tadi,” kata Harry. “Aku mendarat begitu buruk di anak tangga
teratas, dan Jubahku tersingkap.”
“Aku selalu melakukannya. Oh, itu dia,” tambah Ron membenahi posisi duduknya agar bisa melihat
Hermione yang memasuki dapur. “Dan demi celana kolor Merlin, apa itu?”
“Kebetulan aku ingat ini,” kata Hermione terengah-engah.
Ia membawa sebuah lukisan berbingkai besar, yang kini diletakkannya di lantai sebelum mengambil tas
manik kecilnya dari laci dapur. Hermione membuka tasnya dan memaksa lukisan itu masuk, dan terlepas
dari fakta bahwa benda itu jelas terlalu besar untuk bisa masuk ke dalam tas sekecil itu, dalam beberapa
detik ia menghilang, seakan begitu mudahnya, ke kedalaman tas yang tak terduga.
“Phineas Nigellus,” Hermione menerangkan setelah ia meletakkan tas di atas meja diiring suara
dentaman yang cukup keras.
“Maaf?” kata Ron, tapi Harry mengerti. Lukisan diri Phineas Nigellus Black dapat berpindah antara
potretnya di Grimmauld Place dan satunya yang tergantung di ruang kepala sekolah di Hogwarts: ruangan
bundar di puncak menara di mana Snape tanpa diragukan lagi sedang berada sekarang, dalam
kemenangannya atas koleksi Dumbledore, barang-barang perak magis, Pensieve, Topi Seleksi, dan,
kecuali benda itu sudah dipindahkan, pedang Godric Gryffindor.
“Snape bisa saja mengirim Phineas Nigellus untuk melihat keadaan rumah ini untuknya,” Hermione
menjelaskan pada Ron setelah ia duduk kembali. “Tapi coba saja, yang bisa Phineas Nigellus lihat
sekarang hanyalah isi tasku.”
“Pemikiran bagus!” kata Ron, tampak terkesan.
“Terima kasih,” Hermione tersenyum dan mulai memakan supnya. “Jadi, Harry, apa lagi yang terjadi hari
ini?”
“Tidak ada,” kata Harry. “Tujuh jam aku berdiri mengintai pintu masuk Kementrian, tidak ada
tanda-tanda dari wanita itu. Tapi tadi aku melihat ayahmu, Ron. Dia kelihatan baik-baik saja.”
Ron mengangguk, memperlihatkan apresiasinya atas berita itu. Mereka setuju bahwa terlalu berbahaya
untuk berkomunikasi dengan Mr Weasley selama ia keluar masuk Kementrian, karena ia selalu dikelilingi
oleh pekerja-pekerja Kementrian lain. Tapi tetap saja melegakan untuk melihatnya, walau ia selalu
tampak tegang dan gelisah.
“Dad bilang kebanyakan pegawai Kementrian menggunakan Jaringan Floo untuk datang bekerja,” kata
Ron. “Itu sebabnya kita tidak pernah melihat Umbridge, dia tidak pernah lewat pintu masuk, dia pikir
dirinya terlalu penting.”
 “Dan bagaimana dengan penyihir tua aneh dan penyihir kecil yang mengenakan jubah biru laut itu?” tanya
Hermione.
“Oh ya, orang dari Pemeliharaan Sihir,” jawab Ron.
“Bagaimana kau tahu kalau ia bekerja untuk Pemeliharaan Sihir?” tanya Hermione, sendoknya tetap
terangkat.
“Dad bilang semua orang dari Pemeliharaan Sihir memakai jubah biru laut.”
“Kau tidak pernah bilang pada kami!”
Hermione menjatuhkan sendoknya, lalu menarik berkas catatan dan peta yang sedang ia dan Ron
periksa saat Harry baru memasuki dapur.
“Tidak ada satu pun catatan tentang jubah biru laut di sini, tidak ada!” kata Hermione sambil
membolak-balik halaman demi halaman dengan tergesa-gesa.
“Well, memangnya penting?”
“Ron,
semuanya
penting! Kalau kita ingin masuk ke Kementrian dan tidak ingin menyerahkan diri di saat
mereka selalu berjaga-jaga kalau ada penyusup, setiap detil kecil menjadi penting! Sudah kukatakan
berkali-kali, maksudku, tidak ada gunanya kita mengintai terus-terusan kalau – “
Blimey
, Hermione, aku melupakan satu hal kecil – “
“Kau menyadarinya, kan, bahwa tidak ada tempat yang lebih berbahaya di seluruh dunia untuk kita saat
ini daripada Kementrian... “
“Kita bergerak besok,” kata Harry.
Hermione terdiam, rahangnya membuka dengan kaku. Ron tersedak supnya.
“Besok?” ulang Hermione. “Kau tidak serius, kan, Harry?”
“Aku serius,” kata Harry. “Tidak ada bedanya persiapan kita saat ini atau setelah kita mengintai
Kementrian sampai bulan depan. Semakin lama kita menunda, bisa jadi liontin itu semakin jauh. Ada
kemungkinan Umbridge membuangnya. Karena ia tidak bisa membuka liontin itu.”
