Sabtu, 08 Oktober 2011

Harry Potter and The Deathly Hallows Bab 16 Part

BAB 16
 GODRIC’S HOLLOW

Saat Harry bangun keesokan harinya, ada beberapa saat sebelum ia ingat apa yang telah terjadi. Lalu ia
berharap, layaknya anak kecil, bahwa itu hanyalah mimpi, bahwa Ron masih ada di sini dan tidak pergi.
Tapi saat ia menoleh ke bawah, yang ia lihat hanyalah ranjang Ron yang kosong. Ia mengalihkan
pandangan matanya ke arah lain. Harry melompat turun dari ranjangnya dan berusaha untuk tidak melihat
ranjang Ron. Hermione, yang sudah sibuk di dapur, tidak menyapa Harry, malah membuang muka saat
Harry melewatinya.
Dia sudah pergi
, kata Harry pada dirinya sendiri.
Dia sudah pergi
. Harry terus saja memikirkannya
selama ia mandi dan berpakaian, dan terus mengulang-ulangnya seakan ia masih terkejut dengan kejadian
semalam.
Dia sudah pergi dan tidak akan kembali lagi
. Dan itulah kenyataan yang Harry tahu, karena
dengan adanya sihir perlindungan, tidak mungkin kau bisa kembali, begitu kau meninggalkannya.
Harry dan Hermione sarapan dalam diam. Mata Hermione bengkak dan merah, sepertinya ia tidak tidur
semalam. Mereka berkemas, Hermione mengulur-ulur waktu. Harry tahu mengapa Hermione ingin
berlama-lama di pinggiran sungai ini. Beberapa kali Harry melihat Hermione yang sedang mencari-cari
saat ia merasa mendengar suara langkah kaki, tapi tidak ada sosok berambut merah yang muncul dari
pepohonan. Setiap kali Harry meniru Hermione, mencari-cari dan melihat sekeliling (walau tidak terlalu
berharap), yang ia lihat hanyalah hujan yang menyapu pepohonan. Tiba-tiba Harry merasa marah, dan
mendengar Ron berkata "
Kami pikir kau tahu apa yang akan kau lakukan!
”, dan Harry melanjutkan
berkemas dengan rasa terpilin di perutnya.
Air di sungai berlumpur di sebelah mereka meninggi dan sebentar lagi pasti akan menggenangi tempat
berkemah mereka. Mereka membuang-buang waktu dengan tetap berada di sana. Akhirnya, setelah tiga
kali memastikan isi tas manik, Hermione tidak punya alasan lagi untuk berlama-lama. Harry dan
Hermione bergandengan tangan dan ber-Disapparate, muncul di lereng bukit berangin yang dipenuhi oleh
bunga heather.
Saat mereka tiba, Hermione langsung melepaskan tangan Harry dan menjauh darinya. Hermione duduk
di sebuah batu besar, menatap lututnya sendiri, dan mulai menangis. Harry menatapnya, seharusnya ia
datang dan menenangkan Hermione, tapi ada sesuatu yang mencegah Harry dan membuatnya tetap
terdiam di tempatnya. Tubuhnya dingin dan tegang saat ia mengingat ekspresi wajah Ron yang
merendahkannya. Harry berjalan melangkahi bunga-bunga heather, berjalan dalam sebuah lingkaran
besar dengan Hermione sebagai titik pusatnya, mengucapkan mantera yang biasa Hermione ucapkan
untuk memasang perlindungan.
Mereka tidak membicarakan Ron dalam beberapa hari ke depan. Harry memutuskan untuk tidak
menyebutkan nama itu lagi, dan Hermione tahu bahwa tidak ada gunanya untuk membicarakan hal itu.
Terkadang di malam-malam saat Hermione mengira Harry sudah pergi tidur, Harry dapat mendengarnya
menangis. Sementara Harry memeriksa Peta Perompak di bawah cahaya tongkatnya. Menanti saat
muncul satu titik berlabel Ron akan muncul di salah satu koridor di Hogwarts, yang membuktikan bahwa
Ron telah kembali ke kastil yang nyaman, dan dilindungi oleh status darah murninya. Tapi tetap saja nama
Ron tidak muncul di peta, dan Harry malah terus-terusan mengikuti nama Ginny yang kini berada di
asrama putri. Berharap bahwa tatapannya ke titik itu dapat memasuki mimpi Ginny, membuatnya tahu
bahwa ia sedang memikirkannya, berharap bahwa Ginny baik-baik saja.
