Rabu, 24 Agustus 2011

Kitou Aya's Diary (One Litre of Tears) - Part 2

Menahan Rasa Sakit (15 Tahun)

15 Tahun – Penyakit Mulai Muncul


Pertanda
Sepertinya aku semakin kurus akhir-akhir ini. Apakah ini karena tidak makan demi menyelesaikan semua PR dan penelitian? Bahkan ketika aku memikirkan untuk melakukan sesuatu yang tidak dapat kukerjakan, aku mendapat masalah. Aku menyalahkan diriku sendiri tapi aku tidak dapat membuat kemajuan apapun. Aku hanya menghabiskan tenagaku saja. Aku ingin menambah berat badanku sedikit. Aku akan mulai bertindak besok jadi rencanaku tidak berantakan.

Gerimis turun hari ini. “Aku benci pergi ke sekolah membawa payung sambil memegang tas sekolah yang berat dan tas yang satu lagi.” Selagi aku berpikir seperti ini, lututku tiba-tiba jatuh dan aku terjatuh di jalanan sempit berkerikil. Aku hanya sekitar 100 meter dari rumah. Daguku terantuk sangat keras. Aku menyentuhnya dengan pelan dan mendapatkan jemariku penuh dengan darah. Aku pungut tas-tasku dan payung yang berserakan di lantai dan berbalik pulang ke rumah.

“Ada yang ketinggalan?” Mama berkata sembari beliau keluar dari dalam. “Kau sebaiknya bergegas atau kau akan terlambat! ... Sayang, apa yang terjadi?”
Yang dapat kulakukan hanya menangis. Aku tidak mampu berkata sepatah katapun. Mama segera mengelap mukaku yang penuh darah dengan handuk. Ada pasir di lukaku.
“Kurasa ini pekerjaan dokter,” kata mama. Beliau segera membantu mengganti bajuku yang basah dan dengan lembut memplester lukaku. Lalu kami masuk ke mobil.

Aku mendapat dua jahitan tanpa anastesi. Ini terjadi karena kekikukkanku, jadi aku berusaha menahan sakit dengan menggertakan gigiku. Tapi yang paling penting, Maafkan aku, Ma, karena aku mama harus cuti hari ini.

Selagi aku melihat daguku yang nyeri di cermin, aku berpikir kenapa aku tidak menggunakan tanganku untuk menahan badanku ketika jatuh. Apakah ini karena kemampuan atletikku yang buruk? Tapi aku gembira karena lukanya ada di bawah dagu. (Jika bekas lukanya ada di tempat dimana semua orang bisa melihatnya maka masa depan pernikahanku akan suram.)



Nilai olahragaku sejauh ini:
Tingkat 7 = B
Tingkat 8 = C
Tingkat 9 = D

Betapa menyedihkan! Kurang berusahakah? Sebelumnya aku berharap circuit training yang kujalani selama libur musim panas akan sedikit membantu, tapi ternyata tidak. Aku tidak menjalaninya dalam jangka waktu yang cukup lama. Jadi kurasa hasilnya tidak begitu mengejutkan. (Tepat! = suara misterius dari diriku yang lain)

Pagi ini sinar mentari dan angin sepoi-sepoi masuk menembus gorden kuning berenda di jendela dapur. Aku sedang menangis.
“Mengapa hanya aku yang tidak jago di atletik?”
Padahal hari ini akan ada tes di papan keseimbangan.
“Tapi Aya, kau kan jago di mata pelajaran lain, benarkan?” kata mama sambil memandang ke bawah. “Di masa depan, kamu dapat memanfaatkan kemampuanmu di mata pelajaran kesukaanmu. Bahasa Inggrismu sangat bagus. Jadi kenapa kamu tidak mencoba dan menjadi ahli Bahasa Inggris? Bahasa Inggris adalah bahasa internasional jadi mama yakin akan sangat berguna nantinya. Tidak masalah jika nilai olahragamu hanya D..”
Air mataku telah barhenti. Mama telah membantuku sadar bahwa aku masih punya harapan.

Aku menjadi semakin cengeng. Dan badanku tidak mau bergerak sesuai keinginanku. Apakah aku semakin gugup karena aku malas mengerjakan PR yang hanya dapat kuselesaikan jika aku menghabiskan lima jam setiap hari? Bukan, bukan karena itu. Ada sesuatu yang salah dengan badanku. Aku takut!
Aku punya perasaan yang membuat jantungku serasa diremas.
Aku ingin berolahraga lebih sering.
Aku ingin berlari dengan sekuat tenagaku.
Aku ingin belajar.
Aku ingin menulis dengan rapi.

Aku pikir Namida no Toka-ta (Toccata)-nya Paul Mauriat adalah lagu yang bagus. Aku jatuh cinta pada lagu itu. Ketika aku makan sambil mendengarkan lagu itu, makanan terasa sangat enak, seperti mimpi.

Sekarang tentang Ako, salah seorang adik perempuanku. Selama ini aku selalu melihat sisi buruknya saja. Tapi sekarang aku dapat melihat dia sebenarnya sangat baik. Kenapa aku berpikir demikian? Nah, aku berjalan sangat pelan ketika kami ke sekolah setiap pagi, tapi dia selalu ada di sampingku. Sementara adik laki-lakiku berjalan dengan kecepatannya sendiri dan meninggalkanku. Bahkan ketika kami menyebrangi jembatan penyeberangan, dia memegang tas sekolahku dan berkata, “Aya, lebih baik kau pegang pegangannya ketika naik”.

Secara perlahan suasana hati liburan musim panasku mulai memudar.
Setelah menyelesaikan makan malam, ketika aku mau naik ke atas, mama berkata, “Aya, ayo kemari dan ayo duduk sebentar di sini.” Mama terlihat sangat serius. Aku mulai tegang dan berpikir apa yang akan diberitahukannya padaku.
“Aya,” kata mama, “akhir-akhir ini ketika kamu berjalan badanmu condong ke depan dan kamu ke depan dan kamu bergoyang ke kiri dan kanan. Apakah kamu memperhatikannya? Mama telah memperhatikannya selama beberapa waktu dan mama mulai khawatir karenanya. Mungkin kita sebaiknya pergi ke rumah sakit untuk memeriksanya.”
“Rumah sakit mana?” tanyaku setelah terdiam beberapa saat.
“Mama akan mencari rumah sakit yang dapat memberikan pemeriksaan menyeluruh. Biar Mama saja yang urus. Oke?”
Air mataku mulai jatuh tak terhentikan. Aku sangat ingin bilang, “Terima kasih banyak, Ma. Maafkan aku yang telah membuatmu khawatir.” Tapi tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku.

Sejak mama menyarankanku pergi ke rumah sakit, aku bertanya-tanya apakah benar-benar ada yang tidak beres dengan diriku.
Apakah karena kemampuan atletikku yang begitu buruk?
Apakah karena aku begadang?
Apakah karena aku akan yang tidak teratur?
Aku tidak bisa menahan tangis ketika aku menanyakan diriku sendiri semua pertanyaan ini. Aku menangis cukup lama, mataku sakit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search my Blog