BAB 19 Part 2
RUSA BETINA PERAK
(The Silver Doe)
Ia mundur, pedang terseret di sisinya, sambil menggelengkan kepalanya.
”Kau bisa,” sahut Harry, ”Kau bisa. Kau yang mendapat pedang itu, aku tahu kau yang seharusnya
menggunakannya. Kumohon, gunakan pedang itu dan singkirkan benda ini, Ron.”
Mendengar namanya disebut, Ron seperti mendapat dorongan. Ia menelan ludah, menarik napas
panjang lewat hidungnya yang juga panjang, ia mendekati batu
”Beritahu aku saatnya,” sahut Ron parau.
”Pada hitungan ketiga,” sahut Harry, memandang kembali liontin itu, menyipitkan matanya,
berkonsentrasi pada huruf S, membayangkan seekor ular, sementara isi liontin itu bergemeletuk seperti
kecoa terperangkap. Akan sangat mudah untuk mengasihaninya, kalau saja leher Harry tak hangus
karena cekikannya tadi.
”Satu ... dua ... tiga ... buka.”
Kata terakhir keluar sebagai desisan dan geraman, jendela keemasan liontin keemasan itu terbuka lebar
dengan suara klik.
Di kedua jendela kaca masing-masing ada mata yang hidup, gelap dan tampan seperti mata Tom Riddle
sebelum mata itu berubah merah dan pupilnya terbelah.
”Tebas Sekarang,” sahut Harry, memegangi liontin dengan kuat di atas batu.
Ron mengangkat pedang dengan tangan gemetar, ujungnya yang tajam memantulkan bayangan mata
tersebut, dan Harry mencengkeram liontin itu kuat-kuat, menyiapkan diri dan sudah membayangkan
darah tertumpah dari jendela kaca yang kosong.
Tapi kemudian sebuah suara mendesis keluar dari Horcrux itu.
”Aku sudah melihat isi hatimu, dan itu milikku.”
”Jangan dengarkan!” kata Harry, keras, ”Sabet dia!”
“Aku telah melihat mimpi-mimpimu, Ronald Weasley, dan aku sudah melihat ketakutanmu. Semua yang
kau inginkan bisa terkabul, tapi rasa takutmu juga bisa terkabul…”
”Sabet!” teriak Harry, suaranya bergaung di pepohonan sekeliling, mata pedang bergetar, dan Ron
memandang pada mata Riddle.
“Paling tidak dicintai, oleh ibu yang menginginkan anak perempuan … paling tidak dicintai oleh gadis
yang lebih memilih temanmu … selalu nomer dua, selalu berada dibawah bayang-bayang …”
“Ron, sabet sekarang!” Harry berteriak; ia dapat merasakan liontin itu bergetar dalam genggamannya,
dan ia takut pada apa yang akan muncul dari dalamnya. Ron masih mengangkat pedangnya tinggi-tinggi,
dan saat ia melakukan itu, mata Riddle berkilat merah.
Dari dua sisi liontin yang terbuka, dari kedua mata, muncul dua gelembung aneh, kepala Harry dan
kepala Hermione, wajah mereka tak keruan.
Ron berteriak terkejut dan mundur saat sosok-sosok itu muncul dari liontin, mulanya dada, pinggang,
kaki, sampai sosok-sosok itu berdiri di atas liontin, berdampingan seperti pohon dengan akar yang sama,
bergoyang melampaui Ron, dan Harry yang asli sudah melepas jemarinya dari liontin, sekarang memutih
karena panasnya.
”Ron!” Harry berteriak, tapi Riddle-Harry sekarang berbicara dengan suara Voldemort, dan Ron
menatap, terpesona pada wajahnya.
“Kenapa kembali? Kami lebih baik tanpamu, lebih bahagia tanpamu, senang akan ketidakhadiranmu …
kami menertawakan kebodohanmu, kepengecutanmu, kesombonganmu—“
“Kesombongan,” suara menggema dari Riddle-Hermione, jauh lebih cantik tapi lebih mengerikan dari
Hermione asli; ia bergoyang, berbicara dekat Ron, yang terlihat ngeri dan terpaku, pedang terjuntai di
sampingnya. “Siapa yang mau melihatmu,siapa yang akan memperhatikanmu, di samping Harry Potter?
