Jumat, 14 Oktober 2011

Harry Potter and The Deathly Hallows Bab 30

BAB 30
PEMECATAN SEVERUS SNAPE
(The Sacking of Severus Snape)

Saat jari Alecto menyentuh Tanda, bekas luka Harry terasa terbakar liar, ruang berbintang tiba-tiba
lenyap dari pandangan, dan Harry berdiri di atas puncak potongan batu di bawah sebuah karang, ombak
laut bergulung di sekitarnya, dan kemenangan di hatinya—
mereka mendapatkan anak itu
.
Sebuah
letusan
keras membawa Harry kembali ke tempat ia berdiri: bingung, ia mengangkat tongkatnya,
 tapi penyihir di hadapannya segera terjatuh ke depan, ia menabrak lantai sedemikian keras
sampai-sampai kaca-kaca di rak buku bergemerincing.
“Aku belum pernah memingsankan orang kecuali dalam pelajaran LD kita,” sahut Luna, terdengar agak
tertarik. “Lebih berisik dari yang kuduga.”
Sudah barang tentu, langit-langit mulai bergetar. Langkah kaki bergegas, bergema, terdengar lebih keras
di balik pintu menuju asrama; mantra Luna membangunkan para murid Ravenclaw yang tidur di lantai
atas.
“Luna, kau di mana? Aku harus masuk ke bawah Jubah!”
Kaki Luna muncul entah dari mana; Harry bergegas berdiri ke sebelahnya dan Luna membiarkan Jubah
jatuh kembali mengerudungi mereka berdua saat pintu terbuka dan sebarisan Ravenclaw, semua dalam
pakaian tidur, membanjiri Ruang Rekreasi. Ada yang menahan napas, ada yang menjerit, terkejut saat
melihat Alecto tergeletak tak sadarkan diri. Pelan-pelan, takut-takut mereka mengelilingi Alecto, seperti
seekor binatang buas yang bisa bangun kapan saja dan menyerang mereka. Lalu seorang anak kelas
satu, kecil tapi pemberani maju mendekati Alecto, menusuk punggung Alecto dengan jari kakinya.
”Kukira dia sudah mati!” teriak anak itu kegirangan.
”Oh, lihat,” bisik Luna gembira, saat para Ravenclaw mengerumuni Alecto, ”mereka senang!”
”Yeah ... hebat ...”
Harry menutup matanya, dan saat bekas lukanya berdenyut-denyut ia memilih untuk terbenam lagi ke
dalam pikiran Voldemort ... Voldemort sedang bergerak sepanjang terowongan ke dalam gua pertama ...
Voldemort telah memilih untuk meyakinkan dulu bahwa leontin itu masih ada sebelum datang ke mari ...
tapi itu tidak akan lama ...
Terdengar ketukan di pintu Ruang Rekreasi dan tiap murid Ravenclaw membeku. Dari sisi yang lain
Harry mendengar suara halus seperti nyanyian, yang dikeluarkan oleh elang pengetuk pintu: ”Ke manakah
perginya barang-barang yang menghilang?”
”Ga tau, ’napa? Diam!” geram suara kasar yang Harry kenal sebagai Amycus, saudara laki-laki Carrow,
”Alecto?
Alecto?
Kau disitu? Kau sudah menangkapnya? Buka pintunya!”
Para Ravenclaw berbisik-bisik sesama mereka, ketakutan. Lalu tanpa peringatan, serangkaian ledakan
keras datang, seakan seseorang sedang menembaki pintu.
ALECTO!
. Kalau dia datang, dan kita belum menangkap Potter—kau mau bernasib sama seperti
Malfoy? JAWAB!” Amycus berteriak, mengguncang pintu sekuat ia bisa, tapi tetap saja tak terbuka.
Anak-anak Ravenclaw mundur, karena takut sampai ada yang melarikan diri lewat tangga ke ruang tidur.
Saat Harry sedang mempertimbangkan apakah ia sebaiknya membuka pintu saja dan Memingsankan
Amycus sebelum
Death Eater
itu dapat melakukan hal lain, ternyata sedetik kemudian sebuah suara yang
paling dikenalnya terdengar dari balik pintu.
”Boleh kutahu apa yang sedang Anda lakukan, Profesor Carrow?”
“Mencoba—melewati—pintu—terkutuk ini!” teriak Amycus. ”Pergi dan cari Flitwick! Suruh dia buka
ini, sekarang!”

 “Tapi bukankah saudarimu di dalam?” ujar Profesor McGonagall, “bukankah Profesor Flitwick
mengijinkannya masuk tadi, atas permintaanmu yang mendesak? Mungkin dia bisa membukakan pintu
untukmu? Sehingga kau tidak perlu membangunkan setengah kastil.”
“Dia tidak menjawab, kau sapu tua!
Kau
yang buka kalau begitu! Lakukan, sekarang!
“Tentu saja, bila kau menginginkannya,” sahut Profesor McGonagall sangat dingin. Ia mengetuk dengan
santun, dan suara beralun itu bertanya lagi, “Ke manakah perginya barang-barang yang hilang?”
“Ke ketiadaan, atau dengan kata lain, keseluruhan,” jawab Profesor McGonagall.
”Pengungkapan dengan susunan yang baik,” balas elang pengetuk pintu itu, dan pintu itu mengayun
membuka.
Anak-anak Ravenclaw yang masih tersisa, segera lari ke tangga begitu Amycus menyerbu masuk dari
ambang pintu, mengacungkan tongkatnya. Badannya bungkuk seperti saudarinya, Amycus punya wajah
pucat gemuk dan mata yang kecil, mata yang langsung menatap pada Alecto, yang tergeletak tak
bergerak. Ia berteriak marah sekaligus ketakutan.
”Apa yang mereka lakukan, binatang kecil?” Amycus berteriak. ”Akan ku-Crucio mereka sampai
mereka mengatakan siapa yang melakukannya—dan apa yang akan dikatakan oleh Pangeran
Kegelapan?” ia memekik, berdiri dekat saudarinya, memukul keningnya sendiri dengan tinjunya. ”Kita
tidak menangkap anak itu, mereka sudah menyiksa dan membunuh Alecto!”
“Dia hanya Dipingsankan,” sahut Profesor McGonagall tak sabar, membungkuk memeriksa Alecto. “Dia
akan baik-baik saja.”
“Dia tidak akan baik-baik saja!” teriak Amycus. “Tidak setelah Pangeran Kegelapan menghubunginya.
Ia disuruh mencari dia, aku rasa Tanda-ku terbakar dan dia kira kami menangkap Potter!”
”Menangkap Potter?” tanya Profesor McGonagall tajam, ”apa maksudmu ’menangkap Potter’?”
”Pangeran Kegelapan mengatakan  pada kami bahwa Potter akan mencoba memasuki Menara
Ravenclaw, dan meminta kami mengirim kabar padanya bila kami menangkapnya!”
”Untuk apa Harry Potter memasuki Menara Ravenclaw? Potter adalah anggota asramaku!”
Di bawah rasa tak percaya dan amarah, Harry merasa ada sejumput kebanggaan pada suara Profesor
McGonagall, dan rasa sayang pada Minerva McGonagall memancar dari dalam diri Harry.
”Kami diberi tahu dia mungkin masuk ke sini!” sahut Carrow, ”’ga tau, kan?”
Profesor McGonagall berdiri dan mata manik-maniknya menyapu ruangan. Dua kali mata itu melalui
tempat Harry dan Luna berdiri.
”Kita bisa menyalahkan anak-anak,” sahut Amycus, wajah-babinya tiba-tiba bersinar. ”Yeah, itu yang
akan kita lakukan. Kita akan bilang Alecto diserang oleh anak-anak, anak-anak ini,” ia memandang
langit-langit berbintang di atas asrama, ”dan kita bilang mereka memaksa Alecto untuk menekan Tanda,
dan karena itulah Pangeran Kegelapan mendapat tanda peringatan palsu ... Pangeran Kegelapan dapat
menghukum mereka. Beberapa anak, apa bedanya?”
 ”Hanya perbedaan antara kebenaran dan dusta, keberanian dan kepengecutan,” sahut Profesor
McGonagall yang sudah berubah pucat, ”suatu perbedaan, singkatnya, yang tidak bisa dihargai olehmu
dan saudaramu. Tapi biarkan aku menjelaskannya, sangat jelas. Kau tidak akan menerapkan tindakanmu
yang bodoh pada siswa-siswa di Hogwarts. Aku tidak akan mengijinkannya.”
”Apa kau bilang?”
Amycus maju mendekati Profesor McGonagall, wajahnya hanya beberapa inci dari Profesor
McGonagall. Profesor McGonagall menolak mundur, memandang rendah pada Amycus seakan dia itu
sesuatu yang menjijikkan yang ditemukan di toilet.
”Bukan masalah apa yang
kau
ijinkan, Minerva McGonagall. Waktumu sudah habis. Kami sekarang yang
bertugas di sini, kau mendukung kami, atau kau harus membayarnya.”
Dan Amycus meludahinya.
Harry membuka Jubahnya, mengangkat tongkatnya dan berucap, “Kau seharusnya tidak boleh
melakukan itu.”
Saat Amycus berputar menoleh, Harry berseru “
Crucio!
Death Eater
itu terangkat kakinya, menggeliat nyeri di udara seperti orang tenggelam, menggelepar,
melolong kesakitan, dan dengan suara kaca pecah ia terlempar ke depan rak buku, dan jatuh pingsan di
lantai.
“Aku paham maksud Bellatrix sekarang,” sahut Harry, darah menggelegak di benaknya, “kau harus
benar-benar berniat untuk itu.”
“Potter!” bisik Profesor McGonagall menenangkan jantungnya, “Potter—kau disini! Apa—?
Bagaimana—?” ia berjuang menguasai diri, ”Potter, itu bodoh!”
”Ia meludahi Anda,” sahut Harry.
”Potter, aku—kau sangat—sangat
gagah berani
—tapi tidakkah kau sadari—?”
”Ya, aku sadar.” Harry meyakinkan Profesor McGonagall. Kepanikan Profesor McGonagall membuat
Harry percaya diri. “Profesor McGonagall, Voldemort sedang dalam perjalanan ke sini.”
“Oh, apakah sekarang kita boleh menyebut namanya?” tanya Luna dengan wajah tertarik, melepaskan
Jubah Gaib. Kemunculan kedua murid yang hilang ini nampaknya membuat Profesor McGonagall
kewalahan, terhuyung mundur, jatuh di kursi terdekat, mencengkeram leher baju tidur kotak-kotaknya.
“Kukira tak ada bedanya kita memanggil dia apa,” Harry berkata pada Luna, “dia sudah tahu aku ada di
mana.”
Bagian yang jauh dari benak Harry, bagian yang terhubung dengan bekas luka yang membara, marah, ia
dapat melihat Voldemort berperahu cepat di danau gelap, dengan perahu hijau remang-remang ... ia
sudah nyaris mencapai pulau di mana baskom batu itu berada ...
”Kau harus pergi Potter,” bisik Profesor McGonagall, ”Sekarang, Potter, secepat kau bisa!”
 ”Aku tidak bisa,” sahut Harry. ”Ada yang harus kulakukan. Profesor, tahukah Anda di mana beradanya
diadem Ravenclaw?”
“D-diadem Ravenclaw? Tentu saja tidak—bukankah itu sudah berabad-abad hilang?” Profesor
McGonagall duduk tegak, “Potter, ini gila, benar-benar gila, untuk memasuki kastil ini—“
“Saya harus,” sahut Harry, “Profesor, ada sesuatu yang tersembunyi di sini yang harus saya temukan, dan
mungkin
diadem itu—kalau saja saya dapat berbicara dengan Profesor Flitwick—“
Ada suara gerakan, kaca berdenting: Amycus sadar. Sebelum Harry atau Amycus bertindak, Profesor
McGonagall berdiri, mengarahkan tongkatnya pada
Death Eater
yang terhuyung-huyung itu dan berucap:
Imperio
.
Amycus berdiri, berjalan ke arah saudarinya, memungut tongkat Alecto, berjalan dengan kaki terseret
dengan patuh ia menuju Profesor McGonagall, dan menyerahkan tongkat Alecto beserta tongkatnya
sendiri. Lalu ia berbaring di sisi Alecto. Profesor McGonagall mengayunkan tongkatnya lagi, seutas tali
keperakan mengilap muncul dari udara, menyusup melingkari kedua Carrow, mengikat mereka berdua
erat-erat.
“Potter,” sahut Profesor McGonagall, menoleh pada Harry lagi, sangat mengacuhkan penderitaan kedua
Carrow, “jika Dia-Yang-Namanya-Tidak-Boleh-Disebut benar-benar tahu kau ada di sini—“
Saat profesor McGonagall menucapkan ini, kemurkaan yang meyerang fisiknya melanda Harry, seakan
menyalakan api di bekas lukanya, dan dalam sedetik ia sudah memandang pada baskom itu, yang
Ramuannya sudah habis, sudah tak ada leontin emas tergeletak di sana—”
“Potter, kau baik-baik saja?” sahut sebuah suara, dan Harry kembali: dia sedang mencengkeram bahu
Luna untuk menyeimbangkan dirinya.
“Waktu berjalan terus, Voldemort semakin mendekat. Profesor, saya bertindak atas perintah
Dumbledore, saya harus menemukan apa yang ia inginkan untuk saya temukan. Tapi kita harus
mengeluarkan para siswa dulu saat saya mencari—Voldemort menginginkan saya, tapi ia tidak akan
peduli membunuh lebih banyak atau lebih sedikit, tidak sekarang—”
Tidak sekarang setelah ia tahu
aku menghancurkan Horcruxesnya
, Harry menyelesaikan kalimat di dalam kepalanya.
”Kau bertindak atas perintah
Dumbledore
?” Profesor McGonagall mengulangi, dengan tatapan
keheranan. Ia membenahi diri.
“Kita akan mengamankan sekolah ini dari Dia Yang Namanya Tidak Boleh Disebut saat kau mencari
benda—benda ini.”
“Mungkinkah?”
“Kukira ya,” sahut Profesor McGonagall datar dan kering, “kami guru-guru punya sihir yang cukup baik,
kau tahu. Aku yakin kita bisa menahan dia untuk beberapa lama bila kami mengerahkan segala daya
upaya. Tentu saja sesuatu harus dilakukan pada Profesor Snape—”
”Biarkan saya—”
”—dan jika Hogwarts memang akan memasuki keadaan siaga, dengan Pangeran Kegelapan di pintu
 gerbang, tentu saja harus diupayakan sebanyak mungkin orang yang tak bersalah, tak terlibat. Dengan
Jaringan Floo diawasi dan tak mungkin menggunakan Apparate di daerah ini—”
“Ada caranya,” sahut Harry cepat, dan ia menjelaskan jalan masuk yang mengarah ke Hog’s Head.
“Potter, kita bicara tentang ratusan siswa—“
“Saya tahu, Profesor, tapi jika Voldemort dan para
Death Eater
berkonsentrasi pada tapal batas
sekolah, mereka tidak akan tertarik pada siapapun yang ber-DisApparate dari Hog’s Head.
“Boleh juga,” Profesor McGonagall setuju. Ia menunjukkan tongkatnya pada kedua Carrow, dan jaring
perak jatuh di atas tubuh mereka yang terikat, menyimpul sendiri dan menggantung kedua bersaudara itu
di udara, terayun-ayun di bawah langit-langit biru dan keemasan, seperti dua binatang yang jelek dan
besar. “Ayo, kita harus memperingatkan Kepala–Kepala Asrama yang lain. Kalian lebih baik memakai
Jubah itu lagi.”
Ia berjalan gagah menuju pintu, sambil mengangkat tongkatnya. Dari ujung tongkatnya muncul tiga ekor
kucing perak dengan tanda seperti kacamata di sekeliling mata mereka. Para Patronus itu berlari
mendahului, mengilap, mengisi tangga spiral dengan cahaya keperakan, saat Profesor McGonagall,
Harry, dan Luna bergegas turun.
Sepanjang koridor para Patronus itu berlomba, dan satu demi satu meninggalkan mereka, gaun tidur
kotak-kotak Profesor McGonagall menyapu lantai, Harry dan Luna berlari di belakangnya di bawah
naungan Jubah.
Mereka sudah menuruni dua lantai saat terdengar langkah sepasang kaki pelan. Harry yang bekas
lukanya masih menusuk-nusuk, mendengarnya duluan, ia merasa dalam kantong jubahnya ada Peta
Perompak, tapi sebelum ia mengeluarkannya, McGonagall nampaknya sudah waspada juga. Ia berhenti,
mengangkat tongkatnya siap berduel, dan berkata, ”Siapa itu?”
”Ini aku,” sahut sebuah suara rendah.
Dari belakang seperangkat baju besi melangkahlah Severus Snape.
Kebencian menggelora begitu Harry melihatnya; ia sudah lupa rincian penampilan Snape dengan
kejahatannya, lupa bagaimana rambutnya yang hitam dan berminyak tergantung seperti tirai membingkai
wajahnya yang kurus, bagaimana mata hitamnya punya tatapan yang dingin mematikan. Snape tidak
memakai baju tidur tapi mengenakan jubah hitamnya yang biasa, dan dia juga sedang memegang
tongkatnya siap bertempur.
”Di mana Carrow bersaudara?” tanyanya tenang.
“Kurasa berada di tempat yang kau suruh, Severus,” sahut Profesor McGonagall.
Snape melangkah mendekat dan matanya melihat berganti-ganti antara pada Profesor McGonagall dan
ke udara di sekitarnya, sepertinya ia bisa tahu bahwa Harry ada di situ. Harry mengangkat tongkatnya
juga, siap menyerang.
“Aku mendapat kesan,” sahut Snape, “bahwa Alecto berhasil menemukan seorang penyelundup.”
“Benarkah?” tanya Profesor McGonagall, “Dan apakah yang membuatmu mempunyai kesan demikian?”
 Snape membuat gerakan kecil pada tangan kirinya, di mana Tanda Kegelapan diterakan.
”Oh, tapi itu wajar,” sahut Profesor McGonagall, ”Kalian para
Death Eater
punya sarana komunikasi
sendiri, aku lupa.”
Snape pura-pura tak mendengar. Matanya masih memeriksa udara di sekitar Profesor McGonagall, dan
Snape bergerak mendekat perlahan seperti tak memerhatikan apa yang sedang dia lakukan.
“Aku tak tahu malam ini giliranmu mengawasi koridor, Minerva.”
”Kau keberatan?”
”Aku heran apa yang bisa membuatmu keluar kamar selarut ini?”
”Kukira aku mendengar keributan,” sahut Profesor McGonagall.
”Benarkah? Tapi semua seperti tenang.”
Snape memandang mata Profesor McGonagall.
“Apakah kau melihat Harry Potter, Minerva? Karena kalau kau melihat, aku terpaksa—“
Profesor McGonagall bergerak lebih cepat dari apa yang bisa Harry percayai: tongkatnya megiris udara
dan untuk sedetik Harry mengira Snape telah rubuh, tak sadar, tapi dengan kecepatan Mantra
Pelindungnya, justru McGonagall yang kehilangan keseimbangan. McGonagall mengarahkannya
tongkatnya pada sebuah obor di dinding dan obor itu melayang dari standarnya; Harry, nyaris merapal
kutukan pada Snape, terpaksa menarik Luna agar tidak terkena nyala api, yang kemudian menjadi cincin
api yang memenuhi koridor dan terbang seperti laso menuju Snape.
Sekarang bukan lagi api, tapi ular hitam dan besar yang diledakkan McGonagall menjadi asap, lalu
berubah bentuk dan mengeras dalam hitungan detik menjadi sekumpulan belati yang mengejar; Snape
menghindarinya dengan menarik baju besi ke hadapannya, dengan suara logam berbenturan, belati itu
terbenam satu demi satu di bagian dada—
“Minerva!” seru suara mencicit, dan di belakangnya, masih melindungi Luna dari mantra terbang, Harry
melihat Profesor Flitwick dan Profesor Sprout berlari menyusuri koridor mendekati mereka masih
memakai pakaian tidur, dengan Profesor Slughorn terengah-engah di belakangnya.
“Tidak!” Flitwick memekik, mengangkat tongkatnya, “Kau tidak boleh membunuh lagi di Hogwarts!”
Mantra Flitwick membentur baju besi yang digunakan Snape untuk perlindungan; dengan suara berisik
baju besi itu hidup. Snape berjuang melepaskan diri dari tangan besi yang meremukkan, dan mengirimnya
terbang kembali pada penyerangnya; Harry dan Luna harus menunduk ke samping untuk
menghindarinya, dan tangan besi itu terhempas ke dinding dan hancur. Saat Harry melihat lagi, Snape
sudah benar-benar melarikan diri, McGonagall, Flitwick, dan Sprout segera mengejarnya; Snape
meluncur lewat pintu kelas dan sesaat kemudian Harry mendengar McGonagall berteriak: “Pengecut!
PENGECUT!”


“Apa yang terjadi? Apa yang terjadi?” tanya Luna.
 Harry menariknya agar berdiri dan mereka berlomba sepanjang koridor, menyeret Jubah di belakang
mereka, menuju kelas kosong di mana Profesor McGonagall, Flitwick, dan Sprout berdiri di dekat
jendela pecah.
”Ia melompat,” sahut Profesor McGonagall, saat Harry dan Luna lari memasuki ruangan.
”Anda pikir dia
mati
?” Harry berlari ke jendela, mengacuhkan teriakan kaget Flitwick dan Sprout atas
kemunculan Harry yang tiba-tiba..
“Tidak, dia tidak mati,” sahut McGonagall pahit, “Tidak seperti Dumbledore, dia masih memegang
tongkat … dan dia nampaknya mempelajari kiat-kiat terbang dari gurunya.”
Dengan perasaan ngeri, Harry melihat dari kejauhan bentuk seperti kelelawar besar terbang melalui
kegelapan menuju tembok perbatasan.
Suara kaki yang berat dan napas terengah-engah terdengar di belakang mereka: Slughorn baru saja
menyusul.

“Harry!” ia terengah-engah, mengurut dadanya yang besar di bawah piama sutra hijau zamrud. “Anakku
… kejutan … Minerva, tolong jelaskan … Severus … apa …?”
“Kepala Sekolah kita mengambil jalan pintas,” sahut Profesor McGonagall, menunjuk lubang
sebesar-Snape di jendela.
“Profesor!” Harry berteriak, kedua tangan di keningnya. Ia dapat melihat danau yang penuh-Inferi,
meluncur di bawahnya, ia merasa perahu hijau remang-remang membentur pantai bawah tanah,
Voldemort melompat dari perahu dengan niat membunuh di hatinya …
“Profesor, kita harus membuat barikade di sekolah, ia datang sekarang!”
“Baiklah. Dia Yang Namanya Tidak Boleh Disebut datang,” Profesor McGonagall berkata pada
guru-guru lain. Sprout dan Flitwick menahan napas; Slughorn mengerang pelan. “Ada pekerjaan yang
harus dilakukan oleh Potter di kastil ini, atas perintah Dumbledore. Kita harus melindungi tempat ini
sebisa kita, saat Potter mengerjakan apa yang harus dikerjakan.”
”Kau sadar tentu saja, bahwa tidak ada yang bisa kita kerjakan untuk mencegah Kau Tahu Siapa masuk
selamanya?” cicit Flitwick.
”Tapi kita bisa menahannya,” sahut Sprout.
”Terima kasih, Pomona,” sahut Profesor McGonagall, dan di antara keduanya terjalin kesepahaman yang
kuat. ”Aku menyarankan kita membangun perlindungan dasar di sekitar tempat ini, mengumpulkan
siswa-siswa dan berkumpul di Aula Besar. Sebagian besar tentu saja harus dievakuasi, walau jika ada
yang sudah cukup umur ingin tinggal dan bertempur, kukira mereka harus diberi kesempatan.”
”Setuju,” sahut Profesor Sprout, sudah bergegas menuju pintu. “Aku akan bertemu lagi dengan kalian di
Aula Besar dalam 20 menit dengan anggota asramaku.”
Dan selagi ia berjalan keluar tak terlihat lagi, mereka masih bisa mendengar ia menggumam. ”Tentakula.
Jerat Setan. Dan Kacang Snargaluffs ... ya aku ingin melihat
Death Eater
bertempur dengan mereka.”
 ”Aku bisa mulai dari sini,” sahut Flitwick, dan walau ia tak bisa melihat keluar jendela pecah itu, ia
menunjukkan tongkatnya dan menggumamkan mantra yang sangat rumit. Harry mendengar suara
gemuruh yang aneh, seperti Flitwick sudah melepaskan kekuatan angin pada tanah.
”Profesor,” sahut Harry, mendekati ahli Mantra yang badannya kecil ini, ”Profesor, maaf menyela, tapi ini
penting. Apakah Anda tahu di manakah diadem Ravenclaw?”
”...
Protego horribilis
—diadem Ravenclaw?” cicit Flitwick, “sedikit tambahan kebijakan tak pernah
keliru, Potter, tapi kukira tidak akan banyak berguna dalam keadaan
ini
!”
“Saya hanya bermaksud—tahukah Anda di mana? Pernahkah Anda melihatnya?”
“Melihatnya? Tak ada orang yang masih hidup yang mengingatnya. Sudah lama hilang, nak!”
Harry merasa campuran antara kekecewaan dan panik. Jadi, apa dong Horcruxnya?
”Kami akan bertemu denganmu dan anak-anak Ravenclaw-mu di Aula Besar, Filius!” sahut Profesor
McGonagall, memberi isyarat pada Harry dan Luna untuk mengikutinya.
Mereka baru saja mencapai pintu saat Slughorn berbicara tak keruan.
”Kubilang,” ia menghembuskan napas, pucat dan berkeringat, kumis anjing lautnya menggigil, ”Apa yang
mau dilakukan? Aku tak yakin ini bijak, Minerva. Dia pasti mencari jalan masuk, kau tahu, dan siapapun
yang mencoba melambatkannya, akan berada dalam bahaya yang menyedihkan.”
”Aku mengharapkan kau dan para Slytherin di Aula Besar dalam 20 menit juga,” sahut Profesor
McGonagall, ”kalau kau ingin pergi dengan siswa-siswa, kami tak akan menghentikanmu. Tapi kalau kau
mencoba untuk menyabotase pertahanan kami, atau mengangkat senjata melawan kami dalam kastil ini,
maka, Horace, kita akan duel sampai mati.”
”Minerva!” Horace terperanjat.
”Waktunya tiba untuk Asrama Slytherin untuk memutuskan di mana kesetiaannya berada,” sela Profesor
McGonagall. ”Pergi dan bangunkan siswa-siswamu, Horace!”
Harry tak berdiam diri menyaksikan Slughorn merepet: ia dan Luna bergegas mengejar Profesor
McGonagall, yang sudah bersiaga di tengah koridor dan mengangkat tongkatnya.
Piertotum
—oh, ya ampun, Filch, tidak
sekarang
—”
Penjaga sekolah yang sudah berumur itu baru saja datang terpincang-pincang, berseru, “Anak-anak
bangun! Anak-anak di koridor!”
“Mereka memang harus bangun, bodoh!” seru McGonagall, ‘sekarang pergi dan lakukan sesuatu yang
berguna! Cari Peeves!”
“P-Peeves?” gagap Filch, seperti dia tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya.
‘Ya,
Peeves
, bodoh,
Peeves
! Bukankah kau selalu mengeluh tentangnya selama seperempat abad? Cari
dan jemput dia sekarang juga!”
 Filch jelas-jelas mengira McGonagall sudah kehilangan akal, tapi pergi juga dengan langkah
terpincang-pincang, bahu membungkuk, komat-kamit.
”Dan sekarang—
piertetum locomotor!
” teriak Profesor McGonagall.
Sepanjang koridor patung-patung dan baju besi melompat keluar dari tempatnya, dan dari suara yang
bergema dari lantai-lantai di atas dan di bawah, Harry tahu bahwa teman-teman sesama patung dan baju
besi di seluruh kastil melakukan hal yang sama.
“Hogwarts terancam!” seru Profesor McGonagall, “Mereka yang di perbatasan, lindungi kami, lakukan
tugas kalian untuk sekolah kita!”
Berkelontangan dan berteriak, pasukan patung bergerak melampaui Harry; sebagian dari mereka
berukuran kecil sebagian lagi berukuran besar. Ada juga binatang-binatang dan baju besi yang
berkelontangan menghunus pedang mereka beserta bola-bola berpaku berantai.
“Sekarang, Potter,” sahut McGonagall, “ kau dan Miss Lovegood lebih baik kembali pada
teman-temanmu dan bawa mereka ke Aula Besar—aku akan membangunkan para Gryffindor yang lain.”
Mereka berpisah di puncak tangga berikutnya: Harry dan Luna berlari menuju pintu masuk Kamar
Kebutuhan. Saat mereka berlari, mereka bertemu kerumunan siswa, sebagian besar memakai jubah
bepergian di atas piama mereka, diarahkan ke Aula Besar oleh guru-guru dan para prefek.
“Itu Harry Potter!”
Harry Potter!
“Itu dia, aku bersumpah, aku barusan lihat dia!”
Tapi Harry tak menoleh-noleh lagi, akhirnya mereka sampai di pintu Kamar Kebutuhan. Harry
menyelinap di dinding yang sudah dimantrai, yang membuka mengijinkan mereka masuk, dia dan Luna
menuruni tangga dengan cepat.
’Ap—”
Saat ruangan terlihat jelas, Harry terpeleset beberapa anak tangga saking terkejutnya. Ruangan itu penuh
sesak dibandingkan saat mereka pergi tadi. Kingsley dan Lupin memandang mereka, seperti juga Oliver
Wood, Katie Bell, Angelina Johnson, dan Alicia Spinnet, Bill dan Fleur, Mr dan Mrs Weasley.
“Harry, apa yang terjadi?” tanya Lupin di kaki tangga.
”Voldemort sedang dalam perjalanan ke mari, guru-guru sedang membuat pertahanan di
sekolah—Snape melarikan diri—apa yang sedang kalian lakukan? Bagaimana kalian tahu?”
”Kami mengirim pesan pada seluruh Laskar Dumbledore,” Fred menjelaskan, ”kau tak bisa
mengharapkan bahwa mereka akan senang ketinggalan sesuatu yang seru, Harry, dan para LD memberi
tahu Orde Phoenix, dan begitulah... menggelinding membesar seperti bola salju.”
”Sekarang apa yang duluan, Harry?” tanya George, ”apa yang terjadi?”
“Guru-guru sedang mengevakuasi anak-anak yang lebih muda, dan semua orang berkumpul di Aula
 Besar agar mudah mengorganisirnya,” sahut Harry, “kita akan bertempur.”
Suara gemuruh membahana melanda kaki tangga, Harry terpepet ke dinding saat mereka berlari
melewatinya, campuran anggota Orde Phoenix, Laskar Dumbledore, tim Quidditch lama Harry, semua
dengan tongkat teracung siaga, menuju ke bagian utama kastil.
“Ayo, Luna!” Dean memanggil saat ia melewatinya, mengulurkan tangannya yang kosong, Luna
menyambutnya dan berdua berpegang tangan menaiki tangga.
Kerumunan itu menyusut, tinggal sedikit sisanya di Kamar Kebutuhan, dan Harry bergabung. Mrs
Weasley sedang beradu pendapat dengan Ginny dikelilingi Lupin, Fred, George, Bill dan Fleur.
“Kau masih di bawah umur!” Mrs Weasley berseru pada anak perempuannya saat Harry mendekat.
“Aku tidak akan mengijinkanmu. Anak laki-laki boleh, tapi kau harus pulang!”
”Aku tidak mau!”
Rambut Ginny bertemperasan saat ia menarik lengannya dari cengkeraman ibunya.
”Aku anggota LD—”
”—kelompok anak belasan tahun—”
”Kelompok anak belasan tahun yang akan menghadapi dia, di mana tak ada orang lain yang berani!”
sahut Fred.
”Dia baru enambelas tahun,” jerit Mrs Weasley, ”Dia belum cukup umur! Apa yang kalian berdua
pikirkan, membawanya dengan kalian—“
Fred dan George nampak agak malu dengan diri mereka sendiri.
“Mum benar, Ginny,” sahut Bill lembut, “Kau belum boleh. Setiap yang belum cukup umur harus pergi,
itu baru benar.”
“Aku tak bisa pulang!” Ginny berseru, air mata kemarahan berkilat di matanya, “Seluruh keluargaku di
sini, aku tak bisa menunggu sendiri, dan tak tahu apa-apa, dan—“
Matanya bertemu dengan mata Harry untuk pertama kali. Ia menatap Harry, memohon, tapi Harry
menggelengkan kepalanya, dan Ginny memalingkan wajahnya, pedih.
“Baiklah,” sahutnya, menatap jalan ke terowongan kembali ke Hog’s Head. “Selamat tinggal kalau
begitu, dan—“
Ada suara keributan, lalu suara gedebuk keras; seseorang merangkak keluar dari terowongan,
kehilangan keseimbangan sedikit dan terjatuh. Ia berpegangan di kursi terdekat lalu berdiri, melihat
sekeliling lewat kacamata bingkai tanduk yang miring dan berkata, “Apa aku terlambat? Sudah mulai?
Aku baru tahu, jadi aku—aku—“
Percy merepet lalu berhenti. Jelas-jelas dia tak berharap akan bertemu dengan keluarganya sebanyak ini.
Mereka terdiam heran untuk waktu yang lama, dipecahkan oleh Fleur menoleh pada Lupin dan berkata,
 yang kelihatan sekali bermaksud untuk memecahkan ketegangan, “Jadi—b’gimana zee kecheel Teddy?”
Lupin mengejapkan mata pada Fleur, bingung. Keheningan di antara Weasley nampaknya membeku
seperti es.
”Aku—oh ya—dia baik!” Lupin berkata keras-keras, ”Ya, Tonks bersamanya—di rumah ibunya.”
Percy dan Weasley lainnya masih saling pandang, membeku.
“Ini, aku punya potretnya!” Lupin berseru, mengeluarkan selembar foto dari balik jaketnya dan
memperlihatkannya pada Fleur dan Harry, yang melihat seorang bayi kecil dengan seberkas rambut tosca
terang melambaikan tinjunya yang gemuk pada kamera.
“Aku bodoh!” Percy meraung, begitu kerasnya hingga Lupin nyaris menjatuhkan fotonya. “Aku tolol, aku
brengsek sombong, aku—aku—“
“Pecinta-Kementrian, penolak-keluarga, pandir haus-kekuasaan,” sahut Fred.
Percy menelan ludah.
”Ya, memang!”
”Well, kau takkan bisa ngomong lebih baik lagi dari itu,” sahut Fred, mengulurkan tangan pada Percy.
Mrs Weasley bercucuran airmata. Ia berlari mendekat, mendorong Fred ke sisi dan menarik Percy ke
dalam pelukan yang mencekik, sementara Percy menepuk-nepuk punggung ibunya, matanya tertuju pada
ayahnya.
“Maafkan aku, Dad,” sahut Percy.
Mr Weasley mengerjap cepat, kemudian dia juga bergegas memeluk anaknya.
“Apa yang membuatmu sadar, Perce?” George mengusut.
“Sudah timbul agak lama,” sahut Percy, menghapus air matanya di bawah kacamata dengan ujung jubah
bepergiannya. “Tapi aku harus mencari jalan keluar, dan itu tidak mudah, di Kementrian mereka
memenjarakan pengkhianat setiap saat. Aku berhasil menghubungi Aberforth dan dia memberi peringatan
padaku sepuluh menit lalu bahwa Hogwarts akan bertempur, jadi inilah aku.”
”Well, kami memang membutuhkan para prefek untuk memimpin pada saat seperti sekarang,” sahut
George sambil menirukan gaya Percy yang paling angkuh, ”Sekarang ayo kita naik dan bertempur, kalau
tidak nanti kita tidak kebagian
Death Eater
.”
”Jadi kau kakak iparku sekarang?” sahut Percy, berjabat tangan dengan Fleur saat mereka bergegas
menuju tangga bersama Bill, Fred dan George.
“Ginny!” hardik Mrs Weasley.
Ginny sudah mencoba, diselubungi perdamaian, untuk menyelinap naik tangga juga.
“Molly, bagaimana kalau begini,” sahut Lupin, “Kenapa Ginny tidak tinggal di sini saja, sehingga paling
 tidak dia ada di tempat kejadian dan tahu apa yang terjadi, tapi dia tak terlibat dalam pertempuran?”
“Aku—“
“Gagasan yang bagus,” sahut Mr Weasley teguh, “Ginny, kau tinggal di kamar ini, kau dengar?”
Ginny nampaknya tak begitu menyukai gagasan itu, tapi di bawah tatapan mata ayahnya yang tidak
biasanya, keras, ia mengangguk. Mr dan Mrs Weasley beserta Lupin menuju tangga juga.
“Ron mana?” tanya Harry, “Hermione mana?”
“Mereka pasti sudah naik ke Aula Besar,” Mr Weasley berkata lewat bahunya.
“Aku tidak melihat mereka melewatiku,” sahut Harry.
”Mereka tadi ngomong sesuatu tentang kamar mandi,” sahut Ginny, ”tak lama setelah kau pergi.”
”Kamar mandi?”
Harry menyeberangi Kamar menuju sebuah pintu yang terbuka di bagian awal Kamar Kebutuhan dan
memeriksa kamar mandi yang ada di sana. Kosong.
”Kau yakin mereka bilang kamar—”
Tapi kemudian bekas lukanya terbakar, Kamar Kebutuhan menghilang: ia sedang memeriksa gerbang
yang tinggi, terbuat dari besi tempa, dengan babi-bersayap di tiang di tiap sisi, memeriksa tanah yang
gelap menuju ke kastil terang benderang. Nagini melingkar di bahunya. Ia sudah kerasukan perasaan
dingin dan kejam yang melebihi pembunuhan.

To be continue....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search my Blog