Di siang hari, Harry dan Hermione terus saja menebak-nebak lokasi yang mungkin menjadi tempat
persembunyian pedang Gryffindor. Tapi semakin sering mereka membicarakan tempat di mana
 Dumbledore munkin menyembunyikannya, semakin putus asa mereka. Memaksa otaknya untuk bekerja,
Harry tetap tidak dapat mengingat apakah Dumbledore pernah menyebutkan suatu tempat di mana ia
bisa menyembunyikan sesuatu. Dan ada beberapa saat di mana Harry merasa begitu marah, entah pada
Ron atau Dumbledore.
Kami pikir kau tahu apa yang akan kau lakukan… kami pikir Dumbledore
telah memberitahumu semua yang harus kau lakukan… kami pikir kau punya rencana yang
sebenarnya!
Harry tidak bisa berpura-pura lagi. Ron benar, bisa dibilang Dumbledore tidak meninggalkannya apa
pun. Mereka berhasil menemukan satu Horcrux, tapi tidak bisa menghancurkannya. Sedangkan Horcrux
lain entah ada di mana. Rasa putus asa membawa Harry jatuh ke jurang yang dalam. Sekarang, Harry
merasa goyah saat memikirkan keputusannya untuk menerima tawaran sahabatnya untuk ikut
bersamanya ke dalam perjalanan tanpa tujuan ini. Ia tidak tahu apa-apa, ia tidak punya ide, dan ia
terus-terusan merasa bahwa Hermione juga akan meninggalkannya.
Mereka menghabiskan hampir tiap malam dalam kesunyian. Hermione mengeluarkan potret Phineas
Nigellus dan menyandarkannya pada kursi, berpikir dapat mengisi kekosongan yang Ron tinggalkan. Dan
tidak sesuai dengan kata-katanya, Phineas Nigellus tidak dapat menahan diri untuk datang dan mencari
tahu apa yang Harry lakukan, dengan penutup mata, setiap beberapa hari sekali. Bahkan Harry senang
saat Phineas Nigellus berkunjung, karena ada seorang teman bicara, walau ia congkak dan sering
mengejek. Mereka menerima semua berita terbaru dari Hogwarts, walau sebenarnya Phineas Nigellus
bukan informan yang baik, karena ia memuja Snape, kepala sekolah Slytherin pertama sejak dirinya.
Harry dan Hermione belajar untuk berhati-hati, tidak mengomentari, dan tidak berkata tidak sopan
terhadap Snape, atau Phineas akan pergi dari potretnya.
Tapi tetap saja Phineas memberikan potongan-potongan berita penting. Snape sepertinya terus-terusan
menerima aksi pemberontakan kecil-kecilan dari para murid. Ginny bahkan tidak mendapat izin untuk
kunjungan ke Hogsmeade. Dan Snape telah meniru dekrit lama Umbridge, yaitu melarang pertemuan
lebih dari tiga siswa, atau perkumpulan siswa yang tidak resmi.
Dari semua berita ini, Harry menyimpulkan bahwa Ginny, Neville, dan Luna berusaha sebisa mungkin
untuk melanjutkan kegiatan Laskar Dumbledore. Potongan-potongan berita ini membuat Harry ingin
bertemu Ginny hingga perutnya terasa sakit, tapi hal itu juga membuatnya teringat tentang Ron,
Dumbledore, dan Hogwarts, yang begitu ia rindukan seperti mantan pacarnya. Saat Phineas Nigellus
bercerita tentang tindakan keras yang diambil oleh Snape, Harry merasakan sebuah kegilaan sesaat
tentang bagaimana ia kembali ke sekolah dan berada di bawah kekuasaan Snape yang tidak stabil,
dengan makanan lezat dan ranjang hangat, sepertinya hal itu adalah hal terbaik di dunia. Tapi ia ingat
bahwa ia adalah Yang Paling Tidak Diinginkan dengan sepuluh ribu Galleon di atas kepalanya, dan
berada di Hogwarts sama berbahayanya dengan saat ia menerobos masuk ke Kementrian Sihir.
Terkadang Phineas mencoba bertanya tentang di mana Harry dan Hermione berada, dan Hermione
langsung memasukkan potret itu ke dalam tas maniknya setiap Phineas bertanya. Lalu Phineas tidak akan
berkunjung selama beberapa hari karena merasa tersinggung dengan perpisahan tidak sopan itu.
Suhu mulai bertambah dingin. Membuat Harry dan Hermione tidak berani tinggal di satu tempat dalam
waktu yang lama. Dan membuat mereka menghindari bagian selatan Inggris, karena tanah di sana
membeku. Mereka melanjutkan perjalanan mereka berkeliling negeri. Ke lereng gunung, di mana salju
menghujani tenda. Ke daerah rawa-rawa yang luas, di mana air rawa yang dingin membanjiri tenda. Dan,
ke sebuah pulau kecil di tengah danau di Skotlandia, di mana tenda mereka terkubur salju.