Apa yang sudah pernah kamu lakukan, dibanding dengan Yang Terpilih? Siapa kau, dibandingkan
dengan Anak Yang Bertahan Hidup?”
“Ron, sabet dia, SABET DIA!” Harry berteriak, tapi Ron tidak bergerak, matanya melebar,
Riddle-Harry dan Riddle-Hermione tercermin dari matanya, rambut mereka berseliweran seperti nyala
api, mata mereka memerah, suara mereka bersatu dalam duet yang keji.
“Ibumu mengakui,” seringai Riddle-Harry sementara Riddle-Hermione mencemooh, “Ibumu lebih suka
memilihku sebagai anaknya daripada kau, akan sangat gembira dengan pertukaran itu …”
“Siapa yang akan memilihmu? Wanita mana yang akan memilihmu? Kau sama sekali tak ada
apa-apanya dibandingkan dengan dia,” suara Riddle-Hermione merayu, dan dia melilit seperti ular,
merapat pada Riddle-Harry, memeluknya erat dan bibir mereka bersatu.
Di depan mereka, wajah Ron penuh amarah, ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, tangannya gemetar.
”Lakukan, Ron!” Harry berteriak.
Ron memandang Harry, matanya meninggalkan jejak memerah.
”Ron—”
Pedang itu berkelebat, terlempar; Harry melempar dirinya, suara logam berbenturan dan jeritan panjang
mengerikan. Harry berputar, terpeleset di salju, bersiaga dengan tongkat untuk membela diri, tapi tak ada
apapun.
Versi yang dahsyat dari dirinya dan Hermione sudah tak ada; hanya Ron, berdiri dengan pedang
terpegang kendur, melihat pada bekas-bekas liontin di atas batu.
Perlahan Harry berjalan mendekatinya, tak tahu harus berkata apa atau harus berbuat bagaimana. Ron
bernafas dengan berat, matanya tidak lagi berwarna merah sama sekali, tapi mata biru normalnya terlihat
basah.
Harry berhenti, bersikap seolah-olah Ia tidak ada, dan mengambil Horcrux yang rusak tersebut. Ron
telah menghancurkan kaca tersebut: mata Riddle telah hilang, dan noda di liontin tersebut mengeluarkan
asap tipis. Sesuatu yang hidup dalam Horcrux itu sudah lenyap; menyiksa Ron adalah hal yang terakhir
dilakukannya.
Pedang berkelontang saat Ron menjatuhkannya. Ron jatuh berlutut, tangannya di kepala. Ia gemetar,
tetapi Harry sadar, bukan karena kedinginan. Harry menjejalkan liontin rusak itu ke dalam sakunya,
berlutut di samping Ron, menempatkan sebelah tangan hati-hati di bahu Ron. Ron tidak menepisnya.
”Setelah kau pergi,” Harry berkata dalam suara rendah, bersyukur bahwa wajah Ron tersembunyi,
”Hermione menangis terus selama seminggu. Mungkin lebih, hanya dia tak ingin aku tahu. Malam-malam
di mana kami sama sekali tak berbicara. Karena kepergianmu ...”
Harry tak dapat menyelesaikannya. Ron sudah ada di sini lagi, Harry menyadari bahwa
ketidakhadirannya berakibat banyak bagi mereka.
”Dia sudah seperti saudara,” Harry meneruskan, ”Aku menyayanginya seperti saudara dan
kuperhitungkan perasaannya sama padaku. Selalu begitu. Kukira kau juga tahu.”
Ron tidak menjawab tapi memalingkan muka dari Harry, dan membersit hidungnya dengan lengan baju.
Harry berdiri dan menuju tempat ransel Ron tergeletak, beberapa yard jauhnya, terlempar saat Ron
berlari ke kolam untuk menyelamatkan Harry agar tidak tenggelam. Harry mengangkatnya di pundak dan
kembali pada Ron. Ron berusaha bangkit saat Harry mendekat, matanya merah karena lelah tetapi
sekarang sudah kembali tenang.
