Kamis, 20 Oktober 2011

Harry Potter And The Deathly Hallows Bab 32 Part 2

BAB 32 Part 2
TONGKAT ELDER
(The Elder Wand)
 
Harry mengira dia bisa menciptakan tangan besar dari tengah kerumunan laba-laba; tapi saat ia mengejar
mereka, langkahnya terhenti dengan adanya kaki yang besar terayun dari kegelapan membuat bumi
tempat ia berdiri bergetar. Harry melihat ke atas: seorang raksasa berdiri di hadapannya, tinggi duapuluh
kaki, kepalanya tersembunyi di balik bayangan, tak ada selain bahwa dia seperti pohon, rambut disinari
cahaya dari pintu kastil. Dengan satu gerakan brutal, raksasa itu menghunjamkan tinju pada jendela di
atas Harry, dan pecahan kaca menghujani Harry, memaksanya mundur dengan lindungan pintu.
”Oh—” jerit Hermione, saat dia dan Ron mencapai Harry dan memandang ke atas ke raksasa yang
sedang mencoba menangkap orang dari jendela di atas.
”JANGAN!” Ron berteriak, menangkap tangan Hermione yang sudah mengacungkan tongkatnya.
“Pingsankan dia dan dia akan menghancurkan setengah kastil—“
“HAGGER?”
Grawp datang dengan tiba-tiba dari sudut kastil; baru sekarang Harry menyadari bahwa Grawp memang
raksasa berukuran mini. Monster yang besar sekali itu sedang mencoba menghancurkan orang-orang di
lantai atas, melihat sekeliling dan menggeram. Undakan batu bergetar saat raksasa itu menghentakkan
kaki pada sebangsanya yang lebih kecil dan mulut miring Grawp terbuka, memperlihatkan gigi sebesar
setengah batu bata dan kuning, lalu mereka saling menyerang dengan kebuasan singa.
“LARI!” raung Harry; malam itu dipenuhi oleh teriakan-teriakan dan pukulan-pukulan mengerikan saat
kedua raksasa itu bergulat, Harry menangkap tangan Hermione dan melangkahi undakan, Ron mengikuti.
Harry tak kehilangan harapan untuk menemukan dan menyelamatkan Hagrid; dia lari begitu cepatnya
hingga mereka sudah setengah jalan ke Hutan sebelum mereka sadar.
Udara di sekitarnya membeku: Harry tercekat dan dadanya memadat. Bentuk-bentuk bergerak dalam
kegelapan, sosok-sosok berputar hitam pekat, bergerak dalam gelombang besar menuju kastil, wajahnya
bertudung, napasnya gemeretak …
Ron dan Hermione mendekat ke sampingnya saat suara pertempuran di belakang tiba-tiba terhenti, mati,
karena keheningan hanya bisa diawa oleh Dementor, turun di malam hari ...
”Ayo, Harry!” sahut suara Hermione, dari suatu tempat yang rasanya jauh sekali. ”Patronus, Harry, ayo!”
Ia mengangkat tangannya, tapi rasa keputusasaan menyebar dalam dirinya: Fred sudah pergi, Hagrid
pasti sekarat atau bahkan sudah mati: berapa banyak lagi yang terbaring mati yang dia belum tahu: ia
merasa nyawanya seperti sudah setengah meninggalkan tubuhnya ...
”HARRY, AYO!” pekik Hermione.
Seratus Dementor mendekat, meluncur menuju mereka, menghisap jalan keputusasaan Harry, seperti
janji untuk berpesta ...
 Ia melihat anjing terrier perak milik Ron meluncur ke udara, bekelip lemah dan berlalu: ia melihat
berang-berang kepunyaan Hermione berputar di udara dan menghilang, dan tongkatnya sendiri bergetar
di tangannya, nyaris ia menyambut pelupaan yang sedang datang, janji akan ketiadaan, tak ada rasa …
Lalu seekor kelinci perak, seekor babi hutan, dan seekor rubah melayang melampaui kepala Harry, Ron,
dan Hermione: Dementor-dementor itu mundur sebelum makhluk-makhluk itu mendekat. Tiga orang
datang dari kegelapan, berdiri di samping mereka, tongkat mereka terulur, terus merapal Patronus
mereka: Luna, Ernie, dan Seamus.
”Iya, betul,” sahut Luna memberi semangat, seperti saat mereka ada di Kamar Kebutuhan dan ini
hanyalah latihan mantra untuk Laskar Dumbledore, ”Itu betul, Harry ... ayo, pikirkan sesuatu yang
membahagiakan ...”
”Sesuatu yang membahagiakan?” sahutnya, suaranya tercekat.
”Kami masih di sini,” ia berbisik, ”kami masih bertempur. Ayo ...”
Lalu ada percikan api perak, lalu cahaya berkelap-kelip, lalu dengan usaha yang teramat keras yang
pernah dilakukan Harry, seekor rusa jantan meluncur keluar dari ujung tongkat Harry. Rusa jantan itu
maju miring, dan sekarang para Dementor benar-benar tercerai berai, segera saja malam menjadi sejuk
kembali, tapi suara-suara pertempuran memekakkan telinga.
”Tak cukup rasa terima kasih,” sahut Ron masih gemetar, menoleh pada Luna, Ernie, dan Seamus,
”Kalian menyelamatkan—”
Dengan raungan dan getar seperti gempa bumi, satu raksasa lain datang keluar dari kegelapan dari arah
Hutan menjinjing pentungan yang tingginya melebihi siapapun.
”LARI!” Harry berteriak lagi, tapi yang lain tka perlu diingatkan: mereka bertemperasan, dan tak terlalu
cepat karena kaki lebar makhluk itu jatuh berdebam tepat di mana tadi mereka berdiri. Harry menoleh,
Ron dan Hermione mengikutinya, tapi ketiga yang lain telah menghilang kembali ke kancah pertempuran.
”Ayo keluar dari sini!” teriak Ron, saat raksasa itu mengayunkan pentungannya lagi, dan bunyinya
bergema memintasi malam, melintasi tanah di mana kilasan-kilasan merah dan hijau menerangi kegelapan.
“Dedalu Perkasa!” sahut Harry. ”Ayo!”
Ia membentenginya tinggi-tinggi, menyimpannya di ruangan kecil yang tak dapat ia lihat sekarang: pikiran
tentang Fred dan Hagrid, dan ketakutannya akan orang-orang yang ia cintai yang ada di dalam dan luar
kastil, semua harus menunggu, karena mereka harus berlari, harus mencapai ular itu, dan Voldemort
karena itu seperti kata Hermione, satu-satunya jalan untuk mengakhirinya.
Ia berlari, setengah percaya bahwa ia bisa meninggalkan kematian sendiri, mengacuhkan kilasan cahaya
dalam kegelapan di sekeliling, dan suara danau yang berombak bagai laut, dan Hutan Terlarang berbunyi
keriat-keriut walau malam itu tak berangin, melalui tanah yang nampaknya bangkit dan memberontak, ia
lari lebih cepat dari yang pernah ia lakukan dalam hidupnya, dan dialah yang pertama melihat pohon
besar itu, Dedalu yang melindungi rahasia di akarnya dengan dahan-dahannya yang bagai cambuk.
Terengah-engah Harry berlari lebih pelan, menyusuri dahan-dahan Dedalu yang mengayukan pukulan,
memandang tajam lewat kegelapan melalui cabang-cabangnya yang tebal, mencoba melihat tonjolan
pada pohon tua yang akan melumpuhkannya. Ron dan Hermione berhasil mengejarnya, Hermione
 benar-benar kehabisan napas, dia tak bisa bicara.
“Bagai—bagaimana kita masuk?” sahut Ron terengah-engah, “Aku bisa—melihatnya—kalau kita
harus—Crookshanks lagi—”
“Crookshanks?” cuit Hermione, membungkuk mencengkeram dadanya. “
Kau ini penyihir, atau apa? ”
”Oh—betul—yeah—”
Ron melihat sekeliling, lalu mengarahkan tongkatnya pada ranting di tanah dan berkata, ”
Winggardium
Leviosa!
”. Ranting itu melayang dari tanah, berputar di udara seperti diputarkan oleh angin, lalu meluncur
tepat pada batang di mana dahan-dahan Dedalu memukul. Ranting itu menusuk dekat akar, dan saat itu
juga pohon yang menggeliat itu terdiam.
”Sempurna,” sahut Hermione.
”Tunggu.”
Untuk sedetik, saat dentuman dan ledakan pertempuran mengisi udara, Harry ragu. Voldemort
menginginkan dia melakukannya, ingin ia datang ... apakah dia menuntun Ron dan Hermione ke dalam
perangkap?
Tapi kenyataan nampaknya menutupi segalanya, kejam dan perih: satu-satunya jalan untuk maju adalah
membunuh ular itu, dan ular itu berada di mana Voldemort ada, dan Voldemort ada di ujung terowongan
...
”Harry, kami datang, ayo masuk,” sahut Ron, mendorongnya maju.
Harry turun ke jalan masuk tersembunyi di akar pohon. Lebih sesak dari waktu terakhir mereka masuk
ke situ. Terowongan itu berlangit-langit rendah: empat tahun yang lalu mereka harus meringkuk untuk
maju, sekarang terpaksa merangkak. Harry masuk pertama, tongkatnya bercahaya, ia bersiaga akan
adanya rintangan setiap saat, tapi tak ada. Mereka bergerak dalam kesunyian, pandangan Harry
terpancang pada cahaya di ujung tongkat yang digenggamnya.
Akhirnya terowongan sampai pada tanjakan dan Harry melihat cahaya keperakan di depan. Hermione
menyentuh pergelangan kakinya.
”Jubah,” Hermione berbisik, ”Pakai Jubahnya!”
Harry meraba-raba di punggungnya, dan Hermione menjejalkan buntalan kain licin itu ke tangan Harry
yang kosong. Dengan kesulitan, ia mengerudungkan pad adirinya, bergumam ‘
Nox
’ memadamkan
cahaya tongkatnya, dan meratakan Jubah di tangan dan di lututnya sesunyi mungkin, semua indranya
tegang, bersiaga tiap saat bisa ketahuan, bersiaga mendengar suara dingin dan jernih, bersiaga melihat
kilasan cahaya hijau.
Lalu ia mendengar suara yang datang dari ruangan yang tepat di hadapan mereka, hanya dihalangi oleh,
nampaknya bukaan terowongan di ujung terowongan telah dihalangi oleh sesuatu yang seperti peti mati.
Nyaris tak berani bernapas, Harry maju ke bukaan dan mengintip ke celah kecil di antara peti dan
dinding.
Ruangan itu remang-remang, tapi dia bisa melihat Nagini, bergelung seperti ular bawah air, aman dalam
 kurungannya yang sudah dimantrai, terapung tanpa penopang di tengah udara. Ia bisa melihat tepi meja
dan sebuah tangan putih berjari panjang memainkan tongkat. Lalu Snape bicara, dan jantung Harry nyaris
terlepas: Snape hanya beberapa inci jauhnya dari tempat ia meringkuk bersembunyi.
”...Tuanku, perlawanan mereka buruk—”
”—dan sama saja tanpamu,” sahut Voldemort, dengan suaranya yang tinggi dan jernih. ”Penyihir dengan
ketrampilan sepertimu, Severus, kupikir kau tak akan membuat banyak perubahan. Kita hampir tiba ...
hampir.”
”Biarkan aku menemukan anak itu. Biarkan aku membawa Potter. Aku tahu aku bisa menemukannya,
Tuanku. Please.”
Snape berjalan melewati celah, dan Harry begerak mundur sedikit, menjaga matanya tetap pada Nagini,
bertanya-tanya apakah ada mantra yang bisa menembus perlindungan ular itu, tapi dia tak dapat
memikirkannya. Satu percobaan saja gagal, sama saja dengan dia membuka rahasia di mana ia berada.
Voldemort berdiri, Harry dapat melihatnya sekarang, melihat matanya yang merah, wajahnya yang rata
seperti ular, kepucatannya yang bersinar di ruangan setengah gelap.
”Aku ada masalah, Severus,” sahut Voldemort pelan.
”Tuanku?” sahut Snape.
Voldemort mengangkat Tongkat Elder, memegangnya dengan lembut, mirip sekali dengan tongkat
konduktor.
“Mengapa tongkat ini tidak bisa berfungsi untukku, Severus?”
Dalam kesunyian Harry membayangkan ia bisa mendengar ular itu mendesis pelan saat ia bergelung, atau
apakah itu suara keluhan Voldemort yang berdesis?
”Tu-Tuanku?” tanya Snape hampa. ”Aku tak mengerti. Anda—Anda telah menampilkan sihir yang
istimewa dengan tongkat itu.”
”Tidak,” sahut Voldemort. ”Aku hanya menampilkan sihir yang biasa. Aku memang istimewa, tetapi
tongkat ini ... tidak. Tongkat ini tidak menampilkan keistimewaan yang dijanjikan.Aku tidak merasakan
perbedaan antara tongkat ini dengan tingkat yang kudapat dari Ollivander.”
Nada suara Voldemort seperti merenung, tenang, tapi bekas luka Harry mulai berdenyut, nyeri sedang
dibangun di keningnya dan dia bisa merasakan Voldemort mengendalikan kemarahan di dalamnya.
”Tak ada perbedaan,” sahut Voldemort lagi.
Snape tidak bicara. Harry tidak dapat melihat wajahnya: ia ingin tahu apakah Snape bisa mengendus
adanya bahaya, dan mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menenangkan tuannya.
Voldemort mulai bergerak sekeliling ruangan. Harry kehilangan pandangan selama beberapa detik saat
Voldemort berputar, berbicara dengan suara yang terukur, saat nyeri dan kemarahan memuncak di
kepala Harry.
 “Aku sudah berpikir lama dan keras, Severus, ... tahukah kau kenapa aku memanggilmu kembali dari
pertempuran?”
Dan untuk sesaat Harry bisa melihat sosok Severus: matanya terpancang pada ular yang sedang
bergelung di kandang bermantra.
“Tidak, Tuanku, tapi kumohon ijinkan aku kembali. Biarkan aku menemukan Potter.”
”Kau kedengaran seperti Lucius. Tak ada di antara kalian yang mengerti Potter sepertiku. Dia tidak usah
dicari. Potter yang akan datang padaku. Aku tahu kelemahannya, kau tahu, satu kesalahannya yang
besar. Ia akan benci melihat orang lain gugur di sekitarnya, tahu bahwa itu terjadi untuknya. Ia akan
menghentikannya dengan segala cara. Ia akan datang.”
”Tapi, Tuanku, dia bisa saja tak sengaja terbunuh oleh orang lain selain dirimu—”
”Perintahku untuk para
Death Eater
sudah jelas. Tangkap Potter. Bunuh temannya-makin banyak makin
baik—tapi jangan bunuh dia.”
“Tapi aku berbicara tentangmu, Severus, bukan Harry Potter. Kau sangat berharga untukku. Sangat
berharga.”
“Tuanku tahu aku hanya ingin melayanimu. Tapi—biarkan aku pergi dan mencari anak itu, Tuanku.
Biarkan kubawa dia padamu. Aku tahu aku bisa—”
”Sudah kukatakan, tidak!” sahut Voldemort dan Harry melihat kilatan merah pada matanya saat ia
menoleh lagi, dan kibasan jubahnya seperti ular merayap, dan ia merasaka ketidaksabaran Voldemort di
bekas lukanya yang membara. ”Perhatianku pada saat ini Severus, adalah apa yang akan terjadi jika aku
bertemu dengan anak itu.”
”Tuanku, kukira tak akan ada pertanyaan, tentulah—”
”—tapi memang
ada
pertanyaan, Severus. Memang ada.”
Voldemort berhenti, dan Harry dapat melihatnya lagi saat dia menyelipkan Tongkat Elder di antara
jari-jarinya yang putih, memandang Snape.
“Mengapa kedua tongkat yang kugunakan gagal saat aku arahkan pada Harry Potter?”
”Aku—aku tak bisa menjawabnya, Tuanku.”
”Tak dapatkah?”
Tikaman kemarahan terasa seperti sebuah paku ditancapkan ke kepala Harry: ia memaksakan kepalan
tinjunya ke dalam mulut agar ia tidak berteriak kesakitan. Ia menutup matanya, dan tiba-tiba ia menjadi
Voldemort, melihat wajah Snape yang pucat.
”Tongkatku yang dari kayu yew itu melakukan apapun yang kuminta, Severus, kecuali membunuh Harry
Potter. Dua kali ia gagal. Ollivander mengatakan padaku di bawah siksaan tentang dua inti tongkat. Aku
diminta menggunakan tongkat orang lain. Aku melakukannya, tetapi tongkat Lucius malah hancur waktu
bertemu Potter.”
 ”Aku—aku tak punya penjelasannya, Tuanku.”
Snape tidak sedang melihat pada Voldemort sekarang. Matanya yang gelap masih terpancang pada ular
yang melingkar dalam sangkar pelindungnya.
“Aku mencari tongkat ketiga, Severus. The Tongkat Elder, Tongkat Takdir, Tongkat Kematian. Aku
mengambilnya dari tuannya terdahulu. Aku mengambilnya dari kuburan Albus Dumbledore.”
Dan sekarang Snape memandang Voldemort, dan wajah Snape nampak seperti memakai topeng
kematian Wajahnya putih pualam dan kaku, sehingga saat dia bicara, suatu kejutan melihat ada orang
hidup di balik mata yang kosong itu.
“Tuanku—biarkan aku mencari anak itu—“
”Semalaman ini, saat aku berada di tepi kemenangan, aku duduk di sini,” sahut Voldemort, suaranya
hanya lebih keras dari bisikan, ”berpikir, berpikir, kenapa Tongkat Elder menolak apa yang harus dia
lakukan, menolak melakukan seperti kata legenda, ia harus mau melakukan apa yang diinginkan oleh
pemilik yang berhak ... dan kupikir aku tahu apa jawabannya.”
Snape tak menjawab.
”Mungkin kau sudah tahu jawabannya? Kau pandai, Severus. Kau sudah menjadi pelayan yang baik dan
setia, dan aku menyesali apa yang harus terjadi.”
”Tuanku—”
”Tongkat Elder tidak dapat melayaniku dengan baik, Severus, karena aku bukan tuannya yang sejati.
Tongkat Elder adalah milik penyihir yang membunuh pemiliknya yang terakhir. Kau pembunuh Albus
Dumbledore. Selagi kau masih hidup, Severus, Elder Wand tak bisa sepenuhnya menjadi kepunyaanku.”
“Tuanku!” protes Snape, mengangkat tongkatnya.
“Tentu tidak bisa dengan cara lain,” sahut Voldemort. “Aku harus menguasai tongkat itu, Severus.
Kuasai tongkat, dan aku akan menguasai Potter akhirnya.”
Dan Voldemort membelah udara dengan Tongkat Elder. Tongkat itu seperti tidak melakukan apa-apa
pada Snape yang untuk sedetik berpikir dia telah mendapat pengampunan: tapi kemudian tujuan
Voldemort menjadi jelas. Kandang ular itu berputar di udara dan sebelum Snape bisa berbuat apapun
selain berteriak, ular itu sudah melingkarinya, kepala dan bahu, dan Voldemort berbicara dalam
Parseltongue.
Bunuh.

Jeritannya mengerikan. Harry melihat wajah Snape kehilangan sedikit warna yang tersisa, wajahnya
memutih saat mata hitamnya melebar saat taring ular itu menghunjam lehernya, saat ia gagal mendorong
kandang bermantra itu, saat lututnya menyerah, dan ia jatuh ke lantai.
“Aku menyesalinya,” sahut Voldemort dingin.
Ia pergi; tak ada rasa sedih padanya, tak ada penyesalan. Ini sudah waktunya meninggalkan gubuk dan
mengambil alih, dengan tongkat yang sekarang akan mengerjakan apapun yang dimintanya. Ia
 mengacungkannya pada kandang yang berisi ular, mengarah ke atas, melepaskan Snape yang jatuh
menyamping di lantai, darah mengalir dari luka di lehernya. Voldemort berayun keluar dari ruangan tanpa
memandang ke belakang lagi, dan ular besarnya melayang di belakangnya dalam perlindungannya.
Kembali ke terowongan dan kembali ke pikirannya sendiri, Harry membuka matanya: ia berdarah,
menggigit buku jarinya sedemikian agar ia tak berteriak. Sekarang ia melihat celah antara peti dan
tembok, mengamati kaki dengan sepatu boot hitam gemetar di lantai.
”Harry,” Hermione berbisik di belakangnya, tapi Harry sudah mengacungkan tongkatnya pada peti yang
menghalangi pandangan. Peti itu terangkat satu inci dan bergerak ke samping tanpa suara. Sediam
mungkin ia menyelinap ke dalam ruangan.
Ia tak tahu mengapa ia melakuan hal ini, mengapa ia mendekati orang yang sedang sekarat ini: ia tidak
tahu apa yang ia rasa saat melihat wajah putih Snape, dan jemari yang mencoba menghentikan luka
berdarah di lehernya. Harry melepaskan Jubah Gaib dan melihat ke bawah, melihat pada orang yang ia
benci, orang yang mata hitamnya melebar menemukan Harry saat ia berusaha bicara. Harry
membungkuk di atasnya: dan Snape menangkap bagian depan jubahnya dan menariknya mendekat.
Sebuah suara serak berdeguk mengerikan keluar dari kerongkongan Snape.
”Ambil ... ini ... Ambil ... ini.”
Sesuatu yang lebih dari darah merembes keluar dari Snape. Biru keperakan, bukan gas bukan cairan,
memancar dari mulutnya, dari telinganya, dari matanya, dan Harry tahu itu apa, tapi Harry tidak tahu apa
yang harus ia lakukan—
Sebuah tabung tercipta dari udara, dijejalkan pada tangan gemetar Harry oleh Hermione. Harry
menampung bahan keperakan itu ke dalam tabung dengan tongkatnya. Saat tabung itu penuh, dan Snape
terlihat seakan tak ada darah tersisa lagi padanya, cengkeramannya pada jubah Harry mengendur.
”Pandang ... aku,” ia berbisik.
Mata yang hijau beradu dengan yang hitam, tapi setelah sedetik sesuatu di kedalaman dari pasangan yang
gelap nampaknya lenyap: meninggalkannya kaku, hampa dan kosong. Tangan yang memegang Harry
bergedebuk di lantai, dan Snape tak bergerak lagi.

 
To be continue....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search my Blog