Mereka dapat melihat pohon Natal yang berkelip-kelip dari jendela di beberapa rumah, sebelum
akhirnya menghabiskan malam di jalan yang sudah tidak digunakan di suatu kota dan makan enak.
Hermione pergi ke supermarket dengan Jubah Gaib (dan meninggalkan uang di kasir saat ia keluar) dan
 Harry berpikir akan lebih mudah mempengaruhinya dalam keadaan perut penuh dengan spaghetti
Bolognaise dan buah pir kalengan. Harry bahkan belajar dari masa lalu dan membuat mereka untuk
beberapa jam tidak memakai Horcrux yang sekarang berada di ujung ranjangnya.
“Hermione?”
“Hm?” Hermione sedang meringkuk di salah satu kursi malas dengan
Dongeng Beedle si Penyair
.
Harry tidak tahu apa yang bisa Hermione dapat dari buku itu, karena buku itu tidak terlalu tebal. Tapi
sepertinya Hermione sedang menguraikan sesuatu, karena
Kamus Spellman
terbuka di sebelahnya.
Harry berdeham. Harry merasa sedang melakukan hal yang sama seperti beberapa tahun yang lalu, saat
ia mencoba untuk meminta izin dari profesor McGonagall untuk bisa pergi ke Hogsmeade karena paman
Vernon tidak menandatangani surat izinnya.
“Hermione, aku sedang berpikir, dan…”
“Harry, bisakah kau bantu aku?”
Sepertinya Hermione tidak sedang mendengarkan Harry. Hermione maju dan menyorongkan
Dongeng
Beedle si Penyair
ke arah Harry.
“Lihat simbol ini,” kata Hermione sambil menunjuk bagian atas halaman. Di mana terdapat, yang Harry
anggap sebagai, judul cerita (karena Harry tidak dapat membaca huruf rune). Terdapat sebuah simbol
segitiga dengan lingkaran di dalamnya, yang terbelah oleh sebuah garis lurus.
“Aku tidak pernah belajar Rune Kuno, Hermione.”
“Aku tahu, tapi ini bukan huruf rune dan juga tidak ada di kamus. Selama ini aku menganggapnya
sebagai gambar mata, tapi sepertinya bukan! Ada yang menuliskannya di sini, lihat, seseorang telah
menggambarnya, simbol ini bukan bagian dari buku. Apa kau pernah melihatnya?”
“Tidak… tunggu.” Harry melihatnya lebih dekat. “Bukankah ini simbol yang sama dengan simbol yang
dipakai ayah Luna?”
“Aku juga memikirkan hal yang sama!”
“Kalau begitu, itu lambang Grindelwald.”
Hermione menatap Harry, terperangah.
Apa
?”
“Krum menceritakan padaku…”
Harry mengulang cerita yang Viktor Krum katakan padanya saat di persata pernikahan. Hermione
keheranan.
“Lambang
Grindelwald
?”
 
Hermione menatap Harry dan lambang itu bergantian. “Aku tidak pernah dengar kalau Grindelwald
punya lambang. Tidak pernah disebutkan dalam semua buku yang bercerita tentang dirinya.”
 “Sudah kukatakan, Krum bilang bahwa lambang itu terukir di dinding Durmstrang, dan Grindelwald-lah
yang melakukannya.”
Hermione bersandar di sandaran kursi, dahinya berkerut.
“Aneh. Kalau itu memang lambang Ilmu Hitam, mengapa ada di buku cerita anak-anak?”
“Ya, aneh,” kata Harry. “Dan Scrimgeour tidak menyadarinya. Dia, kan, Menteri, seharusnya dia tahu
hal-hal seperti itu.”
“Aku tahu… mungkin dia juga berpikir bahwa ini adalah gambar mata. Ada gambar ini di setiap judul
cerita.”
Hermione terdiam dan terus menatap ke lambang aneh itu. Dan Harry mencoba lagi.
“Hermione?”
“Hm?”
“Aku pikir, aku – aku ingin pergi ke Godric’s Hollow.”
Hermione mengangkat kepalanya tapi matanya tidak terfokus dan Harry yakin ia masih memikirkan
lambang misterius itu.
“Ya,” kata Hermione. “Ya, aku juga berpikir hal yang sama. Aku pikir kita harus ke sana.”
“Apa kau benar-benar mendengarkan aku?” tanya Harry.
“Tentu saja. Kau ingin pergi ke Godric’s Hollow. Aku setuju, aku rasa kita harus ke sana. Maksudku,
aku tidak tahu lagi harus pergi ke mana lagi. Berbahaya, memang, tapi semakin aku memikirkannya,
semakin mungkin benda itu ada di sana.”
“Er – apa yang ada di sana?” tanya Harry.
Hermione terlihat sama bingungnya dengan Harry.
“Pedangnya, Harry! Dumbledore pasti tahu kau ingin pergi ke sana. Lagipula Godric’s Hollow adalah
tempat kelahiran Godric Gryffindor…”
“Benarkah? Gryffindor berasal dari Godric’s Hollow?”
“Harry, apa kau tidak pernah membuka
Sejarah Sihir
?”
“Erm,” kata Harry, tersenyum untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan. Otot-otot di wajahnya
terasa kaku. “Aku pernah membukanya, kau tahu, saat membelinya… hanya sekali…”
“Desa itu diberi nama dengan namanya, aku pikir kau bisa melihat hubungannya,” kata Hermione. Ia
terdengar seperti Hermione yang lama daripada Hermione yang akhir-akhir ini. Bahkan Harry setengah
berharap bahwa ia akan berkata bahwa ia harus pergi ke perpustakaan. “Ada sedikit tentang desa itu di
Sejarah Sihir
, tunggu…”
 Hermione membuka tas manik dan mengaduk-aduknya, dan akhirnya mengeluarkan buku pelajaran
mereka, Sejarah Sihir oleh Bathilda Bagshot, yang Hermione buka ke halaman yang ia maksudkan.
’Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Kerahasiaan Internasional pada tahun 1689, para
penyihir mulai bersembunyi. Biasanya, mereka membuat komunitas kecil dalam masyarakat.
Banyak desa-desa kecil yang dihuni oleh para keluarga penyihir, yang tinggal bersama untuk
saling mendukung dan melindungi. Desa-desa seperti Tinworth di Cornwall, Upper Flagey di
Yorkshire, dan Ottery St Catchpole di pantai selatan Inggris, di mana mereka hidup bersama
dengan tenang, terkadang bersama Muggle yang ter-Confundus. Daerah paling terkenal sebagai
tempat permukiman penyihir, mungkin, Godric’s Hollow, sebuah desa di West Country di mana
penyihir besar Godric Gryffindor dilahirkan, dan di mana Bowman Wright, seorang penyihir
pandai besi, menempa Golden Snitch pertama. Pemakaman di sana dipenuhi oleh nama-nama
keluarga penyihir kuno, termasuk cerita-cerita yang menyatakan bahwa pemakaman dan gereja
kecil di sana telah dihantui selama berabad-abad.’
“Kau dan orang tuamu tidak disebut,” kata Hermione sambil menutup buku, “karena profesor Bagshot
tidak menuliskan apa pun setelah akhir abad sembilan belasan. Apa kau tidak mengerti Harry? Godric’s
Hollow, Godric Gryffindor, pedang Gryffindor, bukankah menurutmu Dumbledore akan berharap kau
akan menyadari hubungannya?”
“Oh, ya…”
Harry tidak ingin mengakui bahwa ia sama sekali tidak teringat dengan pedang saat mereka berbicara
tentang Godric’s Hollow. Baginya, perjalanan ke desa itu hanyalah untuk mengunjungi makam orang
tuanya, mengunjungi rumah di mana ia lolos dari maut, dan untuk menemui Bathilda Bagshot.
“Ingat kata Muriel?” kata Harry melanjutkan.
“Siapa?”
“Tahulah,” kata Harry ragu, ia tidak ingin menyebutkan nama Ron. “Bibi buyut Ginny, di pesta
pernikahan, yang bilang kalau kakimu terlalu kurus.”
“Oh,” kata Hermione.
Itu adalah satu saat yang tidak mengenakkan, karena Harry tahu bahwa Hermione merasa bahwa dirinya
menghindari menggunakan nama Ron. Harry segera melanjutkan, “Dia bilang Bathilda Bagshot masih
tinggal di Godrc’s Hollow.”
“Bathilda Bagshot,” gumam Hermione sambil mengusapkan jari telunjuknya di atas nama Bathilda yang
tertulis di sampul
Sejarah Sihir
. “Ya, kurasa…”
Hermione tiba-tiba menahan nafasnya dan membuat Harry terkejut. Harry menarik tongkatnya, melihat
ke arah pintu masuk, mengira akan ada orang yang akan menyibak pintu tenda. Tapi tidak ada apa-apa.
“Apa?” kata Harry, setengah kesal, setengah lega. “Mengapa kau bertingkah seperti itu? Aku kira kau
melihat
Death Eater
sedang memasuki tenda atau apa…”
“Harry,
bagaimana kalau pedang itu ada pada Bathilda
? Bagaimana kalau Dumbledore
menitipkannya pada Bathilda?”
 Harry menyadari kemungkinan itu. Bathilda pasti seorang wanita yang sangat tua sekarang, dan menurut
Muriel, ia sedikit sinting. Apakah Dumbledore menitipkan pedang itu pada wanita itu? Kalau memang
benar, Harry merasa kalau Dumbledore harus berkorban banyak hal. Ia tidak bisa memberitahu siapa
pun bahwa ia telah menukar pedang itu. Ia juga tidak bisa menyinggung pertemanannya dengan Bathilda.
Namun, sekarang bukanlah saat yang tepat untuk memperdebatkan teori Hermione. Tidak saat
Hermione memenuhi keinginan terdalam Harry.
“Ya, bisa saja! Jadi, kita akan pergi ke Godric’s Hollow?”
“Ya, tapi kita harus memikirkannya dengan hati-hati, Harry.” Hermione duduk dengan tegap sekarang.
Harry tahu bahwa menyusun rencana baru telah membangkitkan semangatnya, layaknya Harry.
“Pertama, kita harus berlatih untuk ber-Disapparate bersama di bawah Jubah Gaib, dan mungkin juga
dengan Mantra Disillusionment, lalu kita juga akan menggunakan Ramuan Polyjuice. Kalau begitu, kita
perlu beberapa helai rambut milik orang lain. Aku rasa lebih baik begitu, Harry, semakin tebal
penyamaran kita, makin aman.”
Harry membiarkan Hermione mengoceh, ia terus mengangguk dan menyetujui setiap Hermione berhenti.
Tapi ia sendiri tidak memerhatikan percakapan itu. Untuk pertama kalinya ia merasa senang karena
pedang yang ada di Gringotts adalah tiruan.
Harry akan pulang, kembali ke tempat di mana ia pernah tinggal bersama keluarganya. Di Godric’s
Hollow, dan bila Voldemort tidak pernah ada, ia akan tumbuh dan menghabiskan liburannya di sana.
Mungkin ia akan bisa mengundang teman-temannya untuk menginap… mungkin ia akan memiliki adik…
dan mungkin ibunya yang akan membuatkan kue ulang tahun ke tujuh belasnya. Bayangan kehidupan
yang telah dirampas darinya tidak pernah tampak begitu nyata sebelumnya, hingga saat ini, saat ia akan
mengunjungi tempat di mana segalanya telah dirampas darinya. Setelah Hermione pergi tidur malam itu,
diam-diam Harry mengeluarkan ranselnya dari tas manik Hermione. Dan dari dalam ransel, Harry
mengeluarkan album foto yang diberikan oleh Hagrid bertahun-tahun yang lalu. Untuk pertama kalinya
setelah berbulan-bulan, ia kembali memandangi potret tua orang tuanya yang sedang tersenyum dan
melambaikan tangan dari dalam potret.

Harry merasa sangat senang karena akan pergi ke Godric’s Hollow keesokan harinya, tapi Hermione
berpikiran lain. Hermione yakin bahwa Voldemort mengharapkan Harry akan kembali ke tempat di mana
orang tuanya meninggal, dan Hermione tidak ingin pergi ke sana hingga mereka telah mempersiapkan
penyamaran terbaik yang bisa mereka lakukan. Baru seminggu kemudian – setelah mereka berhasil
mengambil beberapa helai rambut sepasang Muggle yang sedang berbelanja untuk Natal, dan berlatih
ber-Apparate dan ber-Disapparate bersama di bawah Jubah Gaib – Hermione setuju untuk berangkat.
Mereka ber-Apparate saat hari sudah gelap, sehingga mereka meminum Ramuan Polyjuice saat senja.
Harry berubah menjadi Muggle berusia baya yang botak, dan Hermione berubah menjadi istrinya yang
kecil dan tampak seperti tikus. Tas manik yang berisi semua bawaan mereka (tidak termasuk Horcrux
yang sedang menggantung di dada Harry) berada dalam kantung mantel Hermione. Harry memakaikan
Jubah Gaib pada mereka berdua, dan sekali lagi mereka berada dalam kegelapan yang mencekik.
Harry membuka mata, jantungnya terasa meloncat ke tenggorokannya. Mereka berdiri di jalan bersalju
di bawah langit biru gelap yang dihiasi oleh bintang yang berkelap-kelip lemah. Pondok-pondok berdiri
berjajar di samping jalanan yang tidak terlalu panjang itu, hiasan Natal menghiasi jendela. Tak jauh di
depan mereka, berdiri lampu jalan yang bercahaya keemasan sebagai titik tengah desa itu.
“Salju!” bisik Hermione di bawah Jubah. “Mengapa kita bisa lupa dengan salju? Dengan semua
penyamaran ini, kita tetap meninggalkan jejak! Kita harus menghapusnya – kau berjalan di depan, dan
 aku yang akan…”
Harry tidak ingin masuk ke desa itu dengan kuda Troya. Bersembunyi di bawah semua penyamaran ini
dan menghapusi jejak.
“Lepaskan saja Jubahnya,” kata Harry dan saat melihat Hermione yang cemas, “ayolah, kita tidak
tampak seperti kita, dan tidak ada orang di jalanan.”
Harry menyimpan Jubah Gaib di dalam jaketnya dan berjalan tanpa hambatan. Angin dingin menerpa
wajah mereka saat mereka berjalan melewati pondok-pondok itu, pondok di mana mungkin Lily dan
James pernah tinggal, atau tempat Bathilda tinggal. Harry memperhatikan setiap pintu, atap yang tertutup
salju, dan beranda depan pondok-pondok itu, berharap akan mengenali salah satunya, walau ia tahu
kalau hal itu hampir tidak mungkin. Karena ia baru berumur satu tahun saat ia meninggalkan tempat ini.
Harry bahkan tidak yakin kalau ia akan bisa melihat pondok tempat tinggalnya dulu, karena ia tidak tahu
apa yang terjadi pada Mantra Fidelius bila subyek yang dimantrai meninggal. Lalu saat mereka berjalan
di jalanan yang berbelok ke kiri menuju jantung desa, terlihat sederetan bangunan.
Dihiasi dengan lampu berwarna-warni, di tengah-tengahnya tampak sesuatu seperti monumen perang,
berbentuk seperti pohon Natal yang tertiup angin. Di sekitarnya terdapat beberapa toko, kantor pos,
sebuah café, dan gereja di mana cahaya dari jendela mereka menerangi bangunan itu.
Salju di jalanan itu berbeda dengan salju di sepanjang jalan tadi. Salju di sana keras dan licin karena
telah diinjak-injak banyak orang. Para penghuni desa berlalu lalang diterangi oleh lampu jalan. Harry dan
Hermione dapat mendengar orang-orang tertawa dan musik pop saat pintu café dibuka tutup, dan
mereka juga mendengar lagu pujian dari gereja.
“Harry, aku rasa sekarang Malam Natal!” kata Hermione.
“Benarkah?”
Harry sudah tidak lagi memerhatikan tanggal, mereka juga sudah berminggu-minggu tidak membaca
koran.
“Iya,” kata Hermione sambil menatap gereja. “Mereka… mereka pasti ada di sana, kan? Ayah dan
ibumu? Aku bisa melihat pemakaman di belakang sana.”
Harry merasakan sesuatu yang lebih besar dari rasa senangnya, seperti rasa takut. Sekarang setelah
begitu dekat, Harry ragu apakah ia akan pergi. Mungkin Hermione tahu perasaannya, karena Hermione
meraih tangan Harry dan mengajaknya. Di tengah jalan, Hermione tiba-tiba berhenti.
“Harry, lihat!”
Hermione menunjuk monumen perang itu. Saat mereka melewatinya, mereka dapat melihat bentuknya.
Bukannya tugu yang dipenuhi nama-nama, monumen itu berupa patung tiga manusia. Seorang pria
berkaca mata dengan rambut berantakan. Seorang wanita berambut panjang dengan wajah cantik dan
ramah. Dan, seorang bayi yang berada dalam gendongan ibunya. Salju menghiasi kepala mereka
layaknya topi putih.
Harry berjalan mendekat, memandangi wajah orang tuanya. Ia tidak pernah membayangkan bahwa
mereka dijadikan patung… rasanya aneh melihat dirinya sebagai batu berbentuk bayi tanpa bekas luka di
dahinya…
 “Ayo,” kata Harry setelah puas memandanginya. Dan mereka berjalan menuju gereja. Saat mereka
menyebrangi jalan, Harry menoleh dan melihat bahwa patung itu telah berubah menjadi monumen perang
lagi.
Lagu-lagu pujian semakin keras terdengar saat mereka mendekati gereja, dan membuat tenggorokan
Harry tercekat. Membuatnya teringat akan Hogwarts. Teringat akan Peeves yang menyanyikan lagu
pujian kasar karangannya sendiri dari dalam baju besi. Teringat akan Great Hall dengan dua belas pohon
Natal. Teringat akan Dumbledore yang memakai pita yang ia dapat dari petasan. Teringat akan Ron
memakai sweater rajutan.
Terdapat sebuah pintu gerbang yang tertutup di pintu masuk pemakaman. Hermione mendorongnya
sepelan mungkin agar tidak bersuara dan mereka berjalan masuk. Di tiap sisi jalan setapak licin menuju
gereja, terdapat tumpukan salju tebal yang tidak tersentuh. Mereka keluar dari jalan setapak dan berjalan
di atas salju. Meninggalkan parit yang cukup dalam saat mereka mengitari gereja, berjalan di bawah
bayangan jendela.
Di belakang gereja, berbaris-baris nisan yang dihiasi salju dengan pantulan warna biru gelap dan
pantulan cahaya berwarna merah, emas, hijau, atau warna apa pun yang terpantul dari jendela ke atas
salju. Menjaga tangannya sedekat mungkin dengan tongkatnya, Harry berjalan menuju nisan terdekat.
“Lihat! AbboTt! Bisa jadi keluarga jauh Hannah!”
“Rendahkan suaramu,” pinta Hermione.
Mereka menjelajahi semakin dalam di pemakaman itu, ditemani bayangan gelap mereka yang jatuh di
atas salju, berhenti di setiap nisan untuk melihat tulisan di atasnya, lalu berkedip dalam kegelapan
memastikan tidak ada yang mengikuti.
“Harry, kemari!”
Hermione berada dua baris jauhnya. Jantung Harry berdegup kencang.
“Apakah itu…”
“Bukan, tapi coba lihat!”
Hermione menunjuk ke sebuah nisan. Harry menatap sebuah nisan granit yang ditumbuhi lumut yang
membeku, dengan tulisan
Kendra Dumbledore
dan di bawahnya ada tanggal lahir dan tanggal
kematiannya, tulisan
dan putrinya, Ariana
. Dan sebuah kutipan:
Di mana harta karunmu berada, di sanalah hatimu berada
.
Jadi, Rita Skeeter dan Muriel ada benarnya juga. Keluarga Dumbledore pernah tinggal di sini, dan
meninggal di sini.
Melihat langsung sebuah makam lebih buruk daripada hanya mendengarnya. Harry tidak dapat berhenti
berpikir bahwa ia dan Dumbledore terikat dengan pemakaman ini, dan seharusnya Dumbledore
memberitahukannya, walau Harry tidak tahu mengapa. Harry dan Dumbledore bisa saja mengunjungi
tempat ini bersama-sama. Untuk sesaat Harry membayangkan bagaimana ia pergi kemari bersama
Dumbledore, merasakan ikatan di antara mereka, dan betapa berartinya hal itu baginya. Tapi, menurut
Dumbledore, fakta bahwa keluarga mereka terbaring di pemakaman yang sama bukanlah hal yang
penting, dan mungkin, tidak ada hubungannya dengan misi yang harus Harry selesaikan.
 Hermione melihat Harry, dan Harry senang bahwa wajahnya tersembunyi dalam gelap. Harry membaca
kutipan itu lagi.
Di mana harta karunmu berada, di sanalah hatimu berada
. Ia tidak mengerti maksud
kalimat itu. Jelas Dumbledore yang telah memilihnya, sebagai anggota keluarga tertua setelah ibunya
meninggal.
“Kau yakin Dumbledore tidak pernah…” mulai Hermione.
“Tidak,” potong Harry. “Ayo kita teruskan mencari,” dan Harry berpaling, berharap ia tidak pernah
melihat batu nisan itu. Tidak ingin campur aduk rasa senang, takut, dan keragu-raguannya dinodai dengan
kemarahan.
“Ini!” teriak Hermione beberapa saat kemudian dari dalam gelap. “Oh, bukan, maaf! Aku kira Potter.”
Hermione menggosok batu nisan kotor yang sudah hampir hancur, menatapnya, dan terlihat terkejut.
“Harry, kembalilah kemari.”
Harry tidak ingin menyimpang dari tujuannya lagi, dan dengan kesal ia berjalan kembali mendekati
Hermione.
“Apa?”
“Lihat ini!”
Batu nisan itu begitu tua, membuat Harry kesulitan untuk melihat nama di atasnya. Hermione
menunjukkan sebuah lambang di sana.
“Harry, ini lambang yang ada di buku!”
Harry menatap ke arah yang Hermione tunjuk. Batu itu begitu usang dan membuat Harry susah untuk
melihat apa yang terukir di atasnya, tapi ia bisa melihat lambang segitiga di dekat nama yang tidak
terbaca.
“Bisa jadi…”
Hermione menyalakan tongkatnya dan mengarahkannya ke nama di batu nisan itu.
“Tertulis, Ig-Ignotus, sepertinya…”
“Aku akan mencari nisan orang tuaku,” kata Harry pada Hermione, dan Harry pergi melanjutkan
pencariannya, meninggalkan Hermione sendiri bersama nisan tua itu.
Selanjutnya Harry terus menemukan nama keluarga, seperti Abbott, yang juga ia temukan di Hogwarts.
Terkadang ada juga beberapa generasi keluarga penyihir yang dimakamkan di pemakaman itu, Harry
dapat melihatnya dari tanggal kematian yang tertulis di sana. Tapi mungkin ada juga anggota keluarga
yang tidak lagi tinggal di Godric’s Hollow. Harry berjalan semakin dalam di pemakaman, dan setiap ia
melihat batu nisan baru, ia berjalan lebih lambat dan sedikit berharap.
Kegelapan dan keheningan tiba-tiba semakin pekat. Harry memerhatikan sekitar, merasa cemas, takut
akan adanya Dementor. Lalu ia sadar bahwa lagu-lagu pujian telah berhenti dinyanyikan, dan obrolan
 para jemaat gereja perlahan menghilang saat mereka kembali ke jalanan, dan seseorang yang berada di
dalam gereja telah mematikan lampu.
Lalu suara Hermione memanggil lagi untuk yang ketiga kalinya dari dalam kegelapan.
“Harry, di sini… mereka di sini.”
Dan Harry tahu bahwa Hermione telah menemukan makam ayah dan ibu Harry kali ini. Harry berjalan
dengan dipenuhi perasaan berat yang membebani dadanya. Perasaan yang sama saat Dumbledore
meninggal, rasa sedih yang membebani jantung dan paru-parunya.
Makam itu hanya berjarak dua baris dari nisan milik Kendra dan Ariana. Nisannya terbuat dari marmer
putih, sama seperti nisan Dumbledore, dan membuatnya lebih mudah untuk dibaca, karena terlihat terang
dalam gelap. Harry bahkan tidak butuh berlutut dan mendekat untuk membaca tulisan yang terukir di
atasnya.


James Potter, lahir 27 Maret 1960, meninggal 31 Oktober 1981
Lily Potter, lahir 30 Januari 1960, meninggal 31 Oktober 1981
Musuh yang terakhir yang akan dihadapi adalah kematian.
Harry membaca kutipan itu perlahan, seakan ia hanya punya satu kesempatan untuk memahami kalimat
itu, lalu ia mengulanginya dengan suara keras.
’Musuh yang terakhir yang akan dihadapi adalah kematian’
…” Sebuah pemikiran mengerikan
muncul dan membuatnya sedikit ketakutan. “Bukankah terdengar seperti pemikiran para
Death Eater
?
Mengapa mereka menggunakan kutipan itu?”
“Artinya bukan menghadapi kematian seperti para
Death Eater
, Harry,” kata Hermione, suaranya
begitu lembut. “Artinya adalah… hidup setelah mati. Kehidupan setelah kematian.”
Tapi mereka tidak hidup, pikir Harry, mereka sudah pergi. Kata-kata itu tidak menutupi kenyataan
bahwa orang tuanya terbaring di dalam tanah, di bawah batu dan salju. Dan air matanya menetes bahkan
sebelum Harry menyadarinya, terasa hangat lalu berubah dingin saat menyentuh wajahnya. Dan Harry
tidak ingin menghapusnya dan berpura-pura. Ia membiarkan air matanya menetes, bibirnya terkatup kuat,
menatap ke arah salju yang menutupi tempat di mana Lily dan James terbaring, sebagai tulang belulang,
atau mungkin debu. Tidak tahu bahwa putra mereka berdiri begitu dekat, dengan jantung yang masih
berdegup. Masih hidup karena pengorbanan mereka. Mereka juga tidak tahu kalau putranya, untuk
sesaat, juga ingin berbaring di bawah salju bersama mereka.
Hermione meraih tangan Harry lagi dan menggenggamnya erat. Harry tidak bisa menatapnya, dan hanya
balas menggenggam. Ia menghirup dalam-dalam udara malam yang dingin, mencoba untuk menenangkan
diri. Seharusnya Harry membawa sesuatu untuk diletakkan di atas nisan mereka, tapi Harry lupa.
Sedangkan setiap tanaman di pemakaman itu tidak lagi berdaun dan telah membeku. Tapi Hermione
mengangkat tongkatnya, mengayunkannya, dan muncul seikat mawar mekar. Harry menangkapnya dan
meletakkannya di atas nisan orang tuanya.
Setelah Harry berdiri, ia merasa ingin cepat-cepat pergi. Harry merasa kalau ia tidak akan tahan untuk
berada di sana. Harry merangkul bahu Hermione, dan Hermione merangkul pinggang Harry, dan mereka
berjalan dalam diam, melewati makam ibu dan adik Dumbledore, kembali ke gereja yang sudah gelap,
 menuju pintu gerbang yang tertutup.


To be continue.............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search my Blog