“Maafkan aku,” suaranya parau, “Aku menyesal sudah pergi. Aku tahu aku—aku—”
Ron melihat sekeliling di kegelapan, berharap muncul kata yang cukup mengerikan akan menyambarnya.
”Kau sudah membayarnya malam ini,” sahut Harry, ”Mendapatkan pedang. Menghancurkan Horcrux.
Menyelamatkan hidupku.”
“Itu membuatku terdengar lebih ‘cool’ dari biasanya,” Ron berkomat-kamit.
”Hal-hal seperti itu kedengarannya selalu lebih keren dari kenyataan,” sahut Harry, ”Aku sudah
mencoba untuk mengatakannya padamu selama bertahun-tahun ini.”
Secara bersamaan mereka mendekat dan saling merangkul. Harry mencengkeram punggung jaket Ron
yang masih basah.
“Dan sekarang,” sahut Harry ketika mereka sudah melepaskan rangkulan, “yang harus kita lakukan
adalah menemukan tenda.”
Tapi itu tidak susah. Walau perjalanan menembus hutan yang gelap bersama rusa betina nampak jauh,
tapi dengan Ron di sisinya, perjalanan kembali secara mengejutkan, hanya sebentar. Harry tidak bisa
menunggu untuk membangunkan Hermione, dengan rasa gembira ia memasuki tenda, Ron melambat di
belakangnya.
Rasanya hangat setelah suasana di kolam, di hutan, penerangan di tenda hanya cahaya bluebell masih
bersinar di mangkuk di lantai. Hermione masih tertidur lelap, meringkuk di bawah selimut dan tidak
bergerak sampai Harry berulang kali menyebut namanya.
“
Hermione
.”
Ia bergerak, lalu secepat kilat duduk, merapikan rambut di wajahnya.
“Ada apa? Harry? Kau tak apa-apa?”
”Semua baik-baik saja. Lebih dari baik. Hebat malah. Ada seseorang di sini.”
”Apa yang kau maksud? Siapa—”
Ia melihat Ron, yang berdiri memegang pedang, air menetes di karpet usang. Harry mundur ke sudut,
menurunkan ransel Ron dan berusaha membuat dirinya nyaman di dalam tenda.
Hermione meluncur turun dari tempat tidurnya dan bergerak seperti orang yang berjalan dalam tidur
menuju Ron, matanya menuju pada wajah pucat Ron. Ia berhenti tepat di depan Ron, bibirnya sudah
membuka, matanya melebar. Senyum Ron lemah, berharap, dan tangannya sudah terangkat.
Hermione langsung maju dan memukuli setiap inci tubuh Ron yang mungkin ia raih.
“Ouch—ow—gerroff! Apa—? Hermione—ow!”
“Kau—benar-benar—menyebalkan—Ronald—Weasley!”
Ia menandai tiap kata dengan pukulan. Ron mundur, melindungi kepalanya saat Hermione maju.
”Kau—merangkak—kembali—ke sini—setelah—berminggu-minggu—oh,
mana tongkatku?
”
Hermione terlihat maju untuk merebut tongkatnya dari tangan Harry, dan Harry bertindak naluriah.
“Protego!”
Pelindung kasat mata muncul di antara Ron dan Hermione; kekuatannya membuat Hermione terpantul
mundur hingga ke lantai. Sambil mengeluarkan rambut yang masuk ke mulutnya, Hermione maju lagi.
”Hermione,” sahut Harry, ”Tenang—”
”Aku tidak akan tenang!” ia berteriak. Harry belum pernah melihatnya kehilangan kendali seperti ini,
seperti orang yang kesurupan.
”Kembalikan tongkatku! Kembalikan!”
”Hermione, tolong—”
”Jangan katakan padaku apa yang seharusnya kulakukan, Harry Potter!” Hermione melengking, ”Jangan
berani-berani! Kembalikan sekarang! Dan KAU!”
Ia menunjuk Ron, menuduh dengan mengerikan; suaranya seperti laki-laki, dan Harry tidak bisa
menyalahkan Ron karena mundur beberapa langkah.
”Aku mengejarmu! Aku memanggilmu! Aku memohon agar kau kembali!”
”Aku tahu,” sahut Ron, ”Hermione, aku menyesal. Aku sungguh—”
”Oh, kau
menyesal
!”