“Kecuali,” kata Ron, “dia telah menemukan satu cara untuk membukanya dan dia sedang di bawah
pengaruh liontin itu.”
“Tidak ada bedanya, dari awal dia memang sudah jahat,” ujar Harry seraya mengangkat bahu.
Hermione menggigiti bibirnya, sibuk berpikir.
“Kita tahu semuanya penting,” lanjut Harry pada Hermione. “Kita tahu mereka tidak lagi ber-Apparate
keluar masuk Kementrian. Sekarang kita tahu hanya pegawai senior yang bisa menyambungkan Jaringan
Floo ke rumah mereka, karena Ron mendengar dua orang Unspeakable itu mengeluh tentangnya. Dan
kurang lebih kita tahu di mana kantor Umbridge, karena apa yang kalian pernah dengar seorang pria
berjanggut berkata pada temannya
 
Aku harus ke tingkat satu, Dolores ingin menemuiku
,“ kata Hermione menirukan tiba-tiba.
“Tepat,” kata Harry. “Dan kita tahu kita masuk menggunakan koin aneh, tanda, atau apalah namanya itu,
karena aku melihat penyihir itu meminjam satu dari temannya –“
“Tapi kita tidak punya satupun!”
“Kalau rencana kita berjalan lancar, kita akan punya,” lanjut Harry dengan tenang.
“Entahlah, Harry, entah… Mungkin saja terjadi kesalahan, kita terlalu bergantung pada
keberuntungan…”
“Sama saja walau kita menghabiskan tiga bulan lagi untuk bersiap-siap,” kata Harry. “Ini saatnya untuk
bergerak.”
Dari wajah Ron dan Hermione, Harry tahu kalau mereka ketakutan. Ia sendiri tidak percaya diri, namun
ia yakin bahwa memang sudah waktunya untuk menjalankan rencana mereka.
Mereka sudah menghabiskan empat minggu bergantian bersembunyi di bawah Jubah Gaib dan
memata-matai pintu masuk utama Kementrian yang sudah diketahui Ron, terima kasih pada Mr Weasley,
sejak kecil. Mereka mengekor pegawai Kementrian, menguping obrolan mereka, dan mempelajari di
mana mereka muncul di satu tempat di satu waktu yang sama. Terkadang mereka bisa mengambil Daily
Prophet dari tas salah satu pegawai. Perlahan, mereka bisa menggambarkan sebuah peta dan catatan
penting yang sekarang tergeletak di depan Hermione.
“Baiklah,” kata Ron perlahan, “kalau kita memang pergi besok… aku rasa lebih baik hanya aku dan
Harry yang pergi.”
“Oh, jangan mulai lagi!” desah Hermione. “Kukira kita sudah selesai membahasnya.”
“Kita tidak hanya akan melewati pintu masuk di bawah Jubah, ini berbeda, Hermione.” Ron
menunjuk-nunjuk ke atas Daily Prophet sepuluh hari lalu. “Kau ada dalam daftar kelahiran Muggle yang
tidak hadir untuk wawancara!”
“Dan kau seharusnya sedang sekarat karena spattergroit di the Burrow! Kalau ada orang yang
seharusnya tidak pergi, orang itu adalah Harry. Dia punya harga sepuluh ribu Galleon di kepalanya –”
“Baik, aku akan tinggal di sini,” kata Harry. “Jangan lupa beritahu aku kalau kalian sudah berhasil
mengalahkan Voldemort, oke?”
Saat Ron dan Hermione tertawa, bekas luka di dahi Harry terasa sakit. Tangannya spontan
memegangnya, tapi Harry melihat Hermione memerhatikan dan Harry melanjutkan gerakan tangannya
berpura-pura menyapu rambut yang menutupi matanya.
“Kalau kita bertiga pergi, kita harus ber-Disapparate sendiri-sendiri,” kata Ron. “Sudah tidak cukup lagi
bila kita semua ingin bersembunyi di bawah Jubah Gaib.”
Bekas luka Harry semakin terasa sakit. Ia berdiri. Kreacher langsung mendatanginya.
“Master belum menghabiskan supnya, apakah Master lebih suka sup kental yang enak, atau Master
lebih suka tart karamel kesukaan Master?”
 “Terima kasih, Kreacher, tapi aku akan kembali sebentar lagi – er – kamar mandi.”
Tahu bahwa Hermione menatap curiga padanya, Harry bergegas menaiki tangga menuju aula dan
kemudian ke lantai satu, di mana ia masuk ke kamar mandi dan mengunci pintu. Sambil menahan rasa
sakitnya, Harry bersandar pada wastafel hitam dengan kran berbentuk ular yang membuka mulutnya, lalu
ia memejamkan mata.
Ia sedang berjalan di jalanan yang temaram. Bangunan di kedua sisi jalan memiliki atap kayu yang tinggi,
dan terlihat seperti rumah kue jahe. Ia menuju salah satunya, lalu melihat tangannya yang berjari panjang
dan pucat mengetuk pintu. Ia merasakan semangat yang semakin menggebu. Pintu terbuka: seorang
wanita yang sedang tertawa muncul. Raut wajahnya berubah begitu ia melihat wajah Harry: kesenangan
hilang, ketakutan menggantikannya...
