Kamis, 20 Oktober 2011

Harry Potter And The Deathly Hallows Bab 33 Part 1

BAB 33 Part 1
KISAH PRINCE
(Prince’s Tale)


Harry terlonjak berdiri, mencengkeram tabungnya
erat-erat, mengira Voldemort telah kembali ke ruangan itu.
Suara Voldemort bergaung dari dinding, dari lantai, dan Harry menyadari bahwa dia berbicara pada
Hogwarts dan daerah sekitarnya, agar penduduk Hogsmeade dan semua yang masih bertempur di kastil
akan mendengarnya sejelas bila ia berdiri di samping mereka, napasnya di belakang leher,
 mengembuskan kematian.
“Kalian telah bertempur,” sahut suara melengking dingin itu, “dengan gagah berani. Lord Voldemort
menghargai keberanian.”
“Tapi kalian menderita kekalahan yang besar. Kalau kalian bertahan, tetap menolakku, kalian akan mati
semuanya, satu persatu. Aku tak menginginkan ini terjadi. Setiap tetes darah sihir yang tertumpah adalah
suatu kehilangan, suatu penghamburan.”
“Lord Voldemort bermurah hati. Aku perintahkan pasukanku untuk mundur sekarang juga.”
“Kalian punya waktu satu jam. Perlakukan yang mati secara bermartabat. Rawatlah luka-lukamu.”
”Aku berbicara sekarang, Harry Potter, langsung padamu. Kau mengijinkan teman-temanmu mati
untukmu, daripada menghadapiku sendiri. Aku akan menunggumu selama satu jam di Hutan Terlarang.
Jika di akhir masa itu kau tidak datang padaku, tidak menyerahkan dirimu, maka pertempuran akan
dimulai lagi. Saat itu aku sendiri akan terjun di kancah pertempuran, Harry Potter, dan aku akan
menemukanmu, dan aku akan menghukum tiap laki-laki, perempuan, maupun anak kecil yang mencoba
menyembunyikanmu dalam waktu satu jam. Satu jam.”
Baik Ron maupun Hermione menggelengkan kepala dengan keras, menatap Harry.
”Jangan dengarkan dia,” sahut Ron.
”Kau akan baik-baik saja,” ujar Hermione. ”Mari—mari kita kembali ke kastil, jika ia kembali ke Hutan
Terlarang kita harus memikirkan rencana baru—”
Ia memandang sekilas pada jenazah Snape, lalu buru-buru kembali ke terowongan. Ron mengikutinya.
Harry melipat Jubah Gaibnya lalu menatap Snape. Dia tak tahu apa yang harus dia rasakan, kecuali
keterkejutannya atas bagaimana Snape dibunuh, dan alasan mengapa itu terjadi.
Mereka merangkak kembali melalui terowongan, tidak ada satupun yang berbicara, dan Harry ingin tahu
apakah Ron dan Hermione masih bisa mendengar suara Voldemort berdering-dering di kepala mereka,
seperti dirinya.
Kau mengijinkan teman-temanmu mati untukmu, daripada menghadapiku sendiri. Aku akan
menunggumu selama satu jam di Hutan Terlarang ... satu jam ...
Gumpalan-gumpalan kecil mengotori halaman berumput di depan kastil. Mungkin hanya kira-kira sejam
atau sekitarnya menjelang fajar, tapi keadaannya gelap gulita. Ketiganya bergegas melintasi pijakan batu.
Sebelah bakiak, seukuran perahu kecil tergeletak di depan mereka. Tak ada tanda-tanda Grawp ataupun
penyerangnya.
Kastil itu sunyi secara tak wajar. Tidak ada cahaya atau sinar, tak ada letusan, jeritan atau teriakan. Ubin
besar di Pintu Masuk telantar ternoda darah. Batu-batu jamrud masih berserakan di lantai bersama
potongan marmer dan pecahan kayu. Sebagian pegangan tangga luluh lantak.
”Ke mana semua orang?” bisik Hermione.
Ron memimpin jalan ke Aula Besar. Harry berhenti di pintu.
 Meja asrama lenyap dan ruangan penuh sesak. Mereka yang selamat berdiri berkelompok,
tangan-tangan mereka saling berangkulan. Mereka yang terluka dirawat dipanggung yang didirikan
Madam Pomfrey dan sekelompok sukarelawan. Firenze ada di antara yang terluka, panggulnya
mengucurkan darah, gemetar di mana ia dibaringkan, tak mampu berdiri.