Hermione tertawa, nada suaranya tinggi, tidak terkendali. Ron melihat Harry minta tolong, tapi Harry
cuma nyengir tak berdaya.
“Kau kembali setelah berminggu-minggu—
berminggu-minggu
—dan kau pikir semua akan beres hanya
dengan kata-kata maaf darimu?”
“Apa lagi yang bisa kukatakan?” teriak Ron, dan Harry senang melihat Ron membalas.
”Oh, aku tak tahu!” pekik Hermione dengan kasar. “Gunakan otakmu, Ron, itu hanya perlu waktu
beberapa detik—”
”Hermione,” sela Harry, ”dia baru saja menyelamatkan—”
”Aku tak peduli,” teriak Hermione, ”aku tak peduli apa yang ia perbuat! Berminggu-minggu, kita bisa
saja
mati
saat itu—”
”Aku tahu kalian tidak mati!” teriak Ron, menenggelamkan suara Hermione untuk pertama kalinya,
mendekat sebisanya dengan adanya Mantra Pelindung di antara mereka. ”Harry selalu ada di
Prophet
,
di radio, mereka mencarimu di mana-mana, semua kabar burung dan cerita gila, aku tahu aku akan
dengar langsung kalau kau mati, kau tak tahu seperti apa—”
”Memangnya seperti apa menurutmu?”
Suara Hermione sekarang sangat melengking sampai-sampai mungkin hanya kelelawar yang bisa
mendengarnya, tapi dia sudah mencapai batas kemarahan sehingga untuk sementara tak bisa bicara
apa-apa, Ron memanfaatkan kesempatan itu.
”Aku sudah akan kembali pada saat aku ber-Disapparate, tapi aku bersinggungan dengan segerombolan
Penjambret, Snatchers, Hermione, sehingga tidak bisa ke mana-mana.”
”Segerombolan apa?” tanya Harry, dan Hermione melempar diri ke kursi dengan tangan dan kaki
terlipat sangat rapat seperti tidak akan dibuka bertahun-tahun.
”Penjambret, Snatchers,” sahut Ron, ”Mereka ada di mana-mana, gerombolan yang mencari emas
dengan menyerahkan Muggle-Born atau Darah Pengkhianat, ada hadiah dari Kementrian bila berhasil
menangkap mereka. Aku sendirian, terlihat usia anak sekolah, mereka kegirangan mengira aku
Muggle-Born yang sedang sembunyi. Aku harus bergerak cepat atau diseret ke Kementrian.”
”Apa yang kau bilang pada mereka?”
”Aku mengaku sebagai Stan Shunpike. Orang pertama yang kuingat.”
”Dan mereka percaya?”
”Mereka tidak terlalu pintar. Aku bahkan sangat yakin kalau salah satu dari mereka merupakan
setengah-Troll, Dari baunya...”
Ron melirik Hermione, sangat berharap kalau-kalau Hermione melunak dengan adanya lelucon itu, tetapi
ekspresi Hermione tetap terlihat mengerikan.
”Mereka kemudian meributkan apakah aku Stan atau bukan. Sangat menyedihkan memang, tapi jujur
saja, mereka berlima sedangkan aku sendiri, mereka merebut tongkatku. Lalu dua di antara mereka
berkelahi, dan saat perhatian teralih, aku memukul salah seorang dari mereka yang memegangiku,
merebut tongkatnya, Melucuti yang memegang tongkatku, dan ber-Disapparate. Aku tidak
melakukannya dengan baik, Splinch lagi—” Ron mengangkat tangan kanannya, memperlihatkan dua
kukunya yang hilang; Hermione mengangkat alisnya dingin, ”—dan aku muncul bermil-mil jauhnya dari
tempat asal. Saat aku kembali ke tepian sungai itu ... kalian sudah pergi.”
”Cerita yang mengesankan,” sahut Hermione, dengan suara angkuh yang dipakainya kalau dia
bermaksud melukai perasaan seseorang, ”Kau pasti sangat ketakutan. Sementara itu kami pergi ke
Godric’s Hollow, dan sebentar, apa yang terjadi, Harry? Oh ya, ularnya Kau-Tahu-Siapa muncul,
hampir membunuh kami berdua, Kau-Tahu-Siapa sendiri muncul dan nyaris menangkap kami, tapi luput
hanya dalam hitungan detik.”