“Gregorovitch?” ujar sebuah suara yang tinggi dan dingin.
Wanita itu menggelengkan kepalanya, lalu ia berusaha untuk menutup pintu. Tangan putih itu menahan
pintu, mencegah wanita itu untuk menutupnya.
Er wohnt hier nicht mehr
!” teriak wanita itu sambil menggelengkan kepalanya. “Dia tidak tinggal di
sini! Dia tidak tinggal di sini! Aku tak tahu dia!”
Menyerah untuk berusaha menutup pintu, wanita itu mundur ke ruang tengah yang gelap. Harry
mengikutinya, mendekati wanita itu, dan tangannya yang berjari panjang menarik sebuah tongkat.
“Di mana dia?”
Das weiß ich nicht
! Dia pindah! Aku tak tahu, aku tak tahu!”
Tangan putih itu mengacungkan tongkatnya. Wanita itu berteriak. Dua anak kecil berlari masuk ke ruang
tengah. Wanita itu berusaha untuk melindungi mereka dengan tangannya. Lalu terlihat kilatan cahaya
berwarna hijau.
“Harry! HARRY!”
Harry membuka matanya; ia telah terbaring di lantai. Hermione sedang menggedor-gedor pintu.
“Harry, buka!”
Ia pasti berteriak-teriak tadi, Harry tahu itu. Ia berdiri dan membuka pintu. Hermione hampir saja
terjatuh, dan begitu ia mendapat kembali keseimbangannya, Hermione menatap curiga. Ron berada tepat
di belakangnya, tampak waspada dengan mengacungkan tongkatnya ke sudut-sudut kamar mandi yang
dingin.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Hermione tegas.
“Kau pikir apa yang aku lakukan?” tanya Harry sedikit menantang.
“Kau berteriak-teriak kesetanan!” kata Ron.
“Oh, ya... aku pasti tertidur atau... ”
 “Harry, tolong jangan anggap kami bodoh,” kata Hermione sambil menarik nafas dalam-dalam. “Kami
tahu kalau bekas lukamu terasa sakit di bawah tadi, dan kau sangat pucat.”
Harry duduk di pinggiran bak mandi.
“Baiklah. Aku baru saja melihat Voldemort membunuh seorang wanita. Mungkin sekarang ia sedang
membunuh seluruh keluarga wanita itu. Padahal ia tidak harus melakukannya. Seperti Cedric, mereka
hanya ada
di sana
...”
“Harry, kau seharusnya tidak membiarkan hal ini terjadi lagi!” raung Hermione, suaranya bergema di
dalam kamar mandi. “Dumbledore ingin kau menggunakan Occlumency! Dia memberitahu bahwa
koneksi itu berbahaya – Voldemort dapat
menyalahgunakannya
, Harry! Apa bagusnya melihat dia
membunuh dan menyiksa orang? Bagaimana hal itu bisa membantu kita?”
“Karena itu artinya aku tahu apa yang sedang dia lakukan,” kata Harry.
“Jadi kau tidak akan berusaha menutup pikiranmu?”
“Hermione, aku tidak bisa. Kau tahu aku payah dengan Occlumency, aku tidak pernah bisa
menguasainya.”
“Kau tidak pernah benar-benar berusaha!” balas Hermione panas. “Aku tidak mengerti, Harry – apa
kau
suka
dengan koneksi atau hubungan atau apa namanya – terserah kaulah...”
Hermione tampak bimbang saat Harry kembali berdiri.
“Suka?” kata Harry dingin. “Apa
kau
akan suka?”
“Aku – tidak – maafkan aku, Harry, aku tidak bermaksud…”
“Aku membencinya, aku benci kenyataan bahwa dia bisa masuk ke dalam pikiranku, dan aku harus
melihat betapa berbahayanya dia. Tapi aku akan menggunakannya.”
“Dumbledore…”
“Lupakan Dumbledore. Ini pilihanku, bukan orang lain. Aku ingin tahu mengapa ia mengejar
Gregorovitch.”
“Siapa?”
“Dia seorang pembuat tongkat dari luar negeri,” kata Harry. “Dia yang membuat tongkat Krum dan
Krum menganggap orang itu brilian.”
“Tapi kau bilang,” kata Ron, “Voldemort sudah menahan Ollivander entah di mana. Kalau dia sudah
mendapatkan seorang pembuat tongkat, mengapa dia harus mencari satu lagi?”
“Mungkin dia sependapat dengan Krum, mungkin dia pikir Gregorovitch lebih baik… atau Gregorovitch
dapat menjelaskan apa yang tongkatku lakukan saat dia mengejarku, karena Ollivander tidak tahu.”
Harry menatap ke arah cermin retak yang berdebu. Ia dapat melihat Ron dan Hermione saling bertukar
 pandang meragukannya.


To be continue......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search my Blog