Mereka yang tewas dibaringkan berjajar di tengah aula. Harry tidak bisa melihat jenazah Fred karena
dikelilingi keluarganya. George berlutut dekat kepalanya, Mrs Weasley melintang di dada Fred,
badannya berguncang, Mr Weasley mengusap rambut Mrs Weasley, air matanya mengalir menuruni
pipinya.
Tanpa bicara pada Harry, Ron dan Hermione menjauh. Harry melihat Hermione mendekati Ginny yang
wajahnya bengkak, dan memeluknya. Ron bergabung dengan Bill dan Fleur, Percy mengalungkan
lengannya di pundak Ron. Saat Ginny dan Hermione bergerak mendekati keluarga, Harry bisa melihat
dengan jelas jenazah yang terbaring dekat Fred: Remus dan Tonks, pucat dan diam, nampak damai
seperti yang sedang tidur di bawah langit-langit yang disihir gelap.
Aula Besar terasa lebih kecil, mengerut, saat Harry berbalik membelakangi pintu. Ia tidak bernapas. Dia
tidak tahan melihat jenazah lain, agar bisa melihat siapa lagi yang mati untuknya. Ia tidak bisa bergabung
dengan keluarga Weasley, tidak bisa menatap mereka, seandainya saja ia sudah menyerahkan diri, Fred
tidak akan mati.
Ia berbalik dan lari di tangga marmer. Lupin, Tonks … keinginannya agar ia tidak bisa merasakan … ia
berharap bisa merenggut jantungnya, bagian-bagian dalam tubuhnya, semua yang menjerit di dalam
dirinya …
Kastil itu benar-benar kosong, bahkan para hantu nampaknya bergabung berkabung di Aula Besar.
Harry berlari tanpa berhenti, menggenggam erat tabung yang berisi pikiran terakhir Snape, ia tidak
melambat hingga ia mencapai gargoyle batu penjaga kantor Kepala Sekolah.
“Kata kunci?”
“Dumbledore!” sahut Harry tanpa berpikir, karena Dumbledore-lah yang ingin ia temui, dan ia terkejut
ketika gargoyle itu minggir, memperlihatkan tangga spiral di belakangnya …
Ketika Harry menghambur masuk ke kantor bundar, ia menemukan perubahan. Lukisan-lukisan yang
tergantung di dinding kosong. Tidak satupun Kepala Sekolah tinggal untuk bertemu dengannya: semua,
nampaknya, semua pergi, lewat lukisan-lukisan yang berjajar di kastil, sehingga mereka bisa melihat
dengan jelas apa yag terjadi.
Harry memandang tanpa harapan pada bingkai yang ditinggalkan Dumbledore, digantungkan tepat di
belakan kursi Kepala Sekolah, lalu Harry membelakanginya. Pensieve disimpan di lemari seperti
biasanya. Harry mengangkatnya ke atas meja dan menuangkan memori Snape ke dalam baskom lebar
dengan huruf rune di sekitarnya. Keluar dari kepala seseorang mungkin melegakan ... bahkan apa yang
ditinggalkan oleh Snape mungkin tidak lebih buruk dari pikirannya sendiri. Memori-memori itu berputar,
putih keperakan dan aneh, tanpa ragu, dengan rasa nekat, berharap ini akan menenangkan kepedihan
yang menyiksa, Harry terjun.
Ia jatuh seketika di cahaya mentari, dan kakinya menemukan landasan yang hangat. Waktu ia meluruskan
diri, nampak bahwa ia berada di taman bermain yang nyaris telantar. Sebuah cerobong besar
mendominasi pemandangan. Dua gadis kecil berayun-ayun, dan seorang anak laki-laki kurus mengamati
mereka dari belakang semak. Rambut hitamnya terlalu panjang dan bajunya tak sepadan sehingga
 kelihatan seperti disengaja: jeans yang terlalu pendek, mantel yang terlalu besar dan bulukan, nampaknya
kepunyaan orang dewasa, dan sebuah kemeja pelapis yang aneh.
Harry bergerak mendekati si anak laki-laki. Snape terlihat berumur 9 atau 10 tahun, tidak lebih, pucat,
kecil, kurus. Ada kerakusan yang tidak dapat disembunyikan di wajahnya yang kurus saat ia mengamati
gadis yang lebih muda berayun lebih tinggi dan lebih tinggi lagi dari saudaranya.
”Lily, jangan!” jerit yang lebih tua.
Tapi gadis itu membiarkan ayunan berayun hingga ke titik lebih tinggi dan melayang ke udara, secara
harafiah benar-benar terbang, melempar diri ke arah langit dengan tawa lepas, dan bukannya jatuh di
aspal malah dia meluncur seperti pemain trapeze, tetap di udara terlalu lama, mendarat sangat halus.
”Mummy bilang jangan!”
Petunia menghentikan ayunannya dengan menarik tumit sandalnya di tanah, membuat suara berderit,
melompat, tangan di pinggul.
”Mummy bilang kau tidak diijinkan begitu, Lily!”
“Tapi aku nggak apa-apa,” sahut Lily masih terkekeh, “Tuney, lihat ini. Lihat apa yang bisa kulakukan.”
Petunia memandang berkeliling. Taman bermain itu sudah ditinggalkan orang, kecuali mereka berdua, dan
walau gadis-gadis itu tidak tahu, Snape. Lily memungut bunga jatuh di dekat semak-semak di mana
Snape bersembunyi. Petunia maju, jelas terbagi antara rasa ingin tahu dan ketidaksetujuan. Lily menunggu
hingga Petunia cukup dekat untuk melihat dengan jelas, lalu membuka telapak tangannya. Bunga
diletakkan di situ, kelopaknya membuka dan menutup seperti tiram yang aneh.
”Hentikan!” jerit Petunia.
”Takkan melukaimu,” sahut Lily, tapi ia menggenggam kembang itu dan melemparnya kembali ke tanah.
”Itu tidak benar,” sahut Petunia, tapi matanya mengikuti kembang itu, ”bagaimana kau melakukannya?”
”Sudah jelas, kan?” Snape tidak dapat menahan diri dan melompat keluar dari semak-semak.
Petunia mengkerut dan berlari kembali ke ayunan, tapi Lily, walaupun terlihat bingung, tetap di tempat.
Snape nampak menyesal telah mengagetkan mereka dengan kemunculannya. Ada semburat warna
muncul di pipi pucat itu saat ia memandang Lily.
“Apanya yang jelas?” tanya Lily.
Snape kelihatan gugup. Sambil memandang Petunia dari kejauhan, ia menurunkan suaranya, “Aku tahu
kau ini apa.”
”Apa maksudmu?”
”Kau ... kau seorang penyihir,” bisik Snape.
Lily nampak terhina.
 ”Bukan begitu caranya berbicara dengan orang lain.”
Ia berbalik dengan angkuh dan berjalan menuju saudarinya.
“Bukan itu maksudku!” sahut Snape. Wajahnya merah padam sekarang, dan Harry heran kenapa ia
tidak membuka mantelnya yang menggelikan itu, kecuali kalau dia tidak mau memperlihatkan baju
pelaspis di baliknya. Ia mengejar gadis itu, kelihatan seperti kelelawar, seperti Snape yang lebih tua.
Kedua bersaudara itu mempertimbangkannya, sama-sama tak setuju, berpegangan pada tiang ayunan,
seakan itu tempat yang aman.

“Kau adalah,” sahut Snape pada Lily, “kau adalah penyihir. Aku telah mengamatimu sejak lama. Tapi tak
ada yang salah dengan itu. Ibuku penyihir, dan aku juga penyihir.”
Tawa Petunia seperti air dingin.
”Penyihir!” ia menjerit, keberaniannya kembali sekarang saat ia pulih dari keterkejutannya akan
kemunculan Snape tadi yang tidak diharapkan. ”Aku tahu siapa kau. Kau anak si Snape itu ya? Mereka
tinggal di Spinner’s End dekat sungai,” sahutnya pada Lily, dan jelas pada suaranya bahwa ia menilai
rendah para penduduk di Spinner’s End. ”Kenapa kau memata-matai kami?”
”Aku tidak memata-matai,” sahut Snape memanas, tidak nyaman dan rambut kotor di terangnya cahaya
matahari. ”Buat apa memata-matai,” katanya tajam, ”
kau hanya seorang Muggle
.”
Walau Petunia jelas-jelas tidak mengerti arti kata itu tapi dia tidak bisa salah mengartikan nada suara
Snape.
”Lily, ayo kita pergi!” katanya melengking. Lily mematuhi saudaranya seketika, menatap Snape saat ia
pergi. Ia berdiri mematung mengamati saat mereka berjalan melintasi gerbang taman bermain, dan Harry,
satu-satunya yang tertinggal untuk memantau mereka, mengenali kekecewaan Snape, dan paham bahwa
Snape sudah lama merencanakan saat ini tapi tidak berjalan baik...
Pemandangan itu mengabur, dan sebelum Harry menyadari, terbentuk lagi yang baru di sekitarnya. Ia
sekarang ada di sebuah rumpun semak-semak. Ia bisa melihat sungai yang disinari matahari, gemerlapan
alirannya. Bayangan yang ditimbulkan oleh pepohonan menciptakan naungan teduh dan hijau. Dua anak
duduk bersila berhadapan di tanah. Snape sudah membuka mantelnya, baju lapisannya terlihat, tidak
begitu aneh terlihat di cahaya redup.
”—dan Kementrian bisa menghukummu jika kau melakukan sihir di luar sekolah, kau akan mendapat
surat.”
”Tapi aku
sudah
melakukannya!”
”Kita tidak apa-apa, kita belum dapat tongkat. Mereka masih membiarkanmu jika kau masih anak-anak
dan kau belum bisa mengendalikannya. Tapi sekalinya kau sudah berusia 11,” dia mengangguk memberi
kesan penting, ”dan mereka mulai melatihmu, kau harus hati-hati.”
Ada sedikit keheningan. Lily memungut ranting yang gugur dan memutarnya di udara, dan Harry tahu
bahwa Lily sedang membayangkan akan ada percikan api keluar dari ranting itu. Ia mejatuhkan ranting,
bersandar pada anak laki-laki itu dan berkata, ”Ini benar nyata kan? Bukan lelucon? Petunia bilang kau
bohong. Petunia bilang tak ada yang namanya Hogwarts. Bener nggak?”
 ”Itu benar, untuk kita,” sahut Snape. ”Bukan untuk dia. Tapi kita akan menerima surat, kau dan aku.”
”Sungguh?” bisik Lily.
”Tentu saja,” ujar Snape, dan meski dengan potongan rambut yang aneh, pakaian yang ganjil, anehnya
dia menampilkan sosok yang mengesankan di depan Lily, penuh keyakinan.
”Dan benar-benar akan datang dengan burung hantu?” Lily berbisik.
“Biasanya,” sahut Snape, “tapi kau kelahiran Muggle, jadi seseorang dari sekolah akan datang dan
menjelaskan pada orangtuamu.”
”Apakah ada bedanya, menjadi kelahiran Muggle?”
Snape ragu. Mata hitamnya menyimpan keinginan dalam kesuraman, bergerak-gerak di wajah yang
pucat memandang rambut merah gelap itu.
”Tidak,” sahutnya, ”tidak ada perbedaan.”
”Baguslah,” sahut Lily menjadi tenang. Jelas bahwa ia tadinya cemas.
”Kau memiliki kemampuan sihir yang hebat sekali,” sahut Snape. ”Aku melihatnya. Setiap waktu aku
mengamatimu...”
Suaranya melemah, Lily tidak sedang mendengar, berbaring menelentang di tanah beralaskan daun-daun,
sedang memandangi kanopi daun di atas. Snape memandangi sama rakusnya seperti dulu ia memandangi
Lily di taman bermain.
”Bagaimana keadaan rumahmu?” Lily bertanya.
Sejumput kerutan muncul di antara kedua mata Snape.
”Baik.” katanya.
”Mereka tidak bertengkar lagi?”
”Oh, mereka masih bertengkar,” ujar Snape. Ia meraih segenggam daun dan menyobek-nyobeknya,
kelihatan ia tak sadar akan apa yang sedang lakukan. ”Tapi tak akan lama, dan aku akan pergi”
”Ayahmu tidak suka sihir?”
”Dia tidak suka apapun.”
”Severus?”
Sesudut senyum terpilin di mulit Snape saat Lily menyebut namanya.
”Yeah?”

”Ceritakan lagi soal Dementor.”
 ”Kenapa kau ingin tahu mengenai Dementor?”
”Kalau aku menggunakan sihir di luar sekolah—”
”Mereka tidak akan mengirimmu pada Dementor untuk pelanggaran seperti itu! Dementor itu untuk
orang-orang yang melakukan hal-hal yang benar-benar jahat. Mereka menjaga penjara sihir, Azkaban.
Kau tidak akan berakhir di Azkaban, kau terlalu—“
Wajahnya  langsung memerah dan ia mengoyak-ngoyak daun lagi. Ada suara gemerisik di belakang
Harry membuatnya menoleh, Petunia bersembunyi di belakang pohon, salah menginjak.
“Tuney!” sahut Lily terkejut namun ada nada menyambut dalam suaranya. Tapi Snape langsung
melompat berdiri.
“Siapa yang memata-matai sekarang?” ia berteriak, “apa yang kau inginkan?”
Petunia tidak bisa bernapas, ia tertangkap basah. Harry bisa melihat ia berjuang untuk tidak mengatakan
apa yang menyakitkan jika diungkapkan.
”Apa yang kau pakai sebenarnya?” sahut Petunia, menunjuk pada dada Snape, ”blus ibumu?”
Ada suara gemeretak, sebuah dahan pohon di atas kepala Petunia runtuh. Lily berteriak; dahan itu
mengenai bahu Petunia, dia mungur dan menghambur penuh air mata.
”Tuney!”
Tapi Petunia sudah lari. Lily memberondong Snape.
“Apakah kau yang berbuat?”
“Bukan!” Snape terlihat menantang tapi juga pada saat yang sama ketakutan.
”Kau yang melakukannya,” Lily mundur, ”Kau melakukannya. Kau menyakitinya!”
”Bukan—aku tak melakukanya!”
Tapi dusta itu tidak meyakinkan Lily; setelah satu pandangan marah, ia lari dari rumpun pohon itu
mengejar saudarinya. Snape terlihat menyedihkan dan bingung ...
Adegan berubah lagi, Harry melihat ke sekeliling; dia ada di Peron 9 ¾, dan Snape berdiri di
sampingnya, sedikit membungkuk, di samping seorang wanita yang kurus, berwajah pucat, nampak
masam, yang sepertinya mencerminkan diri Snape. Snape  sedang mencermati sebuah keluarga dengan
empat anggotanya tidak terlalu jauh darinya. Dua gadis berdiri agak jauh dari orangtuanya. Lily seperti
sedang memohon pada saudarinya. Harry mendekat agar bisa mendengar.
“…Maaf, Tuney, aku menyesal. Dengar—“ ia menangkap tangan saudarinya dan memegangnya erat-erat
walau Petunia mencoba untuk melepasnya. “Mungkin setibanya aku di sana, tidak, dengar Tuney!
Mungkin setibanya aku di sana, aku bisa pergi ke Profesor Dumbledore dan membujuknya untuk
berubah pikiran!”
 “Aku tidak—ingin—pergi,” sahut Petunia, dan dia menarik tangannya dari pegangan saudarinya, ”Kau
ingin aku pergi ke kastil bodoh itu dan belajar jadi—jadi—”
Mata pucatnya menelusuri peron, pada kucing-kucing yang mengeong di tangan pemiliknya, pada burung
hantu yang mengibaskan sayap dan ber-uhu sesama mereka di sangkar, pada pada siswa sebagian sudah
memakai jubah hitam panjang, memuat koper-koper mereka di kereta api uap merah atau saling bertukar
salam dengan teriakan kegembiraan setelah berpisah selama satu musim panas.
“—kau pikir aku ingin jadi orang—orang sinting?”
Mata Lily penuh dengan air mata tatkala Petunia berhasil menarik tangannya.
”Aku bukan orang sinting,” ujar Lily, ”kau mengatakan hal-hal yang mengerikan!”
”Itulah tempat yang kau tuju,” nampaknya Petunia menikmati betul ucapannya. ”Sekolah khusus untuk
orang sinting. Kau dan pemuda Snape ... orang aneh, itulah kalian berdua. Bagus kalau kalian dipisahkan
dari orang normal. Untuk keselamatan kami.”
Lily memandang orangtuanya yang sedang sepenuh hati menikmati pemandangan di peron. Dan dia
melihat saudaranya lagi dan suaranya rendah dan kasar.
“Kau tidak memandang sebagai sekolah untuk orang sinting waktu kau menulis untuk Kepala Sekolah
dan memohon padanya untuk menyertakanmu.”
Wajah Petunia memerah.
“Memohon? Aku tidak memohon!”
“Aku melihat jawaban Dumbledore. Ia sangat baik.”
Kau tidak boleh membaca—“ bisik Petunia. “Itu barang pribadiku—bagaimana kau--?”
Lily membuka rahasianya sendiri dengan setengah memandang ke tempat Snape berdiri, di dekatnya.
Petunia menahan napas.
“Anak itu menemukannya! Kau dan anak itu mengendap-endap di kamarku!”
”Tidak—tidak mengendap-endap—“ sekarang Lily yang membela diri. “Severus melihat amplop itu dan
dia tidak percaya bahwa seorang Muggle bisa menghubungi Hogwarts, itu saja. Dia bilang pasti ada
penyihir menyamar bekerja di kantor pos untuk menangani—“
”Jelas-jelas penyihir ikut campur di mana-mana,” sahut Petunia, wajahnya pucat seperti baru dibilas.
”Orang Sinting!” dia meludah pada saudaranya, menggelepakkan badannya karena marah, ia kembali
pada orangtuanya.
Adegan berganti lagi. Snape tergesa-gesa menyusuri koridor Hogwarts Express saat kereta itu menyusuri
pinggir kota. Ia sudah berganti pakaian dengan jubah sekolah, mungkin mempergunakan kesempatan
pertama untuk menyingkirkan baju Mugglenya yang mengerikan. Akhirnya ia berhenti di luar sebuah
kompartemen di mana sekumpulan anaklaki-laki sedang ribut berbicara. Meringkuk di sudut kursi dekat
jendela ternyata adalah Lily, wajahnya ditekankan pada jendela kaca.
 Snape menggeser pintu kompartemen dan duduk di seberang Lily. Lily memandang Snape sekilas lalu
memandang ke jendela lagi. Dia baru saja menangis.
“Aku tak ingin bicara denganmu,” katanya dalam suara tertahan.
“Kenapa?”
“Tuney m—membenciku. Karena kita melihat surat dari Dumbledore itu!”
“Memangnya kenapa?”
Lily melontarkan pandangan tak suka.
”Karena dia saudaraku!”
”Dia hanya seorang—” Snape cepat menghentikan ucapannya; Lily terlalu sibuk mencoba mengelap
matanya tanpa terlihat, tidak mendengarkan ucapannya.
”Tapi kita pergi!” sahut Snape, tak dapat menahan kegembiraan dalam suaranya. ”Inilah dia, kita menuju
Hogwarts!”
Lily mengangguk, mengelap matanya, tapi dia setengah tersenyum.
“Kau lebih baik berada di Slytherin!” sahut Snape, membesarkan hati agar Lily gembira sedikit.
“Slytherin?”
Salah satu anak yang berbagi kompartemen, yang dari tadi mengacuhkan Lily maupun Snape,
memperhatikan kata itu, dan Harry yang dari tadi memperhatikan Lily dan Snape, melihat ayahnya:
langsing, rambut hitam seperti Snape tetapi terlihat jelas bahwa ia berasal dari keluarga berada,
diperhatikan bahkan dikagumi, hal-hal yang tidak ditemukan pada diri Snape.
“Siapa yang mau di Slytherin? Kalau aku ditempatkan di Slytherin, aku akan pergi, bagaimana
denganmu?” James bertanya pada anak laki-laki yang duduk di seberangnya. Dengan satu sentakan
Harry menyadari bahwa itu Sirius. Sirius tidak tersenyum.
”Seluruh keluargaku di Slytherin.” katanya.
”Ya ampun,” sahut James, ”dan kukira kau baik-baik saja.”
Sirius menyeringai.
”Mungkin aku akan memecahkan tradisi. Kalau begitu, kau mau ke mana?”
James menarik pedang yang hanya ada dalam bayangan.
“’Gryffindor, dimana tempat berkumpulnya pemberani’. Seperti ayahku.”
Snape membuat bunyi yang meremehkan. James menoleh padanya.
“Kau keberatan?”
 “Tidak,” sahut Snape walau seringai sekilasnya mengemukakan sebaliknya, “jika kau merasa lebih baik
punya otot daripada punya otak—“
“Kalau begitu kau sendiri mau ke mana, sedangkan kau tak memiliki keduanya?” Sirius menyela.
James tertawa terbahak-bahak. Lily bangkit, terlihat marah dan menatap James hingga Sirius dengan
perasaan tak suka.
”Ayo, Severus, kita cari kompartemen lain!”
”Ooooooo...”
James dan Sirius menirukan suara tinggi Lily; James berusaha menjegal kaki Snape saat ia lewat.
”Sampai jumpa, Snivellus!” sebuah suara terdengar, saat pintu kompartemen dibanting.
Dan adegan berganti lagi.
Harry berdiri tepat di belakang Snape saat mereka menghadapi meja asrama yang diterangi ribuan lilin,
barisan yang penuh wajah-wajah penuh perhatian. Kemudian Profesor McGonagall berkata, ”Evans,
Lily!”
Harry menyaksikan ibunya berjalan ke depan dengan kaki gemetar dan duduk di bangku reyot itu.
Profesor McGonagall menjatuhkan Topi Seleksi ke atas kepala Lily, dan tak lebih dari sedetik sesudah
Topi Seleksi menyentuh rambut merah tua itu, Topi berteriak, Gryffindor!
Harry mendengar Snape mengerang. Lily melepaskan Topi, mengembalikannya pada Profesor
McGonagall, kemudian bergegas bergabung dengan para Gryffindor, saat ia memandang balik pada
Snape, ada senyum sedih di wajahnya. Harry melihat Sirius menggerakkan bangku agar ada ruangan
untuk Lily. Lily melihat Sirius lama sekali, nampak mengenalinya waktu di kereta, melipat lengannya dan
tidak menoleh lagi padanya.
Pemanggilan diteruskan. Harry menyaksikan Lupin, Pettigrew, dan ayahnya bergabung dengan Lily dan
Sirius di meja Gryffindor. Akhirnya, saat hanya tinggal selusin siswa yang tersisa untuk diseleksi, Profesor
McGonagall memanggil Snape.
Harry berjalan bersamanya ke kursi, menyaksikan ia menempatkan Topi di atas kepalanya. Slytherin!,
teriak Topi Seleksi.
Dan Severus Snape bergerak ke ujung lain di Aula, jauh dari Lily, di mana para Slytherin menyambutnya,
di mana Lucius Malfoy, dengan lencana Prefek berkilauan di dadanya, menepuk punggung Snape saat
Snape duduk di sampingnya.
Dan adegan berganti...
Lily dan Snape berjalan melintasi halaman kastil, jelas sedang bertengkar. Harry bergegas mengejar
mereka, untuk mendengar lebih jelas. Saat ia mencapai mereka, ia sadar bahwa mereka sudah jauh lebih
tinggi sekarang, nampaknya mereka sudah melewati beberapa tahun setelah Topi Seleksi.
”...meski kita seharusnya berteman?” Snape berkata, ”Teman baik?”
 ”Kita berteman, Sev, tapi aku tidak suka beberapa temanmu. Maafkan aku, tapi aku benci Avery dan
Mulciber. Mulciber! Apa yang kau lihat dari mereka, Sev? Dia penjilat. Apakah kau tahu apa yang dia
lakukan pada Mary Macdonald kemarin dulu?”
Lily mencapai pilar dan bersandar di sana, menatap wajah pucat dan kurus itu.
“Itu bukan apa-apa,” ujar Snape, “itu cuma lelucon, cuma itu—”
”Itu Sihir Hitam, dan kalau kau pikir itu lucu—”
”Lalu bagaimana dengan apa yang dilakukan Potter dan sobat-sobatnya?” tuntut Snape, wajahnya
memerah lagi saat ia mengatakannya, sepertinya tidak dapat menahan kemarahan.
”Memangnya ada apa dengan Potter?” tanya Lily.
“Mereka menyelinap di malam hari. Ada seusatu yang aneh dengan Lupin. Ke mana dia selalu pergi?”
”Dia sakit,” ucap Lily, ”mereka bilang dia sakit.”
”Tiap bulan saat purnama?” tanya Snape.
”Aku tahu teorimu,” ujar Lily, dan dia terdengar dingin, ”Kau terobsesi dengan mereka kan? Kenapa
kau  begitu perhatian dengan apa yang mereka lakukan di malam hari?”
”Aku hanya mencoba menunjukkan padamu, mereka tidak semenakjubkan seperti orang-orang pikir.”
Kesungguhan pandangan mata Snape membuat Lily tersipu.
”Walaupun begitu, mereka tidak menggunakan Sihir Hitam,” Lily menurunkan suaranya. ”Dan kau
benar-benar tidak bisa berterima kasih. Aku dengar apa yang terjadi malam kemarin. Kau menyelinap ke
terowongan di bawah Dedalu Perkasa dan James Potter menolongmu dari apapun yang terjadi di bawah
sana—”
Seluruh wajah Snape berubah dan bicaranya bergetar, ”Menyelamatkan? Menyelamatkan? Kau kira dia
sedang bermain peran sebagai pahlawan? Dia sedang menyelamatkan diri dan sobat-sobatnya juga. Kau
tidak akan—aku tidak akan membiarkanmu—“
“Membiarkanku? Membiarkanku?”
Lily memicingkan mata hijaunya yang terang. Snape mundur seketika.
“Aku tidak bermaksud—Aku hanya tidak ingin kau memperolok—dia naksir kau, James Potter naksir
kau!” kata-kata itu seperti meluncur keluar dari Snape di luar keinginannya. “Dan dia tidak … Tiap orang
mengira … Pahlawan Quidditch—“ kebencian dan ketidaksukaan Snape membuat ia bicara tidak jelas,
dan alis Lily semakin naik di keningnya.
“Aku tahu James Potter hanyalah seseorang yang sombong,” kata Lily memotong ucapan Snape. “Aku
tidak perlu diberitahu olehmu. Tapi gagasan Mulciber dan Avery tentang humor itu jahat. Jahat, Sev. Aku
tidak paham bagaimana kau bisa berteman dengan mereka.”
Harry ragu apakah Snape mendengarkan kritik Lily tentang Mulciber dan Avery. Saat Lily menghina
 James Potter, seluruh tubuh Snape menjadi tenang, rileks, dan saat mereka berjalan menjauh terasa ada
kekuatan baru di setiap langkah Snape.
Adegan berubah lagi.
Harry mengamati lagi, saat Snape meninggalkan Aula Besar setelah mengerjakan OWL-nya untuk
Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam. Mengamati saat Snape berjalan menjauhi kastil, melamun menyimpang
dari jalan, tidak hati-hati, mendekati tempat di bawah pohon beech di mana James, Sirius, Lupin, dan
Pettigrew duduk bersama. Tapi Harry menjaga jarak saat ini, karena dia tahu apa yang terjadi setelah
James mengangkat Severus ke udara dan mengejeknya; ia tahu apa yag dilakukan dan dikatakan, dan
samasekali tidak menyenangkan untuk mendengarnya lagi. Dari jauh ia mendengar Snape berteriak pada
Lily dalam penghinaannya dan kemarahannya, kata yang tak termaafkan: Darah Lumpur.
Adegan berganti …
“Maafkan aku.”
“Aku tak tertarik.”
“Aku menyesal.”
“Percuma bicara.”
Saat itu malam. Lily mengenakan baju tidur, berdiri dengan tangan terlipat di depan lukisan Nyonya
Gemuk di jalan masuk Menara Gryffindor.
“Aku hanya datang karena Mary bilang kau mau menginap di sini.”
”Memang. Aku tak pernah bermaksud memanggilmu Darah Lumpur, itu hanya—”
”Keceplosan?” Tak ada rasa kasihan pada suara Lily. ”Sudah terlambat. Aku sudah bertahun-tahun
mengarang alasan untuk semua tindakanmu. Tak satupun temanku bisa paham kenapa aku bisa bicara
padamu. Kau dan teman-teman
Death Eater
mu yang berharga –kau lihat, kau bahkan tidak
menyangkalnya. Kau bahkan tidak menyangkal bahwa itu adalah tujuanmu. Kau tak bisa menunggu
untuk bergabung dengan Kau-Tahu-Siapa, bukan?”
Snape membuka mulut, tapi menutupnya lagi tanpa bersuara.
”Aku tak dapat berpura-pura lagi. Kau memilih jalanmu, aku memilih jalanku.”
”Tidak –dengar, aku tak bermaksud—”
“—memanggilku Darah Lumpur? Tapi kau memanggil semua yang kelahirannya sama denganku Darah
Lumpur, Severus. Kenapa aku mesti dibedakan?”
Snape berusaha untuk berbicara, tapi dengan pandangan menghina Lily membuang muka, dan memanjat
kembali lubang lukisan …

To be continue........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search my Blog