”Apa?” sahut Ron, melongo pada Hermione, lalu pada Harry, tapi Hermione mengacuhkannya.
”Bayangkan, kehilangan kuku, Harry! Penderitaan kita tidak bisa dibandingkan dengannya, kan?”
”Hermione,” sahut Harry pelan, ”Ron baru saja menyelamatkanku.”
Namun kelihatannya Hermione tidak mendengarkan.
”Satu hal yang ingin kuketahui,” sahut Hermione memusatkan mata pada satu kaki di atas kepala Ron,
”Bagaimana bisa kau menemukan kami malam ini? Ini penting. Kalau kita tahu penyebabnya, kita bisa
memastikan agar kita tidak lagi dikunjungi oleh orang yang tidak kita inginkan.”
Ron memandangi Hermione, menarik benda kecil perak dari saku jeansnya.
”Ini.”
Hermione terpaksa memandang Ron agar bisa melihat apa yang ditunjukkannya.
”Deluminator?” ia bertanya, sangat terkejut sehingga lupa bersikap dingin dan kejam.
”Benda itu bukan hanya untuk mematikan dan menyalakan lampu saja,” sahut Ron, ”aku tidak tahu
bagaimana cara kerjanya, atau mengapa berfungsi pada saat itu sedang pada saat lain tidak, karena aku
sudah ingin kembali dari saat aku pergi. Tapi aku sedang mendengarkan radio Natal pagi sekali, dan aku
dengar ... aku dengar kau.”
Ron memandang Hermione.
”Kau mendengarkan aku di radio?” Hermione meragukan.
”Tidak. Aku mendengar suaramu keluar dari saku. Suaramu,” ia mengangkat Deluminator itu lagi,
”keluar dari sini.”
”Dan aku mengatakan apa?” tanya Hermione, suaranya setengah tak percaya setengah ingin tahu.
”Namaku. ’Ron’. Dan kau mengatakan ... sesuatu tentang tongkat ...”
Wajah Hermione merah padam. Harry teringat: itu saat nama Ron pertama kali disebut oleh mereka
berdua sejak Ron pergi; Hermione menyebut namanya saat mereka membicarakan tentang memperbaiki
tongkat Harry.
”Jadi aku mengambilnya,” Ron meneruskan, memandang Deluminator itu, ” dan benda itu tidak nampak
berbeda, atau jadi apa ’gitu, tapi aku yakin aku mendengarnya. Jadi aku menekannya. Dan ada cahaya
keluar di kamarku, tapi ada cahaya lain muncul tepat di luar jendela.”
Ron mengangkat tangannya yang kosong, menunjuk sesuatu di depannya, matanya terfokus pada
sesuatu yang baik Harry maupun Hermione tidak dapat melihatnya.
”Seperti bola cahaya, berdenyut, biru, seperti cahaya di sekitar Portkey, kau tahu?”
”Yeah,” sahut Harry dan Hermione berbarengan, otomatis.
“Aku tahu apa yang harus kulakukan,” sahut Ron, “mengambil barang-barangku, mengemasnya di ransel
dan keluar ke kebun.”
“Bola kecil cahaya itu melayang di sana, menungguku, saat aku keluar, bola cahaya itu berputar sedikit,
dan aku mengikutinya ke belakang gudang, lalu … lalu, well … ia masuk ke dalam diriku.”
“Maaf?’ sahut Harry, jelas dia tidak mendengar baik-baik.
“Seperti mengapung ke arahku,” jelas Ron dengan telunjuknya, “langsung ke dadaku, dan kemudian dia
masuk. Di sini,” Ron menyentuh titik dekat jantungnya. “Aku bisa merasakannya, panas. Dan sekali ia
masuk, aku tahu apa yang seharusnya kulakukan, aku tahu ke mana bola cahaya itu menuntunku. Jadi
aku ber-Disapparate, muncul di sisi bukit. Salju di mana-mana ...”
”Tadinya kami di sana,” jelas Harry. ”Kami dua hari di sana, dan di malam kedua aku terus berpikir
seseorang mondar-mandir di kegelapan dan memanggil-manggil.”
”Yeah, well, mungkin saja itu aku,” ujar Ron. ”Mantra Perlindunganmu bekerja baik, karena aku tidak
dapat melihat kalian, tidak dapat mendengar kalian. Aku yakin kalian ada di sekeliling, jadi aku
berlindung di kantong tidurku dan menunggu kalian muncul. Kukira kalian akan muncul saat mengemas
tenda.”
”Sebetulnya tidak,” sahut Hermione, ”Kami ber-Disapparate di bawah Jubah Gaib sebagai tindakan
pengaman. Dan kami pergi pagi sekali, karena seperti kata Harry, kami mendengar seseorang
mondar-mandir.”
”Well, aku tinggal di bukit itu seharian,” sahut Ron, ”aku terus berharap kalian muncul. Waktu hari
semakin gelap aku tahu aku sudah kehilangan kalian, jadi aku pencet Deluminator lagi, cahaya biru keluar
dan masuk ke dalam diriku, lalu aku ber-Disapparate dan tiba di sini di antara pepohonan. Aku tetap
tidak bisa melihat kalian jadi aku berharap satu dari kalian memperlihatkan diri akhirnya—ternyata Harry.
Well, sebenarnya aku melihat rusa betina itu dulu.”
”Kau melihat apa?” tanya Hermione tajam.
Mereka menjelaskan apa yang terjadi, dan saat cerita sampai pada rusa betina perak dan pedang dalam
kolam, Hermione mengerutkan kening pada yang satu lalu pada yang lainnya, berkonsentrasi sampai lupa
pada kakinya.
”Tapi itu pasti Patronus!” sahut Hermione. ”Tidakkah kau bisa melihat perapal mantranya? Tidakkah
kau melihat seseorang? Dan rusa betina itu menuntunmu pada pedang! Aku tidak percaya. Lalu?”
Ron menjelaskan bagaimana ia melihat Harry melompat ke dalam kolam dan ia menunggu Harry muncul;
tapi ia lalu menyadari pasti ada sesuatu yang salah, menyelam dan menolong Harry, lalu kembali pada
pedang. Cerita Ron sampai pada saat mereka membuka liontin, lalu Ron ragu, tapi Harry memotongnya.
”—dan Ron menikamnya dengan pedang.”
”Dan ...selesai? Begitu saja?” Hermione berbisik.
”Well, liontinnya—menjerit,” sahut Harry, setengah melirik pada Ron. “Ini.”
Ia melempar liontinnya ke pangkuan Hermione; Hermione memungutnya dan memeriksa jendelanya yang
sudah rusak.
Memutuskan akhirnya situasi aman, Harry mencabut Mantra Pelindung yang memisahkan Rob dan
Hermione dengan satu lambaian tongkat milik Hermione dan menoleh pada Ron.
“Tadi kau bilang kau melarikan diri dari para Snatchers itu dengan tongkat cadangan?”
“Apa?” tanya Ron yang sedang mengamati Hermione memeriksa liontin. “Oh—oh, iya.”
Ron menarik salah satu gesper dari ranselnya dan menarik sebuah tongkat gelap dan pendek dari salah
satu sakunya. “Ini. Kubayangkan, berguna juga kalau punya cadangan.”
“Kau benar,” sahut Harry, mengulurkan tangan, “Punyaku patah.”
”Kau bercanda,” sahut Ron, tapi saat itu Hermione berdiri, dan Ron nampak memprihatinkan lagi.
Hermione menyimpan Horcrux yang sudah dikalahkan itu dalam tas manik-maniknya, lalu memanjat
kembali ke tempat tidurnya, meringkuk tanpa kata.
Ron memberikan tongkat itu pada Harry.
”Yang terbaik yang bisa kau harapkan, kukira.” gumam Harry.
”Yeah,” sahut Ron. ”Tidak mungkin lebih buruk lagi. Ingat burung-burung yang ia ciptakan untukku?”
“Aku belum melupakannya,” suara Hermione di bawah selimutnya, tapi Harry melihat senyum tipis Ron
saat ia menarik piama merah marunnya dari ransel.
To be continue............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar